Pak Tahir, demikian nama bapak yang saya temui itu adalah salah seorang anggota tarekat Shiddiqiyah di Wonodadi. Tarekat ini masuk ke sana belasan tahun yang lalu. Semula dibawa oleh seorang guru SD yang sekarang sudah pindah, lalu bermunculan tokoh lokal di Wonodadi sendiri. Menurut sejarahnya, tarekat Shiddiqiyah dikembangkan pertama kali oleh Kiai Muhammad Mukhtar Luthfi dari Jombang, Jawa Timur. Tarekat ini bertujuan mendapatkan ridha Allah dalam menjalani kehidupan di dunia. Dalam pemahaman mereka, tarekat adalah tingkatan dalam beragama setelah syariat. Seseorang tidak cukup hanya melaksanakan syariat saja, namun perlu juga melaksanakan tarekat untuk kesempurnaan beragama. Dengan tarekat seseorang akan lebih banyak amalannya dalam beribadah.
Kehadiran tarekat Shiddiqiyah awalnya ditentang oleh sebagian masyarakat Wonodadi karena dianggap sebagai agama baru. Namun saat saya berada di sana penentangan itu tidak nampak lagi. Mungkin saja mereka yang menentang tidak paham dengan apa yang dilakukan jamaah tarekat. Atau jamaah tarekat yang mampu menjelaskan bahwa apa yang mereka lakukan tidak lain sebagai sebuah pelaksanaan ajaran agama juga. Saya belum mendapatkan jawaban. Yang pasti, saat ini hampir setengah masyarakat Wonodadi adalah anggota jamaah Shiddiqiyah. Di pinggiran sebuah hutan tidak jauh dari perkampungan dibangun sebuah gubuk zikir yang khusus digunakan untuk berzikir bagi jamaah Tarekat Shiddiqiyah.
Wujud kecintaan kepada kemanusiaan jamaah tarekat Wonodadi memupuk semangat saling membantu dalam kehidupan dunia dan kehiudpan spiritual. Dalam kehiudpan duniawi, dusun kecil Wonodadi ikut memberikan sumbangan untuk berbagai musibah yang menimpa masyarakat Indonesia di berbagai daerah. Menurut Pak Rahmat, sesepuh tarekat di Wonodadi, saat gempa Bantul dan Sumatera Barat, mereka menyumbangkan sejumlah uang yang disatukan dengan sumbangan jamaah Shiddiqiyah yang lain dari seluaruh Indonesia. Dalam bentuk spiritual, mereka mengadakan kausaran selama empat puluh hari pasca gampa. Dalam kausaran mereka berzikir dan berdoa agar apa yang menimpa masyarakat di daerah bencana tertasi dan mereka diberi ketabahan oleh Allah.
Dusun Wonodadi memang terpencil dari transportasi dan komunikasi. Namun masyarakat di sana memiliki pandangan luas tentang kemanusiaan. Semangat membantu, semangat menghargai, semangat memahami jauh melampaui batas-batas dusun mereka yang kecil dan sempit. Boleh saja jalan tidak ada, namun itu tidak menciutkan jalan mereka untuk membantu. Boleh saya komunikasi terbatas, namun itu didak menghalangi mereka untuk menjalin persaudaraan dengan berbagai masyarakat lain di Indonesia, meskipun memlalui doa.
No comments:
Post a Comment