Saturday 20 October 2012

Antara Hujan dan Kematian

Meskipun tidak menyeluruh dan juga tidak lebat, hujan hari ini cukup membuat beberapa hari yang gerah di Banda Aceh jadi sedikit terobati. Hujan seperti ini sepertinya tidak sampai membuat risau penjual es-krim keliling, tapi cukup untuk menyiram tanaman petani sayuran. Sukses menghapus sedikit debu tapi tidak sampai membuat banjir di jalan. Ini namanya hujan rahmat.

Hujan yang "tiba-tiba" seperti ini menyisakan sebuah renungan menarik. Sangat banyak pengendara sepeda motor yang harus berteduh di emperan toko, di bawah pohon, di mana saja yang membuat mereka terhindar dari basah hujan. Atau, ada banyak orang yang "nekat" melaju dalam hujan meskipun resikonya adalah basah kuyup. Mungkin ada satu kepentingan yang tidak mungkin ditunda. Hanya secuil orang yang berdiri, mengenakan mantel, dan baru kemudian melanjutkan perjalanan.  

Pemandangan seperti ini sangat berbeda jika kita siap dengan mantel di kenderaan. Kapan saja hujan turun, kitabisa segera berhenti di pinggir jalan, mengenakan mantel, lalu melanjutkan perjalanan. Di dalam sepeda motor harus terdapat "mantel abadi" yang tidak pernah dipindahkan. Jadinya, hujan yang datang tiba-tiba sekalipun tidak menghalangi kita untuk melanjutkan perjalanan dan mencapai tujuan dengan "selamat" tanpa kebasahan. Kita tetap siap atas apa yang datangnya tiba-tiba. 

Sebenarnya hujan tersebut tidak sepenuhnya tiba-tiba. Ia merupakan peristiwa alam yang normal. Bahkan sering kali sebelum hujan turun, alam menunjukkan tanda-tandanya; langit mendung, angin sedikit kencang, dan atau ada rintik kecil. Namun sering kali kita acuh dengan tanda-tanda itu. Meskipun kita tahu tanda alam itu adalah akan turun hujan, namun kita tetap tidak peduli. Kita baru "peduli" saat hujan benar-benar datang dan membuat badan kita basah. Dalam hati kita mengatakan: andai aku punya mantel.... 

 Mungkin, beginilah gambaran bagaimana sikap kita menghadapi kematian. "Kematian" adalah suatu hal yang alamiah dan pasti akan terjadi pada semua manusia. Seperti halnya hujan, ia bisa datang tiba-tiba, kapan dia mau. Sebagian memberi kita tanda; tua dan sakit. Namun ada banyak kematian yang datang tanpa tanda. Satu hal yang pasti, ia adalah sesuatu yang alami dan akan dialami oleh semua manusia tanpa kecuali. Seperti halnya mantel di dalam sepeda motor, kita juga sering luput dengan persiapan menghadapi kematian. 

Meskipun kita tahu kalau kematian itu bisa datang kapan saja, meskipun kita sadar ia akan dialami oleh semua orang, meskipun kita paham kalau kematian adalah sebuah perjalanan yang perlu persiapan, kita tetap lalai. Bahkan ada banyak orang yang tetap lalai dengan persiapan itu padahal "tanda-tanda" sudah diberikan oleh Tuhan. Kita baru sadar ketika ruh hendak meninggalkan badan. Ohh... andai aku punya persiapan. Tapi semuanya sudah terlambat. Kita tetap menempuh perjalanan jauh itu tanpa persiapan; nekat!

Sunday 8 April 2012

Inspirasi "Pantang Menyerah" dari Anak

Kini anakku sudah setahun. Saat aku pergi ke Italia, dia masih tujuh bulan. Sudah lima bulan lebih kami tidak bertemu. Jangan tanya bagaimana rasanya rindu.

Satu bulan yang lalu, lewat telpon ia sudah bisa memanggiku, “ayah…ayah…”. Itu kali pertama aku mendengar ia menyebut nama panggilan itu kepadaku. Aku yakin, beberapa hari ke depan ia pasti sudah punya kata baru: “ayah… wo… ayah… wo… ” (ayah, cepat pulang). Sungguh aku takkan sanggup mendengar kata itu.

Sekarang ia mulai bisa berjalan, meskipun belum lancar. Ia bisa berjalan pelan dan sudah lebih sepuluh langkah. Ia masih terus jatuh dan jatuh. Namun ia tidak pernah jera dengan jatuh. Anakku, seperti anak lainnya, dan seperti aku pada masa anak-anak, adalah orang yang menempatkan jatuh sebagai anak tangga menuju keberhasilan.

Kemarin istriku bercerita, kalau anak kami melihat iklan di televisi di mana ada anak-anak yang bergoyang, maka ia ikut bergoyang. Padahal kakinya belum terlalu kuat untuk begoyang. Hanya dua tiga kali bergerak saja, ia sudah jatuh. Namun, saat ia melihat iklan itu lagi dan melihat anak dalam televisi itu begoyang, ia kembali bergoyang.

Ia sudah lupa bahwa ia pernah jatuh karena meniru anak di dalam televisi. Sebab ia tahu semakin lama ia semakin dekat dengan kemampuan bergoyang, tanpa jatuh. Bandingkan beberapa minggu sebelumnya, bahkan ia belum bisa berdiri.

Anakku, anakmu, anak semua manusia, adalah mereka yang tidak mau peduli dengan kata “jatuh”. Jatuh adalah sebuah masalah, namun sukses adalah masalah lain. Jatuh adalah pasti, namun sukses adalah pilihan.

Semua orang akan jatuh dalam perjalanannya menggapai cita. Namun sebagian larut dalam jatuh dan tidak mau bangun dan mencoba lagi. Sebagain yang lain menjadikan jatuh agar ia semakin kuat meggapai impiannya.

Aku belajar banyak dari anakku.



Thursday 29 March 2012

Temanku Sufi Tapi Komunis

"Aku seorang sufi"
"Apa kamu seorang muslim?"
"Bukan, tapi aku suka sufi, dan aku bermujahadah dan riadhah"
Begitulah percakapan singkatku dengan teman ini. Ia orang Veneto, provinsi yang beribukota Venezia. Minggu lalu ia menyewa kamar satu apartemen denganku. Pada malam pertama ia menginap di sana kami berbincang banyak hal, termasuk masalah sufisme. Di sanalah aku tahu kalau ia menyukai sufi.

Semula aku tidak percaya. Bagaimana mungkin di kota Milan yang materialitis ini ada seorang laki-laki Italia mengaku pengagum Sufi? Bagaimana mungkin dalam budaya hidup yang nafsi-nafsi ini ada seorang pria yang menyukai spiritualitas? Lebih aneh lagi, bagaimana mungkin ada orang yang mengatakan diri sufi namun ia bukan seorang Muslim? Tapi aku tidak bisa menanyakan ini padanya. Aku justru ingin tahu lebih lanjut apa yang ia pikirkan tentang sufi.

Ia bercerita bagaimana ia sampai ke jalan sufisme. "Aku sudah 38 tahun, sudah pernah menikah meskipun hanya tiga bulan. Perkenalanku dengan sufi terjadi lima tahun yang lalu. Setelah pernikahanku bubar aku mengalami goncangan yang besar. Aku menemukan seorang teman yang menunjukkan jalan sufi kepadaku. Semula aku tidak percaya dengan apa yang ia katakan. Namun katanya, engkau tidak rugi kalau mencoba. Aku setuju, dan bergabung dengan komunitas sufi di Milan. Sejak saat itu, aku adalah seorang sufi, meskipun aku bukan seorang Muslim."

Tidak hanya bercerita, ia juga mengambli leptop. Menunjukkan kepadaku foto-foto kunjungannya ke Cyprus, "markas besar" Tarekat Naqsabandi-Haqqani. Ia juga menujukkan fotonya bersama beberapa "sohbet" dari berbagai negera. Ia mengatakan sudah tiga kali pergi ke Cyprus dan berjumpa dengan Syaikh tertinggi Naqsabandi Haqqani. Sekarangpun, di Milan, ia secara rutin setiap kamis malam mengikuti zikir tarekat di salah satu rumah jamaah Naqsabandi.

Masih belum cukup, ia menunjukkan koleksi rekaman zikir yang pernah diikutinya di berbagai negara. Italia, Cyprus, London, Paris, dan terakhir di -aku lupa nama kotanya-, di Amerika. Ia mendemonstrasikan di hadapanku beberapa surat dalam Al-Qur'an yang sudah dihafalnya. Tapi dia mengaku masih belum bisa membaca al-Qur'an dan belum bisa shalat.

"Apa kamu bisa azan?"
"Pasti!" jawabku.
"Coba!"
Aku mengumandangkan azan di dapur kami yang tidak terlalu luas itu. Meskipun bukan dengan suara keras, namun aku tetap menjaga irama azan khas Indonesia tidak hilang. Aku mendengar ia menjawab semua lafaz azanku dengan benar. Begitu selesai, ia mengatakan: "Incredible...inceredibile..." luar biasa! Ia mengatakan irama itu belum pernah didengarnya. Ia biasanya mendengar azan yang datar-datar saja, tidak mengalun. Aku melihat ia seperti hendak menangis tapi menahan tangisan itu.

Malam itu, dia juga menujnukkan sebuah mandolin khas Napoli dan memainkannya dengan sangat baik. Mandolin adalah alat musik yang sering juga dipakai oleh pengikut Naqsabandi Haqqani untuk mengiringi zikir mereka selain Rebana (aceh: rapai). Ia memainkan Mandolin dan mebaca zikir tarekat yang sudah dihafalnya dengan sangat baik. Aku sungguh terperangah dengan semua yang terjadi malam itu! Incredibile!

Sayangnya ia hanya tinggal di apartemen itu dua malam saja. Ia punya sedikit masalah dengan pemilik apartemen dan memilih untuk pindah. Tapi aku belajar satu hal. Jauh berjalan banyak dilihat. Perbedaan, keunikan, keanehan, dan pluralitas kehidupan semakin banyak tersaji. Dunia ini nampak semakin luas dan indah jika kita bisa memahami perbedaan-perbedaan ini.

Wednesday 28 March 2012

Berkunjung ke Museum Castello Sforzesco

Salah satu objek wisata paling banyak dikunjungi di Milan adalah Museum. Seperti di bebrbagai negara Eropa lainnya, Museum bukanlah sebuah "gudang" untuk menyimpan benda-benda unik, namun etalasa ilmu bagi manusia. Dari museum orang banyak mengenal seperti apa masa lalu mereka, seperti apa masa kini. Tidak heran kalau "berkunjung ke museum" sering menjadi liburan akhir pekan bagi keluarga di Eropa. Jangan bandingkan dengan museum di negeri kita.

Hari minggu lalu aku berkunjung ke museum di Castello Sforzesco. Hari itu semua museum pemerintah di Milan gratis. Jika masuk pada hari yang lain, harus bayar. Aku tidak tahu berapa, namun biasanya museum tidak kurang dari lima euro. Hari ini, mumpung gratis, aku ingin memanfaatkannya. Sudah lama aku ingin melihat isi dalam museum itu dan ini adalah kesempatan yang paling bagus. Aku bisa masuk ke semua museum (14 buah museum) dan menikmati semua pameran mereka. Di pintu masuk aku diberikan selembar tiket gratis. Tiket ini perlu untuk masuk ke berbagai museum yang ada di dalam Castello ini. Aku memegang tiket itu dan memulai tour museum gratis ini.

Apa saja isi museum itu?


Museum pertama yang aku kunjungi adalah museum benda-benda purbakala, aku tidak tahu namanya, namun museum ini berisi patung-patung pubakala. Museum pertama ini terletak di sisi tempat pengambilan tiket dan memang nampak dari luar. Aku melihat-lihat karya manusia yang sudah berusia ratusan tahun di pajang di sini. Ada banyak pahatan patung yang nampak sangat sempurna, halus dan rapi, patung-patung manusia nampak sangat proporsional.

