Dua hari yang lalu, sekelompok guru Agama Islam SMP Banda Aceh mengundang saya untuk berdiskusi menganai penulisan makalah ilmiah. Saya tidak yakin benar kalau saya mampu mengemban permintaan tersebut. Namun berbekal pengalaman menulis beberapa kali plus beberapa pelatihan yang saya ikuti, saya memenuhi undangan tersebut. Apalagi saya merasa juga harus memulai berlatih berbicara di dapan orang lain, tidak hanya menulis. Almarhum HAMKA yang menjadi tokoh kebanggaan saya menginspirasi saya, bagaimana seseorang yang mampu menulis juga harus mampu berbicara tentang tulisannya.
Pertemuan itupun dimulai. Ada dua pluhan guru yang hadir. Menurut ketua kelompok, sebenarnya kelompok mereka ada 60 orang. Namun yang hadir memang sangat variatif. Terkadang banyak, namun sering pula sangat sedikit. 20 orang yang hadiri pada hari itu semuanya guru perempuan. Seorang guru laki-laki yang datang hanya bembantu memasang proyektor, lalu menghilang entah kemana. Jadi selama dua jam saya berdiskusi dengan ibu-ibu mengenai tema yang kami pilih: Bagaimana Menulis Makalah Ilmiah?
Mengawali diskusi, saya meminta mereka untuk mengemukakan unek-uneknya tentang menulis dan kenapa mereka berfikir mau belajar menulis makalah ilmiah. Beberapa orang guru memberikan pandangan, atau lebih tepat curhat mengenai penulisan. Dari bicang-bincang tersebut ternyata mereka mau menulis untuk memuluskan usaha naik pangkat. Katanya, kalau mau dapat IVa maka harus ada satu makalah ilmiah. Kalau mau IVb harus ada dua makalah ilmiah. Semula yang saya pikirkan makalah ilmiah adalah artikel akademik seperti yang sering dipublikasi dalam jurnal ilmiah di kampus. Ternyata dugaan saya salah, yang mereka maksudkan adalah sebuah laporan penelitian tindakan kelas yang dibagi dalam beberapa bab seperti umumnya tugas akhir mahasiswa.
Saya sedikit bersedih ketika ada beberapa guru yang mengatakan: “Bapak berikan contohnya saja lalu jelaskan apa yang harus kami tulis. Nanti kami bisa contoh tulisan yang sudah ada saja. Banyak kok tulisan di mana-mana, tinggal pindahkan saja lalu masukkan nilainya.” Semula saya bingung dengan kalimat ini, namun setelah mendapatkan penjelasan saya maklum, ternyata mereka mau saya memberikan sebuah format yang lengkap: bab satu isinya apa, bab dua apa, bab tiga apa dan seterusnya. Berdasarkan format ini mereka tinggal mengisi nilai yang mereka dapatkan dalam ujian di kelas, dan sebuah “laporan ilmiah” selesai.
Saya sungguh sangat tidak mau ini terjadi. Bagi saya itu adalah sebuah bentuk plagiat yang sangat tercela. Karenanya, sebelum menjelaskan mengenai bagaimana membuat makalah ilmiah, saja meengajak mereka untuk merenungi kembali kenapa harus menulis dan apa yang harus kita tulis. Karena mereka guru agama, maka saya mendekatinya dengan dasar-dasar agama. Saya tegaskan bahwa agama sangat melarang praktek plagiat dengan mengatakan karya orang lain sebagai karya kita. Saya juga menegaskan kalau niat menulis hanya untuk naik pangkat, maka sampai kiamat ibu-ibu tidak akan bisa menulis. Namun menulislah untuk agama dan ridha Allah, ibu-ibu akan mendapat pahala dari apa yang ibu lakukan, akan diberikan kemudahan dalam memahami “ilmu menulis” dan pasti kalau sudah bisa menulis bisa naik pangkat seperti apa yang mereka inginkan.
Saya lalu mengajak mereka untuk membuka diri bahwa menulis karya ilmiah bukan hanya laporan penelitian tindakan kelas semata. Laporan penelitian tindakan kelas juga bukan satu versi saja. Ia bisa dilakukan dengan banyak cara dan metode. Ia bisa dibuat dalam beragam jenis penulisan yang sesuai dan mudah untuk kita. Model laporan berbagi bab hanyalah salah satu diantaranya. Namun kita bisa membuatnya dalam makalah ilmiah yang akan dipublikasi dalam jurnal di kampus. Bahkan untuk yang satu ini nilainya jauh lebih banyak.
Singkat cerita, saya mulai mempresentasikan bahan yang sudah saya sediakan tentang beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk membuat tulisan yang dapat dipublikasi di jurnal ilmiah. Saya menghabiskan waktu lebih satu jam untuk presentasi ini diselingi dengan tanya jawab dan diskusi beberapa masalah teknis.Yang membuat saya senang adalah ketika pada bagian akhir seorang ibu mengatakan: “Wah… kalau begini lebih menarik lagi dan lebih menantang. Ngak bisa sekali pertemuan ini. Kalau Bapak mau bulan depan kami undang lagi. BUlan ini kami mulai dengan ecari topik tulisan yang pas dan memulai membuat pendahuluan. Bulan depan bapak harus periksa dan koreksi tulisan kami. Kalau bapak berani usul maka bapak harus berani pikul.” Guru-guru lain setuju. Dan kami akan berjumpa lagi bulan depan.
Saya senang ibu-ibu mulai semangat. Semoga harapan mereka terwujud.
Note;
Tulisan ini saya muat juga di blog saya: www.sehatihsan.blogspot.com dan www.kompasiana.com/sehatihsan
di kompasiana tulisan ini menjadi headline
Gambar di awal tulisan hanyalah ilustrasi. Saya ambil di sini: http://gemasastrin.files.wordpress.com/2007/07/st_nulis.jpg
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
5 Cara Menemukan "Masalah" Penelitian
Sepertinya tidak ada orang di dunia yang tidak ada masalah. Dari banugn tidur hingga tidur lagi orang selalu terlibat masalah. Bahkan tidu...
-
Oleh: Sehat Ihsan Shadiqin ABSTRAK Artikel ini akan menjelaskan tentang perkembangan dan pengaruh tarekat dalam kehidupan sosial masyar...
-
Sepertinya tidak ada orang di dunia yang tidak ada masalah. Dari banugn tidur hingga tidur lagi orang selalu terlibat masalah. Bahkan tidu...
-
Seorang bayi tanpa pakaian telungkup di pangkuannya. Bayi itu nampaknya masih berusia empat bulan. Dua tangannya memegang pundak si bayi sam...
No comments:
Post a Comment