
Melompat ke Aceh dalam abad ke 17, di mana Nuruddin Ar-Raniry memfatwakan pemusnahan terhadap buku-buku karangan Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani pada masa kekuasaan Iskandar Tsani (1637-1641) karena dituduh sesat. Ajaran yang dibawa oleh Hamzah dianggap mengandung pemikiran wahdatul wujud yang pernah dikembangkan oleh Ibnu Arabi dan al-Jili. Wahdatul wujud adalah sebuah paham di mana manusia dianggap sebagai titisan Tuhan (wujud bayangan). Oleh sebab itu pada dasarnya manusia tidak memiliki keberadaan esensial, yang ada adalah keberadaan semu. Dalam pemahaman seperti ini wahdatul wujud dipandang menyamakan Tuhan dengan makhluk-Nya, dan itu adalah perilaku syirik, dan sesat.
Belakangan, di Aceh peristiwa ini hampir saja terulang. Sekelompok ulama di Aceh menyatakan sebuah ajaran yang dibawa oleh ulama lain sebagai ajaran sesat. Mereka berargumen di dalam buku kecil yang diedarkan tertulis mengenai ajaran-ajaran Abdul Karim Al-Jili yang bernah “bermasalah” di masa lalu. Ulama tersebut meminta masyarakat mengumpulkan buku yang telah terlanjur beredar dalam masyarakat untuk dimusnahkan karena dikhawatirkan meracuni pemikiran umat Islam, merusak aqidah dan menimbulkan kesalahfahaman di kalangan umat.
Bagaimana dengan buku Gurita Cikeas dan beberapa buku yang dilarang oleh Mahkamah Agung sebelumnya? Jelas alasan terpenting yang dikemukakan adalah apa yang disampaikan dalam buku-buku yang dilarang bertentangan dengan pemahaman umum yang berkembang dan atau dikembangkan pemerintah. Memberikan perspektif yang berbeda atas pandangan umum itu bisa jadi sebagai sebuah gerakan anti pemerintah yang bermuara pada penyatuan visi menggulingkan kekuasaan. Sehingga untuk kepentingan proteksi kemungkinan ini pemerintah melakukan langkah awal dengan pelarangan peredaran buku dimaksud. Padahal pelarangan justru menjadikan buku itu semakin dicari dan menjadi semakin diyakini kebenarannya. Sekali titah pelarang dikeluarkan maka seribu kali klarifikasi yang disampaikan tidak akan mempan menghilangkan anggapan bahwa buku itu berisi kebenaran.
Padahal kalau si buku dibiarkan bereda luas dan bebas di masyarakat akan ada penghakiman publik pada isi buku. Masyarakat akan membaca sendiri dan menilai apakah buku itu memang menyampaikan kebenaran atau ia hanya rekayasa si penulis untuk mencari popularitas, atau memancing di air keruh. Atau seperti banyak yang menyarankan silakan jawab buku dengan buku yang lain. Kalau saya tidak salah respon seperti ini pernah dilontarkan oleh Prabowo (atau Wiranto?) kepada Mantan Presiden B.J. Habibie yang menyinggung namanya dalam Detik-Detik Yang Menentukan. Saat itu Prabowo (atau Wiranto?) mengatakan “Saya akan membuat buku untuk mengklarifikasi hal itu.
Jadi bukan dengan melarang dan membakar, tapi dengan menulis buku lain. Dari sini iklim menulis dan mulai bersinar dan ilmu pengetahuan akan menerangi bumi Indonesia.
saya sudah baca buku gurita itu.. isinya monoton.. huff... capek bacanya.. seperti buku sejarah hehe..
ReplyDeleteawalnya menarik tapi mulai ke tengah kita mulai dirumitkan dengan keterkaitan2 'wayang' di dalamnya...
hmmm...lagi2 bakar buku...
ReplyDeleteasal jangan kebakar jenggot...mau dicari kemana juga tak akan ditemu.