Seperti karya patung di berbagai belahan dunia yang lain, hasil karya patung masa lalu sangat terkait dengan agama. Apa yang ada di museum ini pada dasarnya adalah peninggalan patung yang dipengaruhi oleh perkembangan agama Kristen di Eropa. Ada banyak patung yang menggambarkan momen-momen penting dalam agama Kristen, seperti saat Yesus dilahirkan, saat ia digendong oleh ibunya, pada saat Yesus disalib, dan lain sebagainya.

Beberapa patung memang nampak tidak sempurna lagi karena sudah pecah dan kehilangan beberapa bagian dari tubuhnya. Namun itu semua tidak mebuat peninggalan yang berusia ratusan tahun itu kehilangan keindahannya. Perdaban besar yang pernah dikukir manusia di masa lalu masih tetap terpancar dari seni pahat petung ini.

Aku melnajutkan ke museum kedua, museum perang. Beda dengan museum pertama yang dipenuhi dengan patung batu, di dalam museum ini yang paling banyak adalah peralatan perang di masa lalu. Berbagai peralatan perang yang pernah dipakai pasukan Italia di masa lalu tersimpan dengan baik di sini. Ada banyak baju besi, pedang, perisai, dan senjata lainnya. Ada banyak jenis pedang dan berbagai bentuknya.

Pikiranku terbang ke masa-masa silam. Bapaimanakah mereka hidup pada masa itu? Apa yang mereka pikirkan tentang dunia di luar bangsa mereka? Itulah awal dari hubungan mereka dengan bangsa lain. Hubungan yang selalu dihiasi dengan peperangan. Mereka selalu menempatkan bangsa lain sebagai musuh, sehingga tindakan yang diberikan juga perang dan penjajahan. Kurasa, model pandagan seperti ini masih dipegang oleh beberapa bangsa di dunia. Dua yang paling menonjol adalah Amerika Serikat dan Israel.

Aku melanjutkan melihat museum khusus peralatan rumah tangga. Dalam museum ini bahan yang dipamerkan ada yang berasal dari tahun 1400, pisau dapur. Aku tidak tahu apakah pisau itu benar-benar berasal dari tahun itu, namun setidaknya demikian keterangan yang ada di sana. Pisau klasik itu bentuknya hampir sama dengan apa yang kita pakai sat ini, namun beberapa diantanranya memiliki gagang berlapis emas.

Benda lain yang juga klasik adalah beberapa lemari milik raja-raja. Lemari itu penuh dengan ukiran yang sangat indah. Selain itu ada juga peralan rumah lain yang lebih modern, seperti kursi rotan dan meja makan. Aku tidak tahu kenapa hal-hal seperti ini juga dipamerkan, bukankah “meja makan” tidak unik? Atau setidaknya belum klasik? Aku yakin mereka punya alasan sendiri.

Keluar dari museum ini aku melanjutkan perjalan ke museum alat musik. Dalam museum ini dipamerkan berbagai peralatan musik yang sudah ada di Italia sejak lama. Beberapa gitar, biola, mandolin, dan lainya yang sudah berusia ratusan tahun. Aku yang tidak terlalu paham dengan alat musik tetap bisa menikmati peninggalan kalasik ini sebgai sebuah karya seni manusia yang luar biasa. Sebab beberapa diantaranya adalah alat msuik yang asing, yang tidak terkenal lagi saat ini.

Misalnya beberapa alat musik yang nampaknya seperti gitar namun memiliki senar yang sangat banyak. Ada juga gitar dengan tiga buah gagang (?) yang masing-masing punya senar sendiri. Aku jadi berfikir, ternyata ada sangat banyak alat musik yang pernah lahir dan dibuat oleh manusia. Sayangnya yang populer, yang masih bertahan saat ini hanya beberapa saja. Aku tidak tahu kenapa ini bisa terjadi.

Dari museum ini aku pergi ke museum khusus Afrika. Museum ini tidak terlalu besar dan tidak terlalu banyak bahan yang dipamerkan. Mungkin hanya sepuluhan benda saja. Salah satunya adalah patung babi dari batu hitam. Memang sedikit aneh, kenapa Castello Italia juga menyediakan pamean benda-benda Afrika? Apa tujuannya? Aku tidak tahu. Namun menurutku sebuah “cara” yang unik untuk menarik sebanyak mungkin orang datang ke sini. Aku tahu kalau di sini masih ada banyak museum lain, namun aku tidak sanggup lagi berjalan mengitari semua museum itu. Mungkin lain kali.

Monday 26 March 2012

Stramilano; Benvenuto Primavera!!

Selamat datang musim semi! kira-kira itulah ungkapan yang tersirat dalam even Stramilano yang diadakan di Milan setiap tahun. Untuk tahun ini Stramilano diadakan kemarin, 25 Maret 2012.

Dari sejarahnya, Stramilano adalah pesta masyarakat Milan merayakan berakhirnya musim dingin dan menyambut kedatangan musim semi.Tradisi ini terus dipelihara hingga sekarang. Pasti sudah banyak yang berubah seiring dengan perubahan zaman. Namun pada intinya mereka tetap memelihara sejarah dan budaya nenek monyang mereka agar erus hidup dan lestari.

Mulai tanggal 21 Maret yang lalu, musim memang sudah berganti. Udara dingin menusuk tulang yang terjadi selama hampir lima bulan, kini sudah mulai berlalu. Bahkan seminggu terakhir, kita bisa keluar rumah tanpa mengenakan jaket. Udara lumayan panas, 20 derajat. Terasa sangat panas karena baru saja selesai masa-masa dingin membeku dalam musim dingin.

Ini saatnya berpesta. Musim semi sudah tiba!

Stramilano adalah pesta menyambut musim semi. Ada tiga hal penting terkait dengan acara ini:
Pertama, maraton masal.
Maraton diikuti oleh atlet dan oleh keluarga. Untuk atlet jarak maratonnya 10 KM. "Atlet" di sini bukanlah atlet profesional dalam dunia oleh raga, namun masyarakat biasa yang juga merasa sanggup untuk mengikutinya. Tahun lalu saya dengar maraton menempuh jarah 20 km. Saya tidak tahu kenapa tahun ini dikurangi setengahnya. Maraton masal ini tidak hanya diikuti oleh masyarakat Milan, tapi juga oleh orang asing. Sangat banyak turis yang datang ke Milan untuk mengikuti maraton masal ini.

Maraton juga diikuti oleh keluarga. Khusun untuk keluarga, maraton menempuh jarak lima KM. Dimulai dari Piazza Duomo, diakhiri di Castello Sforzesco. Ada ribuan keluarga yang tumpah ruah ke lokasi acara saat maraton akan dimulai. Mereka membawa seluruh keluarganya, anak-anak dan bahkan anjing peliharaan. Anak-anak yang belum bisa berjalan diletakkan dalam kereta bayi. Mereka semua mengenakan pakaian khusus yang sudah disediakan panitia dan menenteng sebiji balon. Sehingga dari jauh terlihat sebuah gerakan balon yang berwarna merah. Tidak lupa, dalam maraton masal ini juga diikuti oleh difable, bahkan mereka diberikan tempat paling depan. Setengah perjalanan panitia menyediakan air dan makanan kecil untuk seluruh peserta.
Kedua, Musium dan kolam renang publik gratis.
Kalau hari biasa, untuk masuk ke museum dan kolam renang harus membei tiket. Namun dalam acara Stramilano semuanya gratis. Hanya saja, yang gratis adalah museum dan kolam renang yang dikelola oleh pemerintah. Jangan salah, di Milan kualitas dna fasilitas milik pemerintah juga sama dengan punya swasta. Bagi pendatang seperti saya, ini adalah kesempatan yang langka untuk mengunjungi museum-museum di Milan. Sayangnya waktu teralu pendek, saya tidak mungkin mengunjungi museum yang jumlahnya lebih 100 buah di Milan.

Ketiga, tidak ada mobil dalam kota
Sejam jam delapan apgi hingga jam enam petang, tidak ada kenderaan bermotor di jalan raya. Yang ada hanya kenderaan publik, termasuk taksi. Jadi jalan-jalan di Milan sepanjang hari kemarin sepi dari kenderaan. Namun karena transportasi publiknya yang bagus, semua mobilisasi bisa dilakukan dengan baik. Tidak ada istilah penumpukan orang yang tidak mendapatkan kenderaan. Semua bisa melakukan perjalanan ke seluruh kota dengan mudah, seperti hari yang lain. Setelah acara maraton di pagi hari, sore hari jalan-jalan dipenuhi dengan sepeda. Masyarakat Milan menikmati Stramilano sebagai hari bersepeda.

***

Ada hal penting yang menurut saya penting dalam acara Stramilano kemarin. Yaitu, bagaimana masyarakat Milan yang notabenenya adalah masyarakat kosmo masih menjaga budaya nenek menyang mereka. Bukan hanya kali ini, ada banyak momen di mana mereka membuat even yang terkait dengan budaya lama. Katakan saja acara "Carnevale ambrosiano" yang diadakan bulan Februari. Itu juga sebuah perhelatan besar yang dilakukan sebagai ungkapan syukur atas "penjagaan kota" yang dilakukan oleh Dewa Ambrosio. Dalam kontek perkembangan modern, mereka masih melakukan ini. Hasilnya apa? Ada ratusan ribu turis yang datang hanya untuk melihat perayaan ini.

Syukurnya ada banyak kota di Indonesia melakukan perayaan khas seperti ini. Semoga ke depan semakin baik.

Friday 23 March 2012

Menjadi Pemimpin Bukan Satu-Satunya Cara Membangun

Pembicaraan mengenai kepala daerah sedang hangat-hangatnya kini. Apalagi di Jakarta dan Aceh, dua daerah yang akan melaksanakan Pilkada. Seminar, diskusi hingga depat kusir bisa disaksiakan di mana-mana. Bukan hanya depat dengan kepala, terkadang berdebat melibatkan tangan, melakukan kekerasan dan bahkan pembunuhan. Di Aceh, beragam kekerasan sudah terjadi selama kampanye pemilihan kepala daerah ini. Dari pembunuhan, pembakaran rumah, pembakaran mobil, dan jangan tanya teror melalui SMS dan bahkan secara langsung. Jangan katakan di mana Polisi, sebab polisi memang tidak pernah hadir dalam situasi masyarakat menjadi korban. Semua ini dilakukan hanya karena satu alasan, menjadikan calon kepala daerah pilihannya menjadi pemenang dalam pertarungan pemilihan nantinya. Untuk apa ini semua?

Persepsi Pemimpin adalah Segalanya

Sah-sah saja mengatakan bahwa kepala daerah adalah orang yang menentukan maju-mundurnya sebuah daerah, pun sebuah negara. Sebab di tangannya ada "palu" yang bisa menentukan apakah suatu hal bisa dilaksanakan atau tidak. Jika kepala daerahnya bagus, memiliki komintmen yang bagus, maka semua akan bagus. Sebaliknya, jika kepala daerahnya korup, memiliki komitmen yang buruk dalam pembangunan maka semua akan buruk pula. Apakah ini benar?

Benar atau tidak benar, kenyataannya "paham" inilah yang berkembang di kalangan politisi dan juga masyarakat bawah. Oleh sebab itu, semua muara diskusi yang menjawab pertanyaan "bagaimana membangun suatu daerah" berujung pada "menyampaikan hasil diskusi kepada stakeholder". Rasanya para peserta mereka hasil diskusi mereka tidak akan terlaksana jika tidak diketahui oleh pemimpin. Hanya pemimpin yang bisa melaksanakan apa yang mereka mau. Seolah hanya pemimpin pula yang bisa mewujudkan apa saja yang telah mereka diskusikan.

