
Kembali ke film. Film itu dibuat selama setahun setengah di sebuah desa di Pidie, Aceh, yang terkena dampak tsunami tahun 2004. Selain tsunami, penduduk desa ini juga tergolong dalam masyarakat yang sederhana, bukan hanya dalam struktur sosial, namun juga dalam ekonomi dan lokasi desanya. Dari film itu nampak desa mereka dipisahkan oleh sebuah sungai besar yang dihubungkan dengan sebuah jembatan gantung yang sangat riskan kalau dilalui oleh mobil dengan muatan berat. Ketertinggalan juga nampak dari model rumah penduduk yang ada di sana. Rumah yang sangat sederhana, sebuah petakan yang tinggi di sepinggang yang kemungkinan tanpa kamar. Sayangnya dalam film tidak menshot kondisi di dalam rumah.

Bagi saya, meskipun ini adalah sebuah hasil antropologi visual, namun kalau saya pelajari dari “balik layarnya” ini adalah sebuah pelajaran mengenai antropologi. Ada beberapa catatan yang saya ambil dari cerita si mahasiswa dalam proses pembuatan dan pemutaran film ini. Pertama, ia adalah “orang asing” yang masuk ke dalam sebuah masyarakat. Saya yakin pasti ada cara-caranya masuk ke dalam masyarakat tersebut. Bagaimana ia menyampaikan maksudnya, bagaimana ia menjelaskan kepada masyarakat bahwa ia akan membuat sebuah film. Bagaimana ia dengan rajin setaip hari datang ke sana, ke dalam kampung itu dan kemudian mendapatan engle yang luar biasa menarik sehingga dapat dirangkai menjadi sebuah film. Bagaimana ia bisa mendapatkan masyarakat yang -dalam kamera- nampak tidak peduli dengan apa yang ia lakukan. Masyarakat dalam berbagai kesempatan tetap saja berjalan sebagaimana adanya, nampak seperti tidak dibuat-buat -dan memang saya yakin begitu adanya. Hanya beberapa sisi dari Pak Keuchik saja yang nampaknya diseting oleh sutradara. Namun kebanyakan dari aksi masyarakat berjalan sangat alamiah dan seperi umumnya yang ada dalam masyarakat.

Ketiga, bagaimana ia meutuskan untuk mengamil sebuah alur cerita yang kemudian menjadi sebuah film. Dari informasi si mahasiswa, ia memiliki 200 jam hasil shotuingan di lapangan. Dari 200 jam ini kemudian ia hanya mengambil 2 jam saja untuk sebuah film. Bagaimana caranya memilih? Bagaimana ia menentukan sesuatu yang perlu dan sesuatu yang tidak perlu dari datanya padahal ia sudah mendapatkan data tersebut? Bagaimana ia dengan “teganya” membuang data yang sudah diperoleh dengan suah-payah hanya untuk mempertahankan 2 jam film yang ia perlukan. Ini butuh kejelian dan kemampuan dalam memahami secara mendapam apa yang ada di lapangan dan apa yang kita butuhkan untuk penelitian.
Saya yakin apa yang dilakukan orang ini adalah sebuah usaha besar yang melelahkan dan sangat sulit untuk dibuat pada awalnya. Namun setelah ia menjadi film dan ditonton, sungguh ini adalah sebuah karya yang ajaib dan menentukan sebuah cerita yang sangat khas Aceh pada masa awal tsunami. Saya tahu ini sebab saya juga pernah menjadi petugas lapangan di Teunom. Apa yang ada dalam film ini adalah apa yang saya lihat di teunom dulu. Banyak orang yang marah-marah, yang tidak suka dengan apa yang kita lakukan. Banyak orang yang tidak mengerti dengan program yang mereka ikut atau sok tidak mengerti. Banyak orang yang melakukan hal-hal yang pada dasarnya tidak mungkin dan tidak perlu.

Saya belajar bagaimana sebuah karya antropologi yang sifatnya etnografi memang terkadang jauh dari apa yang sebelumnya direncanakan oleh seorang peneliti. Apa yung diperoleh di lapangan sungguh sangat tidak terduga dan tidak dapat dipredisksi. Makanya diperlukan sebuah pencatatan yang mendatail dari apa yang ada di lapangan dan sedikit komentar yang sifatnya general. Ini akan sangat membantu seorang peneliti dalam membuat sebuah karya ilmiah setelah ia kembali ke kantornya di mana ia memulai menulis.
No comments:
Post a Comment