
Namun saya yakin pula bahwa hidup bukan hanya untuk mengenang itu saja. Ada banyak hal lain yang perlu dilakukan. Bencana memang datang, prahara memang terjadi, kekacauan, konflik, perebutan kekuasaan selalu terulang dan terulang. Tapi hidup tetap harus dilalui dengan perjuangan dan kebahagiaan. Terlarut dalam duka dan kenangan masa lalu akan menghantarkan manusia pada masa lalu itu dalam hayal dan mimpinya. Ia terbuai dan terlalai dengan mimpi itu hingga ia lupa realita yang ada di depan matanya. Dan tidak ada yang diperoleh oleh orang yang demikian selain penyesalan dan kegagalan. Kita harus bangkit dan bersemangat!
Semangat saya semakin bangkit tatkala ribuan orang datang dari berbagai daerah dan negera bahu-membahu menampakkan kepedulian mereka untuk membantu masyarakat Aceh bangkit kembali. Malam kedua pasca bencana langit Banda Aceh dipenuhi oleh pesawat yang datang setiap menitnya. Beberapa diantaranya harus terbang berputar di udara untuk menapatkan “giliran” mendarat. Mereka membawa orang yang hendak membantu meringankan penderitaan korban tsunami dan membawa banyak bantuan yang diperlukan; makanan, pakaian, obat-obatan, selimut, tenda, dan lainnya. Sehingga pada minggu pertama saja ratusan tenda pengungsi telah dilengkapi dengan posko kesehatan dan tenaga medis. Bukan hanya tenaga kesehatan dari Indonesia, namun juga dari manca negara. Pasukan militer dari Jerman, Malaisya, Amerika, Australia, Jepang, Inggis, Rusia dan dari berbagai negara lain mendirikan tenda pelayanan bagi pengungsi. Saya takjub, mereka begitu siap, begitu lengkap, begitu rapi terkoordinasi. Kehadiran mereka sungguh membuat semangt hidup saya bangkit kembali.
Beberapa bulan kemudian, kala bantuan darurat itu selesai, disusul pula bantuan jangka panjang, fisik dan mental intelektual. Saya adalah salah satu orang yang “bangkit” dengan berbagai bantuan tersebut. Dua bulan setelah tsunami saya bekerja dengan Nonviolence International selama delapan bulan. Kemudian saya bergabung dengan British Red Cross Society (BRCS) untuk program community development, di Aceh Jaya. Bekerja dengan lembaga asing, berteman dan bergaul dengan orang yang berbeda daerah dan negara menjadikan saya seolah lupa bahwa saya adalah bagian dari korban. Saya malah merasa orang yang harus membantu teman-teman, saudara-saudara, masyarakat Aceh yang menjadi korban tsunami. Bekerja dengan mereka saya belajar banyak hal, tentang pergaulan, manajemen, keuangan, kedisiplinan, kepemimpinan, fasilitasi dan lain sebagainya. Nampak saja saya bekerja, padahal sesungguhnya saya sedang belajar. Dan belajar adalah terapi untuk mental saya yang droup dan trauma setelah musibah itu melanda.

Saya berjumpa dengan orang yang merasa dizalimi dan tidak puas dengan semua bantuan itu. Ada mereka yang merasa tidak mendapatkan apa-apa dengan semua yang diberikan untuk korban tsunami. Ada juga yang sampai hari ini masih tinggal di tenda-tenda karena mereka terabaikan dari pantauan pemberi bantuan. Di sebalik itu ada mereka yang memanfaatkan bantuan untuk memperkaya diri, keluarga dan kelompoknya. Ada yang menggunakan data korban untuk mencari uang. Tidak sedikit pula yang “mengemis” mengatakan ia adalah korban tsuami untuk membangkitkan emosi iba pada orang lain dan memberinya bantuan. Bagi saya itu adalah fenomena manusiawi yang ada dan terjadi di mana saja di dunia ini.
Satu hal yang pasti, setelah bencana besar itu terjadi lima tahun yang lalu, saya mendapatkan sebuah pelajaran hidup yang tak terkira besarnya. Pelajaran tentang fenomena alam, tentang keterbukaan, tentang kerja sama dan bantuan kemanusiaan, pelajaran kehidupan dari masyarakat yang berbeda, pelajaran tentang berbagai ilmu kehidupan yang kaya yang mungkin tidak akan pernah saya dapatkan di kesempatan lain dalam hidup saya. Dan saya berterima kasih kepada semua yang memberikan perhatian itu, sejak hari pertama tsunami hingga hari ini. Terima kasih Indonesia, terima kasih dunia.
No comments:
Post a Comment