Pandangan Orang kampus
Hal yang sama juga terjadi di kampus. Rektor, dekan, bahkan ketua jurusan dianggap sebagai posisi yang menentukan perkembangan dan pembangunan kampus. Hanya dengan duduk di salah satu posisi itu saja pembangunan kampus akan bisa diakukan, pengembangan ilmu pengetahuan bisa diwujudkan, atau kampus akan maju jika pemimpinnya juga bagus. Karenanya semua diskusi mengenai bagaimana memajukan kampus selalu berakhir pada bagaimana mempengaruhi pemimpin untuk bisa melaksanakan apa yang dihaslkan dari diskusi tersebut. Bukan hanya dengan menyampaikan langsung, masyarakat kampus biasa juga menyampaikannya melalui tulisan di media.

Persepsi Melahirkan Aksi

Tidak bisa diragukan lagi, persepsi yang demikian melahirkan aksi nyata berupa rebutan menjadi pemimpin. Saat ini bukanlah rahasia lagi kalau banyak orang ingin duduk di kursi empuk kepemimpinan suatu organisasi dan sebuah daerah. Bahkan, jauh hari sebelum pemimpin yang ada saat ini habis masa jabatannya, diskusi mengenai itu sudah dilakukan. Menggalang kekuatan dengan membangun kelomok-kelompok pendukung, membangun jaringan-jaringan, terus dilakukan oleh banyak kelompok. Tidak jarang hal ini dilakukan dengan cara memfitnah, menjelek-jelekkan, bahkan meruntuhkan martabat sesama manusia. Hal ini tidak saja dilakukan oleh orang yang hendak menjadi pemimpin, juga oleh orang yang ingin mempertahankan kepemimpinannya.

Celakanya, orang yang dipimpin juga terlarut dengan apa yang terjadi. Banyak dari mereka ikut menjadi martir untuk kemenangan seorang kepala daerah, untuk menjadi "pejuang" demi membela seorang kandidat yang dianggapnya benar, atau yang membayarnya untuk mengatakan demikian.

Di sisi lain para kritikus juga datang. Kritikus ini datang dari segala kalangan. Ada dari kampus, anak muda, pedagang, praktisi, orang yang tidak jelas pekerjaanya, semua masyarakat. Merasa merasa eksis hanya jika bisa mengkritik pemimpin. Bahkan semakin eksis jika mampu menunjukkan kata-kata pedas, kata-kata pahit dan seram. Semakin pahit kata yang ditunjukkannya ia merasa semakin eksis. Hanya apa yang dia pikirkan saja sebagai yang benar, meskipun pikiranya kadang hanya berasal dari bacaan sebuah berita di koran.

Membangun Tidak Harus memimpin

Saya sangat yakin bahwa ada banyak orang yang berfikir kalau membangun, apapun, tidak harus dengan menjadi pemimpin. Prestasi tertinggi yang dicapai manusia dalam hidupnya bukan dengan menjadi orang nomor satu di sebuah negara, atau nomor satu di sebuah daerah, organisasi, kampus, dan lain sebagainya. Saya salah seorang yang berfikir seperti ini.

Saya sangat tidak pecaya bahwa perubahan akan dilakukan oleh pemimpin. Sama sekali bukan.
Saya tidak yakin bembangunan hanya bisa dilakukan oleh presisden, kepala daerah, rektor, bos, direktur, apalagi seorang lurah. Sama sekali bukan.
Saya sangat tidak percaya kalau seorang tukang tambal ban di pinggir jalan tidak bisa mengubah wajah kota. Justru sebaliknya!
Saya tidak akan pernah setuju mengatakan seorang pemimpinlah yang bisa menentukan segala arah langkah sebuah organisasi, besar dan kecil.

Sebalik dari semua itu saya yakin bahwa semua orang yang ada dalam sebuah negara, sebuah provinsi, sebuah kampus, memiliki kesempatan yang sama untuk mengubah wajah organisasi dan lembaga dengan tanpa harus menjadi pemimpin, bahkan tidak perlu terkait dengan pemimpin "resmi". Saya sangat-sangat percaya bahwa semua orang punya kemampuan yang luar biasa untuk membangun sebuah negara tanpa harus jadi presiden, membangun daerah tanpa harus jadi gubernur, membangun kampus tanpa harus menjadi rektor, dan lain sebagainya.

Caranya, dengan melakukan hal terbaik yang kita bisa, dalam posisi kita sendiri. Seornag penulis bisa mengubah Indonesia dengan berusaha menulis sesuatu yang baik, yang bermanfaat, yang mengispirasi. Seorang akandemisi bisa melahirkan karya-karya yang berbobot memalui penelitian yang serius. Seorang warga negara biasa, bisa mengubah indonesia dengan memberikan hal yang terbaik yang bisa dilakukannya. KAtakanlah seroang juru parkir. Ia akan mengubah sebagain wajah negara saat ia bisa bertindak dengan baik dalam melaksanakan pekerjaannya. Semua orang akan memberikan kontribusi yang baik bagi perubahan dan pembanguna jika ia mampu mengubah moralnya.

Bagi saya perubahan moral, cara berfikir dan bertindak, tidak lah sepenuhnya tergantung pada pemimpin. Ada banyak orang besar yang pernah hidup di dunia ini tanpa menjadi pemimpin formal, pun di bawah pemipin yang baik.Ada banyak toko perubah di dunia yang menjadi besar tanpa duduk sebagai orang nomor satu di pemerintahan atau organisasi. Ada ribuan orang sukses di dunia ini berasal dari sebua organisasi dengan pemerintahan yang busuk. Hanya karena ia sendiri, secara pribadi, melakukan hal yang terbaik, ia keluar dari sistim buruk itu dan mengubah lingkungannya meskipun ia tidak memimpin.

Kesimpulannya: Cara lain membangun adalah memastikan secara personal anda melakukan yang terbaik dalam hidup anda sendiri dan tidak menyalahkan orang lain atas hal yang belum anda peroleh.

Thursday 22 March 2012

Venezia; Semalam bersama Gay Tua

Ini kisah yang mungkin takkan pernah kulupakan. Sabtu, tanggal 17 MAret 2012 bersama dengan dua orang teman kami pergi ke Venizia, sebuah kota wisata di Italia. Kami menghabiskan waktu seharian di sana, menikmati keindahan kota yang sungguh sangat luar biasa ini. Pada malam harinya, dua teman saya akan melanjutkan perjalanan ke Roma. Saya yang masih belum puas menikmati keindahan kota ini, memilih untuk bertahan selama semalam di sana dan berencana kembali ke Milan keesokan harinya.

Karena saya tidak punya banyak persiapan untuk kondisi mendadak seperti ini (termasuk persiapan dana), saya memilih menginap di stasion kereta. Sebagai kota wisata yang sangat nayaman, malam hari tidaklah menyeramkan di sana. Ada banyak orang yang lalu-lalang, ada banyak kumpulan anak muda, ada banyak wisatawan mancanegara yang bernasib seperti saya, tidur di mana saja!

Saya tidak tidur semalaman, terus menikmati kota di atas air ini. Cahaya lampu yang terpancar dari kanal yang membelah kota, perahu yang lalu lalang, bayangan gedung memantul dari kejernihan air, sungguh menakjubkan. Saya tidak bisa menahan diri untuk menulis semuanya. Mencari tempat di pinggir kanal, membuka leptop, dan mulai menulis. menulis dalam keadaan seperti ini tarasa begitu mudah dan lancar. Sesuatu mengalir dengan cepat tak terbendung.

Jam tiga dini hari, seorang lelaki paruh baya datang mendekat. Ia menyapa saya dan saya membalas menyapanya. Ia menanyakan apakah saya sedang menunggu kereta api? Agar urusan lebih cepat, saya mengatakan “iya”. Tanpa diduga si lelaki yang semula mau duduk di kursi yang agak jauh dari saya malah duduk sebangku dengan saya. Katanya biar mudah mendengar apa yang saya katakan.

Saya mengatakan kalau saya tidak bisa bahasa Italia. Tapi ia mengatakan tidak masalah, asal saya bisa paham apa yang ia katakan dan saya paham apa yang ia maksudkan. Saya jadi terfikir, ini kesempatan bagus unutk mencoba bahasa Italia saya. Kamipun mulai berdialog mengenai hal-hal yang sederhana. Asal daerah, usia, kenapa ada di Venizia, dan pekerjaan.

Entah karena dinginnya malam, ia sampai pada sebuah kalimat: kalau ia sangat menyukai “fare amore”, bercinta. Katanya, ia bercinta dengan banyak “amici”. Bahkan selama tiga hari di Venezia ia sudah bercinta dengan “cinque ragazzi”.

Pikiran saya terbang ke ruang kelas bahasa Italia. Dalam bahasa Italia “amici” adalah jamak dari “amico” yang berarti “teman laki-laki”. Sementara “ragazzi” adalah jamak dari “ragazzo” yang berarti pemuda. Saya jadi ragu, ia baru saja mengatakan tentang pengalamannya becinta, tapi kenapa ia mengatakan “amici dan ragazzi”? Saya meyakinkan diri, menanyakan kepadanya. Apakah ia menyukai laki-laki dan bukan perempuan? Jawabannya membuat saya sedikit begidik: mi piace ragazzi geovani e non mi piace donne. Iya, aku menyukai laki-laki muda dan tidak menyukai perempuan. Wah…

Aku mulai sadar di mana posisiku sekarang. Duduk sendiri di pinggir kanal di tengah keremangan malam yang dingin ternyata mengundang perhatian seorang gay tua ini. Di satu sisi aku ingin segera pergi dan meninggalkan dia. Namun di sisi lain aku juga ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk mempraktekkan bahasa Italiaku (apalagi ia mau mengajarkan beberapa kesalahan yang aku buat saat bicara), dan mengetahui bagaimana ia bisa menjadi seorang gay. Jiwa penelitianku datang, aku memilih bertahan.

Aku tidak menunjukkan ketakutan, tidak menunjukkan kekhawatiran, tidak juga menunjukkan tertarik dengan apa yang ia katakan. Namun aku mulai bertanya kenapa ia menyukai laki-laki. Katanya, perempuan Italia cerewet, bau mulut, dan terlalu banyak permintaan. Lalu kenapa tidak mencari perempuan di luar Italia? Asia, Amerika, Eropa, Arab? Katanya, semua perempuan itu sama saja, tidak ada bedanya. Aku tanya lagi, kapan ia mulai menjadi gay. Katanya sejak berpisah dengan istrinya sepuluh tahun yang lalu. Ia sudah menikah sejak usia 25 tahun dan berpisah pada usia 45 tahun. Sejak saat itu ia menjadi seorang gay.

“e adesso mi piace cosi’, come te” (saat ini saya menyukai seperti kamu ini). Hiiii…. jantung saya berdetak kencang. Saya menutup leptop dan bersiap dengan apa yang akan terjadi. Saya berusaha mengingat langkah-langkah strategis menaklukkan orang yang melakukan kekerasan. Saya melirik apa yang bsia saya manfaatkan kalau ia bertindak di luar batas. Saya duduk dengan posisi yang pas. Jika ia mendekat saya bisa menerjangnya hingga jatuh ke dalam kanal.

Lalu dengan bahasa Italia yang masih terbatas saya mengatakan: “mi sono sposato, ho moglie e figlio piccolino. sono muslumano e vitato fare amore con uomo opure altro ragazza.” Saya sudah menikah, memiliki seorang istri dan seorang anak laki-laki yang masih kecil. saya seorang muslim dan dilarang melakukan hubungan seksual dengan laki-laki dan perempuan lain selain istri.

Seperti ada kuasa Tuhan. Si gay tua ini nampaknya mengerti. Ia mengatakan kalau ia harus pergi segera. Ia benar-benar pergi, berjalan ke arah pelabuhan dan tenggelam dalam kegelapan malam.

