Dalam seminar terungkap beberapa pengalaman teman-teman yang melakukan usaha penyelamatan naskah kuno di Aceh dan Indonesia umumnya ketika berhadapan dengan sistem kebijakan pemerintah. Misalnya, ketika mereka membutuhkan kertas penempel untuk naskah yang rusak dan bolong, mereka harus memesannya di Jepang. Meskipun Indonesia bisa membuatnya, namun kebutuhan yang sangat sedikit membuat perusahaan tidak mengeluarkan kertas tersebut. Di Jepang, kertas itu mereka beli dengan harga sekitar 5 juta. Namun ketika masuk ke Indonesia, pemerintah mengenakan pajak barang Impor senilai 11 juta. Padahal kertas tersebut jelas untuk kepentingan penyelamatan naskah kuno Indonesia dan bukan untuk kepentingan komersil.
Pengalaman lain adalah kedatangan kolektor ke daerah-daerah, seperti Aceh, Riau dan Padang yang menjadi “gudang” naskah kuno Melayu. Mereka datang dari berbagai belahan dunia, terutama Malaysia, Inggris, Belanda, Jerman dan Amerika. Naskah tua mereka beli dengan harga murah (tapi mahal bagi masyarakat kita). Lalu naskah tersebut dibawa ke negeri mereka. Pihak imigrasi di Bandara tidak pernah mempermasalahkan dan menangkap barang tersebut. Padahal jelas itu termasuk benda cagar budaya yang dijamin penyelamatannya oleh undang-undang. Dengan cara ini maka naskah-naskah lama mulai berpindah ke luar negeri. Saya tidak tahu persis apakah bandara tidak memiliki sistem untuk mengetahui manuskrip yang dibawa keluar atau mereka tidak peduli, apalah arti sebuah buku lama.
Apa akibatnya? Saat ini para cendikiawan Indonesia yang hendak melakukan penelitian mengenai naskah kuno dan perkembangan masyarakat di Nusantara dalam sejarah, harus datang ke negara lain untuk mendapatkan bahannya. Di sana untuk melihat dan mendapatkan focopynya mereka harus membayar mahal. Namun tidak ada pilihan lain karena Indonesia sendiri tidak menjaga dan melestarikannya. Pemerintah nampaknya tidak peduli dengan masalah ini karena pemahaman yang kurang mengenai manuscrip dan kegunaannya. Sampai sekarang, setelah dimulai tahun 2003, Perpustakaan Nasional baru menyelesaikan restorasi (penyelamatan) sekitar 1300 naskah kuno (termasuk peta dan surat). Padahal indonesia adalah gudang bagi manuskrip kuno tersebut. Dengan pola kerja seperti sekarang Perpusnas butuh waktu 150 tahun untuk menyelesaikan semua naskah yang tersedia.
Alhamdulillah, belakangan ini ada sebuah keinginan baik dari berbagai negara lain untuk “mengembalikan” manuskrip Indonesia. Pengembalian ini bukanlah dalam bentuk fisiknya, sebab hal ini tidak mungkin, selain mereka tidak mau, Indonesia pasti belum siap untuk mejaganya. Mereka akan mengembalikan dalam bentuk digital. Untuk manuskrip Aceh di Belanda sudah dilakukan tahun lalu. Semua manuskrip Aceh bisa diperoleh secara online di www.acehbooks.org. Kita masih menunggu “kebaikan hati” negara lain untuk melakukan hal yang sama sehingga sejarah bangsa kita bisa dikaji oleh naka Indonesia sendiril
Agaknya diperlukan sebuah badan khusus untuk mpenanganan Naskha dan manuskrip kono di Indonesia. Kalau pemerintah membuat Badan Arkeologi Nasional, seharusnya ada juga Badan Manuskrip Nasional, agar manuskrip hasil karya bapak bangsa yang ratusan tahun yang lalu dapat diselamatkan dan dipelajari kembali.
Semoga.
No comments:
Post a Comment