Friday 16 March 2012

Jalan Menuju Milan

Ini postingan ke sekian kali di sini. Sebelumnya sudah ada beberapa tulisan mengenai ini tapi masih terasa kurang pas buat sebuah momen yang akan kujalani insyaallah beberapa tahun ke depan: Belajar di Milan! Sungguh, ini perjalanan dan pengalaman baru yang takkan pernah kulupakan. Aku tidak bisa katakan ini pengalaman terbesar, sebab ukuran besar sebuah pengalaman selalu relatif. Tidak ada yang besar dan kecil, yang ada hanyalah bagaimana kita mengambil pelajaran dari pengalaman tersebut. Dan aku akan mencoba belajar dari pengalaman ini.

Kenapa ke Milan?

Aku juga menanyakan hal yang sama. Kenapa harus belajar ke Milan? Apalagi yang akan kupelajari adalah antropologi. Entah kalau belajar mode, fasion, desain, dll. Tapi ini antro, ilmu yang tidak cocok dengan style Milan yang selama ini dikenal sebagai kota mode yang glamour. Sementara antro identik dengan ilmu masyarakat tertinggal, suku-suku terasing, masalah-masalah rill di level komunitas perkampungan. Suatu yang aneh. Menurutku dan menurut banyak teman-teman.

Tapi ini sudah terjadi. Sekarang alhamdulillah perjalanan sudah dimulai, dan pengalaman akan harus terus kucatat. Aneh atau tidak, salah atau benar, tepat atau keliru, proses ini akan saya jalani, insyaallah dengan sepenuh hati dan tekat besar untuk sukses. Mudah-mudahan Allah memudakan segala perjalanan ini, amin...

Tapi sedikit aku ceritakan di sini, kenapa aku bisa "terdampar" di Milan.

Ceritanya panjang. Tidak cukup halaman blog ini untuk merekamnya. Kalau dibuat sintron mungkin perlu 100-an episode. Apalagi sintron yang selalu mengulur-ngulur waktu, tidak padat, asal-asalan, tidak mendidik, mungkin butuh 200 episode. Hahahah. kenapa malah bicara sinetron?

Oke, kembali ke laptop. Kenapa bisa terdampar di Milan?
Ceritanya, aku harus akui sepenuh hati, secara jujur dan apa adanya. Dari lubuk hati terdalam, aku ingin kuliah ke luar negeri. Bukan di dalam negeri tidak bagus, tidak berkualitas, tidak mengajarkan hal yang kucari, bukan itu alasannya. Keinginan ini murni untuk pendidikan dan jalan-jalan. Bagiku, belajar di luar negeri bukan hanya sebuah usaha mendapatkan pengetahuan, namun juga sebuah pendidikan sepanjang jalan. Perjalanan jauh, kata pepatah, mengajarkan banyak hal: jauh berjalan banyak dilihat. Banyak dilihat banyak tahu. banyak tahu, banyak ilmu. banyak ilmu makin maju. Kira-kira begitu.

Lalu kenapa ke Milan?
Keinginan untuk belajar di luar negeri ini sangat kuat, lebih kuat dari keinginan apapun yang pernah saya miliki. Setiap hari, setiap malam, setiap ada kesempatan, saya sering membayangkan sebuah perjalanan yang luar biasa, perjalanan ke luar negeri. Terkadang ini memalukan, sebab bagi orang-orang seperti saya, berasal dari pedalaman, keluarga kecil pedesaan, tidak berprestasi di sekolah, lulus di kampus dengan IPK alakadarnya, perjalanan ke luar negeri sebenarnya adalah sebuah hayalan sulit, dan mimpi di siang bolong. Tapi saya jujur mengakui, bahwa itu bisa menjadi nyata.

Sayang seribu sayang, persyaratan penting untuk pergi ke luar negeri tidak saya miliki: Kemampuan berbahasa Inggris! Sebab semua pintu beasiswa menuju ke sana dibubuhi sebuah syarat itu, TOEFL 550! Jumlah yang berat bagiku. Meskipun aku sudah belajar bahasa inggirs sejak MTs, tapi jumlah TOEFL seperti itu tidak pernah bisa kugapai.

Aku sedikit mengeluh dengan kenyataan ini. Sebab ada beberapa teman yang memiliki nilan TOEFL bagus, namun ia tidak memiliki pengalaman penelitian, pengalaman berorganisasi, pengalaman memfasilitasi masyarakat, dan pengalaman sosial lainnya. Hanya karena nilai bahasanya bagus, ia lantas bisa kuliah di luar negeri di jurusan apapun yang ia sukai. Bahkan di jurusan yang sebelumnya tidak terkait sama sekali dengan pendidikannya. Ukurannya hanya satu, kemampuan berbahasa Inggris.

Lantas, aku yang merasa selama ini punya sedikit pengalaman bermasyarakat lebih banyak dari sebagian teman, kenapa tidak bisa melanjutkan pendidikan ke sana? Hanya karena bahasa Inggris? Itu suatu alasan yang sungguh sangat menyakitkan! Sebab bahasa adalah sebuah keterampilan yang perlu di asah. Seharusnya, tes masuk beasiswa ke luar negeri bukan hanya bahasa Inggris, tapi juga pengalaman penelitian, penglaman menulis, memfasilitasi masyarakat, dll. Lalu kalau sudah lewat, baru bahasa Inggrisnya dilatih sampai bisa.

Oke, lalu kenapa ke Milan?
Lalu saya sedikit marah. Saya katakan hal ini kepada banyak orang, termasuk sedikit kenalan dari luar negeri. Saya kataan juga kalau saya mau belajar ke sana. Beberapa teman merespon positif, beberapa yang lain menganggap saya salah alamat. Ada juga yang menyarankan saya agar terus belajar bahasa inggris. Saya merasa malu sendiri sambil diam-diam terus belajar, walaupun tidak serius. Tentang usia? saya merasa masih terlalu muda di usia 30 tahun saat itu.

Saya sangat terbantu berkenalan dengan banyak orang saat saya bergabung bersama Aceh Research Training Institute (ARTI) dan International Center for Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS) selama dua tahun. Di sana saya berkenalan dengan banyak orang yang selama ini hanya saya dengar namanya, atau saya baca bukunya. Sebut saja beberapa diantaranya: Anthony Reid, Harold Crouch, Leena Avonius, Michael dan Barbara Leigh, Laura Yoder, David Cauvel, David Reeve, Minako Sakai, Edward Aspinal, Harry van Klinken dan Silvia Vignato. Dari Indonesia saya bersyukur bisa akrab dengan Eka Srimulyani, Moch. Nur IChwan, Arskal Salim, Adlin Sila, Irwan Abdullah, Pujo Sumedi, Argo Dwikromo, M. Amin Abdullah dan sejumlah guru besar di IAIN Ar-Raniry, di mana saya bekerja.

Dari mereka saya belajar banyak hal, bukan hanya ilmu penelitian, tapi juga tentang semangat, tanggung jawab, koitmen, idealisme, dan terutama, cinta. Dari mereka juga saya banyak tahu tentang belajar di Luar negeri. Dan itu semakin membuat semangat saya belajar ke sana menjadi membara. Rasanya, saya ingin besok sudah berangkat, sesuatu ayng tidak mungkin terjadi.

Kesempatan terbaik yang saya manfaatkan dengan baik pula datang dari jalinan pertemanan ini. Adalah Ibu Silvia Vignato yang menawarkan saya mengikuti seleksi di kampusnya, di Universita degli Studi di Milano-Bicocca. Sebuah kampus yang baru berusia 15 tahun di Milan, Italia. Hati siapa yang tidak tertarik? saat saya begitu berharap bahkan terbawa mimpi untuk belajar di luar negeri, saya malah ditawarkan belajar ke sana tanpa menanyakan apakah saya bisa bahasa Inggris atau tidak, berapa nilai TOEFL saja, berapa banyak karya saya, berapa kali saya ikut konferensi internasional, dll. Sungguh, ini adalah durian runtuh!

Tidak perlu jeda waktu. Saya langsung mengatakan kalau saya bersedia. Apalagi belajar antropologi, ilmu yang belakangan membuat saya penasaran dan ingin mendalaminya. Bahkan saya sudah ikut pelatihan antropologi etnografi di sebuah dusun pedalaman Jawa Tengah di bawah bimbingan Bapak Pujo Sumedi. Dan kini saya ditawarkan belajar antropologi di program Ph.D di sebuah universitas di Milan. Alhamdulillah ya Allah, sungguh sebuah rezeki yang tidak terduga.

Namun tawaran itu hanyalah sebuah tahap awal yang belum menjamin apa-apa. Saya harus melewati serangkaian proses administrasi untuk memastikan saya bisa berangkat ke sana. Antara lain, mengikuti seleksi administrasi yang dilakukan oleh pihak universitas. Untuk itu saya harus menerjemahkan semua dokumen ke dalam bahasa Italia, termasuk ijazah, transkrip nilai, dan beberapa dokumen lain. Ini membawa saya berkenalan dengan beberapa rekan di Instituto Italiano di Cultura (IIC) di Jakarta. Syukur alhamdulillah, beberapa rekan di sana sangat membantu saya dan memudahkan saya mengurus semua keperluan untuk pendaftaran itu.Terima kasih saya yang sebesar-besarnya untuk Laila, staf di IIC Jakarta.

Setelah saya mendaftar dan dinyatakan lewat, masalah timbul lagi. Dari mana biaya studi di sana? Jelas, IAIN ar-Raniry, tempat saya bekerja tidak punya uang untuk menyekolahkan saya. Apalagi bisa sendiri. Ini bukan pergi ke Indrapuri di mana kalau kita kelarapan bisa minta makan sama warga. Ini ke Milan, negeri entah berantah yang selama ini hanya saya dengar dan saya kenal karena ada klub bola; AC Milan dan Inter Milan. Pasti butuh dana banyak.

Dalam kegalauan seperti ini, Ibu Leena dan Ibu Silvia membantu saya. "Kita akan coba meminta Komisi Beasiswa Aceh (KBA) membantu studi kamu di Milan". "Kita", jadi bukan saya sendiri yang akan mengurusnya, mereka akan membantu. Saya juga melaporkan masalah ini kepada bapak Luthfi Aunie, PR II IAIN Ar-Raniry. Beliau mengatakan akan emmbantu saya mendapatkan beasiswa. Dan benar saja, mereka menghubungi KBA dan merekomendasikan saya untuk mendapatkan beasiswa S3 di Milan. Biasanya, untuk mendapatkan beasiswa S3, seseorang harus mengikuti proses seleksi dan pergi ke negara yang sudah ditetapkan oleh KBA sendiri. Namun dalam kasus saya, saya sungguh bersyukur mendapatkan sedikit pengecualian. Hal ini semakin mudah saat rektor IAIN Ar-Raniry dan jajarannya memperkuat argumen Leena dan Silvia dengan menyatakan kalau di IAIN masih sangat dibutuhkan dosen antropologi agama. Alhamdulillah, KBA mendanai saya.

Dan sekarang sebagian dari mimpi saya sudah terwujud. Alhamdulillah saya kini sudah di MIlan, mulai belajar, mulai mencari pengalaman baru, mulai menjajaki wacana baru, dan mulai mengisi diri dengan semangat baru. Semoga allah mudahkan semua urusan saya dselama di sini, dan memudahkan saya mendapatkan dan menerima ilmu pengetahuan. Amin

Monday 5 March 2012

Ketika Milanese Meneriakkan “Boikot Israel, Bebaskan Palestina!”


Sabtu (03/03), saat sedang jalan-jalan di pusat kota Milan, saya melihat ada banyak polisi anti huru hara yang berdiri di beberapa ruas jalan. Perasaan saya tidak ada yang aneh dengan suasana kota sore itu, semua berjalan seperti biasa. Karena merasa tidak ada masalah, saya lanjutkan aksi jalan-jalan cuci mata. Tapi beberapa menit saya meninggalkan rombongan polisi yang nampaknya sedang berjaga-jaga itu, saya terkejut dengan suara dentengan lonceng yang sahut-menyahut dari arah saya datang. Saya balik lagi ke belakang, ternyata ada ratusan orang sedang menggelar demonstrasi!

Saya mencoba kembali ke jalan semula dan mendahului rombongan pendemo supaya bisa mebaca poster dan spanduk yang mereka bawa. Belum sempat saya dahului, mereka sudah berhenti di depan katedral Duomo, bangunan peninggalan abad pertengahan yang kini menjadi simbol kota Milan. Di sana mereka menggelar orasi bergantian, dan membentangkan spanduk yang berisi berbagai macam aspirasi. Mereka juga membawa beberapa foto, beberapa bendera negara asing (negara non-Italia), dan beberapa simbol negara tertentu.

Saya tidak tahu pasti dari kelompok mana pendemo ini. Namun dari cat di muka beberapa demonstran, bendera, dan tulisan di mobil yang dihiasi dengan tulisan “no tav”, nampaknya ini kelompok mayarakat pendukung ide sosialis di Milan. Sebelum ini, saya pernah melihat juga, mereka melakukan demo kepada pemerintah Italia menuntut pembukaan lowongan kerja yang lebih banyak dan meninkatkan standar upah. Kelompok ini memiliki hubungan dekat dengan Partai Komunis Italia yang belakangan sedang berkampanye anti liberalisme dan pasar bebas.

Isue paling penting yang diteriakan dalam demonstrasi ini adalah pembebasan Palestina dan beberapa negara lain yang saat ini berada di bawah “penjajahan” Amerika dan Israel. Menurut demonstran, hak untuk mengatur sebuah negara dengan batas teritorial tertentu ada pada manusia yang didup dalam teritorial tersebut, tidak ada urusan dengan bangsa lain. Peran Amerika dan Israel selama ini dianggap oleh demonstran telah menjadi dasar ketidakamanan dunia. Ketakutan akan perang dan kekacauan bukan lagi disebabkan oleh terorisme kelompok tertentu, namun oleh berbagai statemen dan kebijakan politik luar negeri Amerika dan Israel di media masa.

Oleh sebab itu, demi keamanan dunia dan menghargai hak rakyat pemilik suatu negara, sudah saatnya negera-negara yang berada dalam penjajahan Amerika dan Israel diberikan hak untuk merdeka segera. Beberapa negara yang mereka teriakkan dalam demonstrasi kemarin adalah: Palestina, Suriah, Kolombia, dan Kuba. Namun penekanan paling penting nampaknya pada Palestina. Spanduk yang meneriakkan kemerdekaan Palestina jauh lebih banyak dibandingkan dengan spanduk lain yang dibawa oleh demonstran. Bahkan, teriakan “Boicott Israel, Palestina libera” menggema di sepanjang demonstrasi ini dilakukan.

Bagi saya ini menarik sebab banyak orang yang saya kenal menempatkan isu Palestina sebagai isue keagamaan bukan kemanusiaan. Karena yang dikedepankan isue perebutan masjid bersejarah yang berdiri di sana. Oleh sebab itu sering kali dukungan buat pembebasan Palestina hanya diikuti oleh kalangan dari agama tertentu saja. Buruknya lagi, di Indonesia, pendukung pembebasan Palestina adalah masyarakat dari partai politik tertentu sehingga kerap dilihat sebagai kepentingan politik pula. Jadinya, dukungan pada pembebasan Palestina di Indonesia sangat kecil dan tidak kuat. Padahal, dalam posisinya sebagai negara besar, seharusnya Indonesia bisa memainkan peran yang lebih besar dalam membantu Palestina merdeka.

Andai alasannya “kemanusiaan”, seperti yang diteriakkan dalam demonstrasi di Milan ini, mungkin dukungan dari masyarakat Indonesia akan berbeda. Sebab demi kehidupan semua manusia, maka sudah seharusnya semua orang peduli dengan nasib Palestina, bukan hanya agama tertentu saja apalagi partai politik tertentu saja. Di Palestina hidup manusia dengan berbagai agama, Islam, Kristen dan Yahudi. Semua mereka terancam dan hidup tidak nyaman di negara mereka sendiri. Semua mereka pasti tidak menginginkan perang dan menginginkan negara yang merdeka. Adanya beberapa “perselingkuhan” yang dilakukan pejabat Palestina dengan kepentingan asing di sana tidak menjadi dalil untuk mengatakan Palestina tidak bisa mendapat dukungan untuk menjadi sebuah negara merdeka. Bagaimanapun mereka punya sejarah, dan mereka adalah pimilik sah tanah Palestina. Bangsa asing wajib minggir dari sana dan pulang mengurus rumah tangga mereka sendiri.

Friday 2 March 2012

Yang Lucu, Menggelikan dan Memalukan, dalam Belajar Bahasa Italia

Ada banyak orang belajar bahasa adalah satu hal yang mudah. Sebentar saja belajar ia sudah bisa. Namun saya tidak termasuk dalam golongan itu. Sudah beberapa bulan belajar bahasa Italia saya masih belum bisa dikatakan mampu berbahasa Italia. Namun, selama proses belajar setidaknya saya dapat banyak pengalaman yang, menurut saya memalukan atau menggelikan kalau dikenang. Berikut beberapa peristiwa itu.

Salah satu kata yang paling penting ketika memulai belajar bahasa adalah kata tanya, atau kata yang dipakai untuk bertanya. Karena hidup di sebuah kota yang baru, maka kata tanya yang sangat penting adalah: "Di mana" dalam bahasa Italia disebut dengan "dove". Pada awalnya saya sering lupa dengan kata ini sehingga kesulitan saat menanyakan suatu tempat kalau lagi di jalan. Memang saya tetap bisa mendapatkan tujuan saya dengan menunjukkna tempat tujuan itu dalam pata kepada orang yang saya jumpai, atau beruntung kalau ia bisa bahasa Inggris. Namun cara ini sangat tidak sederhana. Akhirnya saya dapat sebuah cara mengingatnya!!!!

Saya berasal dari Suku Kluet, sebuah suku kecil di Aceh. Dalam bahasa Kluet untuk bertanya "dimana" menggunakan kata "dapah". Sekilas sepertinya kata "dove" dan "dapah" hampir mirip. Atau lebih tepatnya saya paksa dimirip-miripkan. Namun cara ini sukses. Ketika saya hendak bertanya dengan "dimana" maka saya ingat bahasa Kluet dulu, lalu saya mengubahnya dalam bahasa Italia. Itu awalnya saja, pada akhirnya kata ini tidak perlu lagi dihubungkan kepada bahasa Kluet.

Untuk mengingat sebuah kata terkadang saya menghubungkannya dengan hal-hal yang sama sekali tidak ada hubunganya, namun saya tetap menghubung-hubungkan sehingga mudah mengingat. Misalnya, saat saya pertama kali mengingat kata "muda" dalam bahasa Italia yang disebut dengan "giovane". Saya teringat, entah ingatan saya benar atau tidak, dulu ada seorang penyanyi cilik yang namanya "geovane". Jadi kalau mau menyebutkan "muda" dalam bahasa Italia, saya ingat nama penyanyi muda di Indonesia itu. Atau saat saya menghapal kata "kiri" yang dalam bahasa Italia disebut "sinistra". Saya menghubungkan sikap "sinis" dalam bahasa Indonesia yang bisa diartikan sikap yang negatif dan negatif itu adalah "kiri". Sangat tidak berhubungan, namun itu telah membantu saya menghafal kata-kata itu.

Pengalaman lain sedikit memalukan karena saya merasa "sudah tahu" atau "sok tahu" mengenai arti sebuah kata karena kemiripannya dengan bahasa Inggris. Misalnya kata "questo". Saya merasa kata itu sama dengan "question" dalam bahasa Inggris. Jadi kalau membaca sesuatu dan menemukan kata itu, saya tidak lagi melihatnya di kamus. Tapi saya terus bingung karena artinya tetap tidak nyambung meskipun kata lain saya sudah dapatkan. Ternyata, kata "questo" berarti "ini", sama sekali jauh berbeda dengan "question" dalam bahasa Inggris. Meskipun ada banyak kata lain yang memang serupa antara bahasa Italia dan Inggris, namun ada banyak kata yang memang "menipu" sehingga tidak bisa sepenuhnya dipercaya meskipun mirip.

Memang, belajar bahasa bukan hanya proses mengubah arti kata, namun juga menempatkan kata itu dalam budaya penggunaannya dalam masyarakat tersebut. Hal ini terkadang membuat saya sedikit bingung. Misalnya kata "perche'" (baca: perkhe') yang dalam bahasa Italia berarti "Kenapa" (untuk bertanya) dan juga berarti "karena" untuk menjawab atau memberikan alasan. Atau sedikit perbedaan yang memiliki arti sangat-sangat berbeda: misalnya huruf "e". Kalau ia hanya "e" biasa saja, maka artinya "dan". Tapi begitu ia mendapat tanda koma di atas "è" maka menjadi kata karja ganti untuk orang ketiga tunggal. Pada awalnya ini sangat membingungkan dan menyusahkan.

Kalau yang memalukan, itu sangat banyak. Kemarin malam bapak kos saya datang ke rumah. Sudah seminggu ini saya jarang di rumah pada pagi hari karena banyak kegiatan di kampus. Saat jumpa, kami bicara banyak hal. Bapak kos saya bilang kalau pagi harinya ia sudah membersihkan lantai dapur, kamar mandi dan bahkan membuang sampah yang sudah banyak. Saya mengatakan "grazie signore" (terima kasih tuan) karena merasa ia sudah berbuat baik untuk saya. Nampaknya ia tersinggung karena buru-buru pulang. Ketika teman saya orang Italia pulang, saya ceritakan pengalaman ini. Dia tertawa keras. Sebab seharunya saya mengatakan "mi dispiace signore" atau "saya mohon maaf tuan" karena tidak membersihkan lantai dan membuang sampah. Wah.. salah kata ternyata. Pantas si bapak kos buru-buru pulang!

Yah... tapi semuanya ada proses. Saya selalu berprinsip bahwa Kita hanya wajib belajar, hasilnya akhirnya Allah yang tahu.

Thursday 1 March 2012

Presentasi Kandidat Ph.D yang Merekam Dunia

Tiga hari yang lalu saya mengikuti presentasi teman-teman mahasiswa Ph.D Antropologi di Universitas Milano-Bicocca, Milan. Semua mahasiwa Ph.D (mulai tahun kedua) wajib melaporkan perkembangan hasil penelitiannya selama setahun terakhir di hadapan para dosen dan mahasiswa yang lain. Laporan ini sebagai cara untuk menunjukkan bahwa mereka punya perkembangan dalam studinya dan juga sekaligus agar teman-teman yang lain bisa memberikan saran atas apa yang sudah mereka lakukan selama ini. Seperti biasanya di Eropa, meskipun ini sebuah forum resmi, namun tidak teralu kaku. Para professor enjoy saja duduk berbaur bersama mahasiswa. Tidak ada juga pembukaan resmi oleh pejabat kampus. Saat pembukaan, Dekan program Ph.D yang duduk di kursi paling belakang berdiri dari kursinya dan mengatakan; "ayo kita mulai, silakan!" Acarapun dimulai.

Hari pertama menampilkan lima orang mahasiswa Ph.D yang hampir selesai. Penelitian mereka sudah mencapai babak akhir dan tahun ini adalah tahun terakhir mereka di kampus. Karena itu, presentasi masing-masing mahasiswa agak lama. Satu orang menghabiskan waktu satu jam, termasuk tanya jawab. Hari kedua presentasi dilakukan oleh lima orang, mereka baru sekali ke lapangan dan sudah mulai menulis laporannya. Sementara hari ketiga presentasi oleh enam orang. Mereka juga sudah pergi ke lapangan untuk penelitian pendahuluan, sudah menyiapkan proposal dan merencanakan penelitian lanjutan.

Apa yang menarik dari presentasi ini adalah, penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswi ini (yang umumnya berusia 25 tahunan) bukan di Milan atau Italia. Dari belasan yang presentasi hanya dua orang saja yang penelitiannya di Italia. Selebihnya, mereka melakukan penelitian di mana-mana di seluruh dunia. Di Afrika dan Timur Tengah, mereka melakukan penelitian antara lain di Mesir, Yordania, Yaman, Kamerun. Di Asia mereka melakukan penelitian di Thailand, Jepang dan Cina. Di Amerika Latin ada di Brazil. Ada juga yang di Eropa seperti di Spanyol dan Rusia. Bukan hanya di negara-negara "dunia ketiga" mereka juga melakukannya di negara maju seperti Amerika Serikat.

Mahasiswa muda ini menguasai bahasa negara di mana mereka melakukan penelitian. Saya merasa cemburu ketika melihat mahasiswa yang melakukan penelitian di Timur Tengah sangat fasih bicara bahasa Arab. Saya sendiri yang belajar bahasa Arab sejak sebelum sekolah masih belum bisa hingga sekarang. Atau mereka yang sangat fasih bahasa Jeang, Cina dan Thailand. Padahal saya jadi tetanga negara-negara itu namun sama sekali tidak pahamam apa yang mereka tulis dan apa yang mereka bicarakan.

Coba kita lihat jauh ke depan. Denganc ara seperti ini apa yang akan terjadi di masa yang akan datang? Tidak lain adalah: rekaman peradaban sebuah bangsa. Bangsa-bangsa yang tidak merekam sendiri peradabannya dengan jujur, di masa depan akan harus pergi ke negara lain untuk mengetahui sejarah bangsanya sendiri. Sebab bangsa lain mengirimakn begitu banyak mahasiswa ke negara mereka sekarang ini untuk belajar. Mereka belajar sambil merekam apa saja yang ada di negara tersebut dalam bentuk penelitian. Penelitian ini pastiu akan terdokumentasikan dengan baik dan akan bertahan dalam waktu yang lama.

Untuk kasus Aceh misalnya, kita harus mengakui Belanda-lah yang sudah merekam Aceh pada abad 19 dan bahkan 20. Saat ini, jika ingin mengetahui Aceh di masa lalu maka tidak ada pilihan kecuali harus pergi ke Belanda. Di sana tersimpan ratusan buku tentang Aceh, baik yang ditulis oleh orang Aceh sendiri atau yang ditulis oleh orang Belanda mengenai Aceh. Saat menulis dulu, mungkin mereka hanya mengungkapkan pengalaman kunjungannya saja, namun kini ia menjadi bukti otentik dari sebuah sejarah perjalanan hidup sebuah bangsa.

Sayang sekali, kesadaran merekam peradaban ini tidak terlalu tumbuh di dunia akademik kita. Penelitian dosen (pengalaman saya cuma di IAIN) sering kali tidak mencoba mengangkat apa yang ada dalam masyarakat, namun malah menunjukkan apa yang baik kepada mereka berdasarkan konsep yang dibangun oleh ulama ratusan tahun yang lalu dan dalam masyarakat yang berbeda. Bukan tidak bagus, namun menurut saya itu tidak akan menjadi sebuahc atatan sejarah yang akan berguna. Apalagi karya Ilmiah bukanlah sebuah analisis kebijakan yang akan menjadi dasar kongkrit dalam menyusun undang-undang. Jadinya, sebuah karya yang demikian akan dismpan di perpustakaan, lalu dibaca oleh para tikus.

Celakanya, peneliti asing datang ke Aceh sepanajng tahun untuk melakukan penelitian. Hasilnya pasti mereka bawa ke negara mereka sendiri. Sementara orang Aceh sendiri tidak melakukannya. Katanya tidak ada dana. Tapi saya tahu sekali kalau banyak peneliti asing yang datang ke Aceh juga dengan dana yang sangat minim. Lantas kenapa kita tidak melakukannya? Karena integitas akademiki di Aceh memang belum sebagus di negara asing. Kita masih belum sadar akan pentingnya mendokumentasikan semua hal yang terkait dengan perkembangan bangsa sendiri. Di masa depan kita mengagungkan sejarah yang penuh mistik dan kebohongan. Persis seperti cerita kesultanan Aceh yang berkembang saat ini, penuh mistis, irrasional dan terlalu banyak hayalan.


Tuesday 28 February 2012

Carnevale Ambrosiono: Pesta Rakyat di Milano

Secara tidak sengaja sabtu lalu saya datang ke Duomo. Saya terkejut saat melihat ada banyak orang di sana. "Banyak orang" sebenarnya biasa, namun hari sabtu yang lalu orang-orang mengenakan pakaian yang khas, pakaian tradisional, pakai topeng, pakaian super hero, mengecat muka dan lainnya. Anak-anak, remaja dan orang dewasa. Cina, India, Arab, Amerika Latin, Eropa, Afrika, sama saja. Semua berbaur jadi satu. Ada apa ini? Saya jadi penasaran.

Di depan Duomo saya melihat sebuah panggung bertuliskan: Carnevale Ambrosiano. Ternyata hari ini ada carnava ambrosiano. Saya tidak tahu pasti apa itu carnaval ambrosiano. Namun dari ngobrol dengan beberapa orang di sana disebutkan, karnaval ini adalah perta memperingati kedatangan dewa Abrojo atau Ambrosiano, seorang dewa yang melindungi kota Milan. Namun saat ini, pesta ini menjadi ajang bagi warga kota untuk saling berbagi dan membina silaturahim antar suku bangsa yang hidup di Milan.

Ada banyak hal yang menarik dari carnaval ini, diantaranya: pakaian yang dikenakan oleh peserta. Seperti karnaval agustusan di Indonesia, peserta carnaval ini juga mengenakan pakaian yang beraneka ragam. Namun karena yang mengikuti acara berasal dari suku bangsa yang berbeda jadi pakaiannya juga sangat beragam, sesuai dengan pakaian adat suku bangsa tersebut. Milan adalah kota kosmopolit. di sana hidup banyak orang dari berbagai bangsa dan berbagai suku di dunia. Kosmopolit dalam pakaian ini nampak jelas dalam acara carnaval kali ini.

Menarik juga melihat keterlibatan anak-anak. Dalam acara ini anak-anak benar-benar mendapatkan tempat bermain dan bertemu dengan sesama mereka. Semua anak-anak berada di bawah pengawasan orang tua mereka. Jadi tidak ada anak yang berkeliaran, atau menangis karena kehilangan orang tuanya. Kemanapun mereka pegi, orang tua mereka mengikuti. Bahkan orang tua mereka membantu si anak untuk bisa terus bermain.

Menarik juga melihat kekhasan permainannya. Pada acara carneval ini permaian yang utama adalah kertas warna-warni yang di potong kecil-kecil (ada banyak orang yang menjual kertas ini dalam bungkusan plastik), dan spray salju. Kertas-kertas ini menjadi permaian utama bagi anak-anak. mereka melemparkan kertas ke udara dan menunggu jatuh ke mukanya lagi. Atau mereka melemparkan kertas kepada teman-teman kecilnya, baik yang mereka kenal atau bertemu saat berjalan. Tidak ada yang marah, yang ada hanya aksi saling melemparkan kertas.



Spray salju juga dipakai untuk aksi saling semrot. Mungkin aksinya hampir sama dengan anak SMA yang baru lulus ujian akhir. Hanya saja, dalam carnaval ini aksinya "lebih gila" karena saling berbalas semprot. Namun tidak ada yang marah karena mereka nampaknya menikmati acara semprot-semprotan itu. Yang paling banyak melakukannya memang anak-anak dan remaja, namun banyak orang tua juga melakukan hal yang sama. Jadinya super heboh. Coba lihat rekaman yang saya upload di youtube berikut ini:

Tidak hanya pada siang hari, acara ini berlangsung hingga malam hari. Ada dua even menarik pada malam hari. pertama carbevale di populi, atau pesta rakyat. Dalam hal ini berbagai suku bangsa yang ada di Milan menunjukkan tarian dan nyanyian khas negara mereka. Namun karena hubungan masa lalu Italia lebih banyak dengan negara-negara di Amerika Latin, yang mendominasi pementasan ini juga dari Amarika Latin. Arab yang lumayan banyak di Milan juga menempatkan diri dalam pementasan ini. Sementara Cina dan Filipina yang ada di Milan nampaknya belum sampai pada taraf bisa tampil dalam acara ini. Jangan tanya Indonesia!

Ini salah satu pementasan dari Cuba:

 
 


Dan ini sebuah shalawat dari Arab/Mesir:

 

Acara malam ditutup dengan sebuah pementasan drama. Ada yang menarik dari pementasan ini, yaitu, pesertanya semua berjalan di atas kaki tambahan sehingga mereka menjadi sangat tinggi-tinggi. Dari semula hingga pementasan berakhir, semua berjalan di atas kaki tambahan itu. Jadi bukan hanya menarik penampilan drmanya, namun juga seolah kita sedang menonton sebuah akrobat. Saya terkesima dengan penampilan drama ini. Saya merekam sejak pertama hingga akhir yang seluruhnya hampir satu jam. Namun sayang sekali tidak bisa diupload ke youtube karena terlalu panjang. Berikut salah satu bagian dalam pementasan itu:







Monday 27 February 2012

Wajib Jurnal? Jurnal yang Bagaimana?

Meskipun sudah sedikit mereda, diskusi mengenai wajib menulis di jurnal yang digagas oleh Dikti masih menarik dibahas. Hal ini tidak terlepas dari efek berantai kebijakan ini. Dari semangat menulis, kualitas tulisan hingga kemungkinan menampung tulisan mahasiswa. Jadi baaimanapun keputusan Dikti akan berimplikasi pada banyak sistem di perguruan tinggi di Indonesia.

Paling umum ada dua -katakanlah- kubu yang terbentuk akibat keputusan tersebut. Mereka sama-sama berpijak pada satu keinginan yang mulia yaitu memajukan dunia akademik Indonesia. Hanya saja kelompok yang pro dengan surat Dikti merasa cara "pemaksaan" ala Dikti ini sudah pas karena mau tidak mau orang akan berfikir keras untuk menulis agar ia bisa lulus di sebuah jenjang pendidikan. Sementara kelompok kedua berfikir itu tidak logis sebab kita belum siap dengan fasilias dan sistim pengelolaan jurnal. Kebijakan mendadak seperti ini bukannya akan meningkatkan iklim akademik di perguruan tinggi, malah menjadi pendorong lahirnya tulisan asal-asalan.

Seorang teman saya pengurus sebuah jurnal bersyukur dengan munculnya surat Dikti ini. Ia berharap pemaksaan ala Dikti ini akan meningkatkan jumlah tulisan ilmiah yang akan masuk ke jurnal yang dikelolanya. Selama ini katana, ia sangat sulit mendapatkan tulisan sehingga jurnalnya sering terbit terlambat. Jangankan tulisan yang berbobot, tulisan dengan kualitas biasa saja hampir tidak mencukupi untuk sekali terbit

Dengan adanya surat dikti maka mau-tidak mau mahasiswa akan menulis dan mencari jurnal untuk memuat tulisan mereka. Dalam kondisi seperti ini pengelola jurnal mungkin akan kebanjiran tulisan. Bahkan kalau mau pasang tarif sekalipun akan tetap mendapatkan tulisan (sesuatu yang sulit untuk konteks penerbitan jurnal selama ini).

Menulis itu mudah?

Ada sebuah kecenderungan belakangan ini tentang dunia menulis di Indonesia. Beberapa orang menjadi(kan dirinya) sebagai motivator menulis. Prinsip mereka sama saja: menulis itu mudah. Mereka mengkampanyekan prinsip bahwa cara menulis adalah dengan mulai menulis. Beberapa diantaranya lebih spesifik lagi, misalnya bagaimana menulis di koran, menulis novel, menulis buku dalam seminggu, dan lain sebagainya.

Bahkan setelah keluarnya surat Dikti saya membaca beberapa artikel yang mengatakan menulis di jurnal itu mudah dan juga menyenangkan. Jadi tidak ada alasan untuk takut dengan peraturan tersebut. Sealiknya malah surat Dikti bisa menjadi pendorong bagi kita untuk terus berkarya. Perlu dicatat, yang menulis artikel tersebut adalah seorang editor penerbitan, bukan seorang akademisi di kampus.

Apa yang salah? Tidak ada! Semua orang punya hak mengemukakan pendapatnya, termasuk mengenai menulis. Bahkan siapa saja berhak mengemukakan pandangannya mengenai cara menulis, termasuk "cara menulis mudah di jurnal ilmiah". Hanya saja, apakah apa yang dikatakan tersebut bisa sesuai dengan kenyataan di lapangan? Mungkin aspek ini bisa menjadi celah kita berdiskusi.

Menulis vs Menulis di Jurnal

Saya sendiri memandang, ada perbedaan antara "menulis" dengan "menulis di jurnal. Saya membuat tulisan ini dengan meggunakan handphone sambil duduk berjemur (karena ini adalah hari kedua matahari bersinar terang) di balkon apartemen saya di Milan dan menikmati kopi espresso. Dengan ini, saya sudah "menulis". Apakah dengan cara yang sama saya bisa menulis sebuah artikel untuk jurnal ilmiah? Saya sendiri menjawab, tidak akan!

Menulis di jurnal adalah sebuah proses yang serius dan -sedikit- kerja keras. Tidak bisa instan atau tiba-tiba siap. Menulis jurnal adalah seuah abstraksi dari pandangan seorang penulis terhadap realitas dengan menggunakan kacamata keilmuan. Tulisan akan jadi "ilmiah" jika ia terkoneksi dengan teori tertentu dalam sebuah bidang ilmu. Sekali lagi, menurut saya, maaf, ini bukan hal mudah.

Oleh sebab itu tulisan di jurnal tidak bisa dibuat asal-asalan dan sambil lalu. Ambil sana copot sini kopas sana sini, plum! Jadilah sebuah tulisan. Apakah itu bisa disebut karya ilmiah? Kalau "iya" maka benar anggapan menulis di jurnal itu mudah. Namun bagi saya, tulisan di jurnal harus dimulai dengan mengidentifikas masalah, mengemukakan literatur atau debat singkat teoritis mengenai tulisan dimaksud, lalu kita menawarkan sesuatu yang berbeda atau cara berbeda dalam hal yang sama.

Tidak hanya di situ, tulisan di jurnal juga wajib mendapatkan pembacaan dan koreksi dari satu atau berapa orang lain yang dianggap paham dengan bidang ilmu yang dibahas dalam sebuah tulisan. Tidak bisa seperti saya menulis di blog ini, membuka template buat postingan baru, menulis, lalu tekan publish, selesai. Publikasi di jurnal membutuhkan sebuah proses yang jauh lebih lama dan panjang.

Kejar kuantitas atau tingkatkan kualitas

Andai tujuan publukasi di jurnal seperti yang ada dalam surat Dikti (untuk mengejar kuantitas publikasi yang jauh tertinggal dari Malaysia) maka cara Dikti memaksa publikasi kepada mahasiswa sudah sangat tepat. Mulai bulan agustus 2012 kita akan lihat lahirnya tulisan-tulisan "ilmiah" yang dipublikasikan melalui berbagai jurnal, termasuk "jurnal online".

Namun sebaliknya kalau tujuannya meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) melalui publikasi ilmiah maka ada banyak jalan lain yang harus dilakukan dan pemaksaan tidak termasuk diantaranya. Jalan itu antaa lain adalah meningkatkan kesadaran ilmiah di kalangan akademisi kampus, ya mahasiswa ya dosen. Tanpa kesadaran akademik, mampu memproduksi jutaan  jurnal sekalipun SDM bukannya akan semakin baik tapi semakin hancur karena lahirnya tulisan asal-asalan dan jurnal hasil plagiasi.

Di sinilah, menurut saya, peran dosen di peguruan tinggi. Dosen seharusnya menjadi sebuah panutan bagi mahasiswa dalam menghasilkan karya yang berkualitas. Jika seorang dosen mengajarkan mahasiswa tentang menulis, maka ia harus bisa mencontohkan tulisannya sendiri. Bukan berarti tidak boleh mengambil contoh tulisan lain (yang dengan jujur diakui lebih baik) tapi menunjukkan tulisan sendiri akan melahirkan sebuah motivasi berbeda pada masiswa karena si dosen tidak "omdo" alias omong doang. Dengan mencontohkan tulisan sendiri si dosen juga bisa bercerita bagaimana tulisan itu diproses dari awal hingga selesai dan dipublikasi. Dengan cara ini publukasi di jurnal akan banyak dan juga bagus. Semoga.

Friday 24 February 2012

Haruskan IAIN Menjadi UIN?

Belakangan ini kampanye dan usaha mengubah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry semakin kencang. Pihak kampus IAIN melakukan beberapa audiensi dengan berbagai pihak di Aceh untuk mendapatkan dukungan perubahan tersebut. Selain pemerintah Aceh, pemerintah kota Banda Aceh, DPRA, Polda Acehpun sudah menyatakan dukungan untuk perubahan IAIN menjadi UIN. Dukungan ini menjadi salah satu aspek yang akan menguatkan tawaran IAIN kepada pemerintah dalam usaha perubahan ini. Tanpa mengecilkan arti usaha itu, sebuah pertanyaan yang layak diajukan adalah: sejauh mana perlunya perubahan IAIN menjadi UIN?

Alasan terdepan yang selalu dikemukakan oleh petinggi kampus dalam usaha perubahan ini adalah, "agar IAIN bisa membuka fakultas umum seperti halnya kampus tetangga, Unsyiah". Pembukaan fakultas dan prodi umum akan menjadikan IAIN ampu bersaing dengan universitas lain dalam menjaring minat studi mahasiswa. Apalagi belakangan di Aceh sudah berdiri STAIN Malikussaleh dan STAIN Cot Kala yang juga memiliki misi studi Islam yang hampir sama dengan IAIN. Nyaris, mahasiswa IAIN Ar-Raniry beberapa tahun terakhir didominasi oleh alumni SMA/MAN dari pantai Barat Selatan dan Banda Aceh-Aceh Besar.

Tujuan lainnya yang meskipun tidak terlalu populer namun ada dalam pikiran semua pihak di IAIN adalah, perubahan IAIN menjadi UIN akan memberikan jalan yang lebih mudah untuk menerapkan dan merealisasikan ide-ide tentang ilmu integrasi islam dan ilmu pengetahuan umum yang selama beberapa dasawarsa terakhir sudah sangat populer di dunia Islam. Sudah terlalu banyak "teori" integrasi yang sudah diberikan, namun masih sangat sedikit aplikasinya di lapangan. Dengan menjadi UIN maka kesempatan IAIN mengaplikasikan teori tersebut akan menjadi lebih mudah.

Arti IAIN: Sebuah Introspeksi

Meskipun sebagai dosen di IAIN Ar-Raniry, saya tidaklah terlalu ambisius untuk perubahan ini, meskipun saya bukan orang yang menolak sama sekali. Ada sebuah keraguan yang tidak bisa saya hindari ketika semangat perubahan ini didengungkan. Keraguan ini adalah menyangkut dengan pertanyaan: Apakah kita sanggup dengan perubahan tersebut?

Banyak kolega saya di IAIN menyambutnya dengan acungan kepalan tangan ke atas dan mengatakan: "Kita bisa!" Sungguh sebuah jawaban yang luar biasa. Saya yakin, kesiapan dan semangat akan membuat semuanya menjadi lebihmudah. Jika semua orang di IAIN sudah merasa perubahan ini akan menjadikan IAIN lebih baik, maka tidak tidak alasan untuk menundanya.

Namun saya ingin mengatakan, janganlah semangat perubahan menjadi UIN hanya didasarkan pada keinginan "kesempatan membuka prodi umum" dan "kesempatan integrasi ilmu keislaman dengan ilmu umum" semata tanpa melihat apa yang bisa kita lakukan selama ini. "Bisa" di sini adalah, apa yang sudah kita lakukan selama ini dengan status kampus yang "hanya" Institut.

Ada sebuah pertanyaan yang menurut saya perlu dijawab. Apakah yang menyebabkan IAIN mundur karena "institut" atau karena faktor lain yang ada di dalamnya. Kedua, apakah nama "universitas Islam" akan menjamin IAIN ke depan lebih baik? Dua pertanyaan ini akan membawa kita untuk bisa melihat kembali pada diri masing-masing, lalu menilais sejauh mana perubahan nama ini perlu.

Kualitas Pribadi vs Sebuah Nama

Saya sendiri cenderung berfikir bahwa ketertinggalan kampus bukan disebabkan oleh namanya, namun ada pada sistim pengelolaan yang ada di dalamnya. "Institut" dan "Universitas" bagi saya sama saja sejauh ia bisa dikelola dengan baik dan dengan sebuah visi yang jelas. Selain itu, di dalamnya ada civitas akademika yang memiliki dedikasi dan semnagat yang tinggi dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Apapun namanya, jika ia memiliki dedikasi yang kuat dalam pengembangan ilmu, maka ia tetap akan maju dan diincar oleh siapa saja.

Selama ini, saya melihat, IAIN belumlah menjadi sentral pengembangan ilmu pengetahuan agama di Aceh. Peran IAIN masih sekedar menjalankan administrasi pendidikan ilmu agama Islam saja, belum sampai pada mengembangkan dan mensponsori pengembangan ilmu keislaman. Sebagai "administrator", selama ini IAIN menjadi media transformasi ilmu dari seorang dosen kepada mahasiswa. Dosen mendapatkan ilmu dari tempat lain dan membaginya kepada mahasiswa. Tidak ada ilmu "khas" IAIN yang dikembangkan, yang ada hanyalah pengambilan ilmu dari tempat lain dan bulat-bulat diberikan kembali kepada mahasiswa.

Mudahnya begini. Meskipun IAIN berada di Aceh, namun Aceh sama sekali tidak bisa dilihat dari IAIN. Penelitian-penelitian yang ada di IAIN masih tidak bisa menggambarkan apa yang terjadi di Aceh. Bahkan apa yang terjadi di Aceh, tidak bisa dijelaskan oleh civitasakademika IAIN. Justru ornag luar -provinsi atau negara- yang datang ke Aceh untuk melakukan penelitian dan dokumentasi mengenai Aceh. Celakanya, dokumentasi mereka kemudian menjadi rujukan bagi civitasakademika IAIN dalam melihat daerahnya sendiri.

Tentu kita tidak bisa menafikan beberapa pakar dari IAIN yang berperan dalam pengembangan agama dan pemerintahan di Aceh. Namun itu jelas bukan (setidaknya tidak 100%) bagian dari posisinya sebagai ilmuan. Sebagai ilmuan, menurut saya, civitasakademika IAIN harus menjadi "perekam peradaban" yang sedang berlangsung di Aceh, dan menempatkan perspektifnya dalam semua hal yang yang terjadi di Aceh belakangan ini. Apakah ini sudah terjadi? Saya melihatnya belum.

Hal yang paling mudah adalah dengan melihat konteks Aceh kontemporer, saat ini. Sekarang di Aceh sedang berlangsung sebuah proses pemeilihan kepala daerah. Ada banyak partai, ada banyak kekerasan, ada banyak teror, ada banyak intrik politik, dan lain sebagainya. Di sisi lain, IAIN memiliki jurusan politik Islam. Pertanyaannya, sejauh mana akademisi di jurusan politik Islam mencerdasi apa yang terjadi dalam proses demokrasi di Aceh ditinjau dari eprspektif Islam? Apakah proses ini sudah sesuai dengan prinsip politik Islam?

Seharunya, ini menjadi "laboraorium hidup" bagi IAIN untuk menerapkan apa yang berkembang di kampus. Apa yang sudah didiskusikan di kelas, bisa dilihat di pangangan dan melakukan penilaian. Hasil penelitian akan kembali didiskusikan di kampus dan diabstraksikan dalam bentuk tesis-tesis keilmuan yang akan terus berkembang secara dinamis. Semakin lama, abstraksi ini semakin kuat dan teruji. Dan pada suatu masa ia akan menjadi salah satu produk ilmu pengetahuan khas yang lahir dari IAIN.

Mungkin lain kali saya akan mencoba memberikan gambaran dan contoh dari beberapa fenomena sosial di Aceh lainnya.

Kembali ke pertanyaan semula, apakah untuk melakukan ini perlu mengubah IAIN menjadi UIN? Saya kembali menjawabnya: Tidak! Dalam status sebagai IAINpun, hal ini bisa dilakukan.

Namun pertanyaan yang paling -menurut saya- sulit untuk dijawab adalah, Apakah alumni sebuah kampus yang bergelut dengan wacana keilmuan teoritis adakan bisa mendapatkan pekerjaan setelah ia menjadi sarjana?

Mungkin ini bisa jadi sebuah pertanyaan yang lain lagi, namun sekaligus harus dijawab berbarengan dengan keinginan perubahan IAIN menjadi UIN. Memang sulit mengatakan bahwa seorang alumni IAIN bisa eksis di dunia kerja kalau kampus tidak menyesuaikan diri dengan apa yang berkembang. Seorang ahli filsafat Islam alumni Fakultas Ushuluddin misalnya. Ia lulus dengan predikat terbaik di kampus, mau jadi apa? Apa yang bisa dilakukannya? Satu dua orang bisa menjadi peneliti atau penulis, namun berapa banyak yang bisa demikian? Akhirnya mereka akan kembali ke kampung dan hidup seperti masyarakat biasa di sana. Lalu untuk apa kuliah?

Saya sendiri sungguh tidak punya jawaban untuk pertanyaan seperti ini. Jika dengan mengubah Institut menjadi Universitas mampu mengatasi problem ini, maka saya bisa maklumi kalau perubahan itu memang niscaya. Saya ikut mendoakan saja.



Thursday 9 February 2012

Ibu Muda dan Surat Dikti

Ibu itu masih muda, mungkin tiga tahun lebih muda dari istri saya. Tapi anaknya dua tahun lebih tua dari anak kami. Saat saya tinggal di Jogja tahun lalu, hampir setiap awal bulan kami berjumpa. Saya dan istri, dia bersama anak laki-lakinya, sama-sama pergi ke Mbah Mul, tukang urut kebugaran bayi di Yogyakarta. Karena sering jumpa, kami sering bercerita, termasuk tentang pekerjaan suaminya.

“Masnya kok mau ya, kuliah dengan biaya sendiri jauh-jauh dari Aceh. Suamiku dikasih beasiswa ke Mesir tapi malah lebih suka kerja di sini.”

“Suami mbak kerjanya apa?”

“Itu… bantuin mahasiswa bikin tugas akhir. Katanya, mendingan kerja dari pada sekolah. Kalo sekolah ga bakal bisa beli mobil dan bikin rumah seperti sekarang.”

“Masa sih bantuin bikin tugas akhir mahasiswa bisa buat rumah dan beli mobil?”

“Bisa dong mas. Masku sudah punya banyak skripsi, tesis dan disertasi di komputernya, semua jurusan. Dia juga ada penelitian kerja sama dengan pegawai pusat penelitian universitas di Jogja. Jadi gampang bikin karya akhir. Kalo skripsi paling dua tiga hari udah siap. Kalau disertasi bisa sebulan.”

“Trus dapat berapa untuk satu karya akhir?”

“Itu rahasia”

“Emangnya banyak ya, mahasiswa yang minta dibikini karya akhir begitu?”

“Bukan hanya mahasiswa, dosen juga banyak.Untuk jurna buat naik pangkat. Apalagi pejabat-pejabat yang mau cepat selesai kuliah. Dia mau bayar mahal lho, yang penting cepat selesai.”

***

Melalui surat Nomor: 152/E/T/2012 tertanggal 27 January 2012, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) Indonesia mengeluarkan kebijakan baru terkait dengan kelulusan sarjana di Universitas. Semua lulusan berbagai strata harus mempublikasikan tulisannya di jurnal ilmiah. Hal ini dimaksudkan untuk mengejar ketertinggalan publikasi ilmiah di Indonesia yang kalah jauh dari Malaysia. Sebuah niat yang perlu kita apresiasi.

Namun sayup-sayup saya teringat percakapan kami setahun yang lalu di Yogyakarta. Suami-suami lain mungkin akan berfikir untuk melakukan hal yang sama dengan suami si mbak itu. Tidaklah terlalu sulit membuat skripsi, tesis bahkan disertasi, apalagi bagi mereka yang sudah berkali-kali membuatnya. Kopas sana kopas sini, selesai. Bahkan kini sudah ada “jasa konsultasi dan pengolahan data akademik” di internet yang bisa membuat skripsi dalam beberapa hari saja.

Bagaimana dengan karya ilmiah di jurnal? Mereka bisa membuat dengan jurnalnya sekalian. Sangat gampang!!

Begitulah Indonesia.

Thursday 26 January 2012

Sidang Disertasi di Negeri Materialis

Saya datang jam dua, sesuai undangan. Saat saya buka aula seminari tidak ada orang di sana. Tidak ada juga tanda-tanda kalau di sana akan diadakan sebuah perhelatan penting. Ruangan itu besarnya “hanya” lima kali empat meter saja. Di salah satu sudutnya ada seperangkat televisi. Di sisi kanan pintu masuk ada sebuah lemari arsip. Di tengah ruangan ada sebuah meja agak panjang dengan beberapa kursi di sekelilingnya. Di dua sisi dinding berderet kursi. Karena tidak ada orang, saya pergi ke sekretariat mahasiswa Ph.D. Namun ternyata di sana juga tidak ada orang. Tapi saya sangat yakin kalau saya tidak salah dengar berita minggu lalu.

Orang yang menyampaikan berita itu adalah –katakan saja namanya Julia, kakak leting saya di kampus. Ia mengatakan kalau hari ini jam dua lewat ia akan mengikuti sidang disertasi. Dalam tradisi kampus di manapun, sidang disertasi adalah babak terakhir dari proses pendidikan doktoral di universitas. Setelah selesai presentasi di hadapan dewan penguji, habis sudah “kontrak” menjadi mahasiswa, sebab itu berarti sudah selesai semua proses, sudah berhak menyandang gelar Ph.D sesuai dengan bidang ilmunya.

Setengah jam saya di ruangan mahasiswa doktor, tiba-tiba pintu terbuka. Saya lihat Leonardo masuk. Saya kenal betul dia, anak delapan tahunan, putra tertua Julia. Berikutnya masuk Julia dan anak bungsunya yang belum genap dua tahun, disusul adik Julia, orang tuanya, mertuanya, dan seorang teman. Setelah berbasa-basi sebentar, kami menuju ruang sidang. Semula saya menduga ada ruang lain yang akan digunakan, bukan aula seminari yang tadi saya lihat. Tapi dugaan saya keliru, ruang itulah yang dipakai untuk sidang.

Kami masuk semua, termasuk anak-anak Julia. Sesaat kemudian datang tiga orang penguji dan duduk di salah satu sisi meja. Julia duduk di sisi meja yang lainnya, mereka berhadapan. Mereka basa-basi dengan sangat ramah sebentar sehingga tidak terlihat Julia tertekan menghadapi “sidang”. Jangan bayangkan Julia dan penguji mengenakan baju toga besar dan berat dengan berbagai pernak-pernik keemasan di depanya, sama sekali tidak. Baik Julia maupun pengujinya, mengenakan baju biasa. Penguji yang laki-laki mengenakan celana kain dan baju krim. Seorang penguji perempuan mengenakan jeans, bajo kaos dengan luaran sweater. Seorang penguji perempuan yang lain juga mengenakan pakain sehari-hari. Julia sendiri mengenakan baju kaos dengan sweater (karena musim dingin), dan mengenakan celana pendek.

Pembimbing Julia duduk di barisan tamu, barisan di mana saya duduk, persis di belakang Julia. Ia hanya punya hak mendengar saja, tidak ada hak bicara kecuali kalau diminta. Sidang dimulai dengan mempersilahkan Julia menjelaskan isi disertasinya. Lumayan lama, mungkin 20 menit. Penjelasan tanpa teks dan tanpa melihat disertasi (Julia sendiri tidak membawa disertasi dalam sidang). Kemudian dilanjutkan dengan tanya jawab. Sidang ini bukanlah “menguji” mahasiswa, tapi memberikan saran supaya disertasinya lebih baik. Saran termasuk referensi tambahan, cara analisis, prospek ke depan terkait dengan bidang tulisan si mahasiswa, termasuk kemungkinan penerbitan karya itu menjadi buku. Kalau saya lihat, suasananya adalah suasana “ngobrol serius di warung kopi,” bukan seperti sebuah sidang akhir di Universitas.

Setelah dua jam, sidang selesai. Kami dipersilahkan keluar sebentar. Di luar kami mengucapkan selamat kepada Julia karena ia bisa menyampaikan isi tulisannya dengan lancar dan bisa mejawab beberapa pertanyaan penguji juga dengan lancar. Hanya beberapa menit, kami dipersilahkan masuk kembali dan sidang dilanjutkan. Julia dan ketiga penguji berdiri berhadapan. Penguji mengatakan kalau sidang sudah selesai, dan Julia lulus dengan predikat tertentu. Selesai, para penguji duduk kembali dan menandatangani semua dokumen administrasi, termasuk dokumen yang mengatakan bahwa sidang sudah selesai. Artinya, setelah sidang itu, Julia tidak perlu lagi berhadapan dengan penguji untuk meminta tanda tangan mereka. Kami keluar dan kembali ke ruang Ph.D, semua, termasuk tiga orang penguji.

Di sana, kami minum-minum, sampagne, teh, coca-cola, makan gorengan dan beberapa potong roti. Tidak ada perbedaan strata makanan antara mahasiswa, tamu dan tiga orang professor yang barusan menguji disertasi. Seperti halnya tamu, mereka juga menuangkan air sendiri ke dalam gelas plastik sekali pakai yang disiapkan Julia, mengambil sendiri maknan di atas meja, makan sambil berdiri dan bercerita dengan rekan yang lain. Di sana ada ibu kandung Julia, juga bapak dan ibu mertuanya, profesor pembimbing dan tiga orang proffesor yang barusan menguji tadi. Selebihnya adalah keluarga dekat Julai dan beberapa temannya. Suasana sangat santai.

Di sela-sela pesta kecil itu pikiran saya terbang ke kampus kecil Darussalam-Banda Aceh di mana saya mengajar. Saya melihat wajah kerut mahasiswa S1 yang kesusahan menyedikan buah-buahan mahal atau makan siang nasi kotak untuk dosen pengujinya. Saya melihat wajah sangar dosen yang merasa paling paham atas hasil kerja mahasiswa S1 yang padahal saat kuliah ia sendiri jarang masuk mengajar mereka. Saya melihat pembimbing yang berlepas tangan atas mahasiswa bimbingannya yang sedang “diserang” oleh penguji dan merasa seolah semua kata yang tercetak dalam skripsi itu adalah hasil kerja si mahasiswa dan si mahasiswa bertanggung jawab sepenuhnya atas hasil kerja itu. Saya melihat semua mereka berada di ruang khusus dengan spanduk khusus dan pakaian khusus yang terkadang membuat mereka kepanasan dan sulit bernafas. Itu suasana S1. Bagaimana kalau S3?

Yah… begitulah. Kita mengatakan pemilik qanaah, tapi kita berlaku boros. Sebaliknya kita mengatakan orang materialistis, padahal ternyata dalam banyak hal mereka mempraktekkan hidup sederhana.



5 Cara Menemukan "Masalah" Penelitian

Sepertinya tidak ada orang di dunia yang tidak ada masalah. Dari banugn tidur hingga tidur lagi orang selalu terlibat masalah. Bahkan tidu...