Friday 9 April 2010

Tasawuf di Era Syariat

MELIHAT sejarah perkembangan pemikiran Islam, para pendukung tasawuf dan para pendukung syariat pernah berseteru. Bukan hanya di Timur Tengah di mana Islam mulai berkembang dan tumbuh besar, di Aceh pada abad XVII juga pernah terjadi. Al-Hallaj dan ‘Ain al-Qudhad al-Hamdani dihukum mati di tiang gantungan. Demikian juga buku Hamzah Fansuri pernah dibakar dan murid-muridnya diusir dari Aceh dan bahkan dibunuh. Alasan perseturuan itu sama saja, sekelompok ulama menganggap ulama lain telah meninggalkan ajaran Islam yang benar, dengan kata lain mereka telah sesat.

Apakah perseturuan itu masih ada hingga kini? Agak sulit menjawabnya secara tegas. Dalam konteks Aceh, selama ini hubungan antar ulama, baik secara kelembagaan maupun secara personal nampak baik-baik saja. Beberapa “riak” yang terjadi adalah suatu hal yang lumrah dalam perkembangan peradaban manusia.

Salah satu “riak” yang terjadi saat ini adalah pandangan beberapa ulama yang menempatkan tasawuf sebagai “aliran sesat” dalam pemahaman Islam kaffah. Hal ini disebabkan beberapa ajaran dalam tasawuf dianggap menyimpang dan tidak pantas dipelajari dan diketahui umat Islam. Beberapa hal yang sering disebutkan adalah konsep mengenai fana wa bawa, ittihad, hulul, wahdatul wujud, dan lain sebagainya. Konsep ini dianggap terlalu filosofis dan tidak mudah dicerna masyarakat awam. Kesalahan dalam memahaminya, bisa menjadi awal dari kesalahan beraqidah yang akan membawa umat pada kesesatan.

Sebenarnya akar dari pemahaman tasawuf dalam dimensi filosofis seperti di atas berawal dari pemahaman-pemahaman yang dikembangkan Abu Yazid al-Bistami dan Abu Mansur al-Hallaj sejak abad kedua hijriah. Mereka, mengaku sebagai pengalaman spiritual, mengatakan bahwa manusia mampu bersatu dan melebur bersama Allah. Hal ini diperoleh setelah manusia mensucikan harinya dari berbagai pengaruh duniawi sehingga ia murni, tinggal fitrah kemanusiaan dan dimensi ilahiyah dalam dirinya, maka ia akan dapat mendaki sebuah perjalanan menuju Allah.

Pandangan seperti ini, meskipun tidak sama persis, berkembang juga di tangan Ibnu ‘Arabi dan al-Jili beberapa abad berikutnya dengan konsepnya wahdatul wujud dan Insan Kamil. Ia mengemukakan bahwa Tuhan dan manusia pada hakikatnya satu kesatuan. Yang membuat nampak berbeda adalah wajud materil saja. Ini pula yang dikembangankan Hamzah Fansuri di Aceh. Dalam syair-syairnya ia mengumpamakan Allah dan Manusia dengan lautan dan gelombang. Meskipun zahirnya keduanya berbeda, namun hakikatnya satu kesatuan juga.

Pandangan seperti inilah yang menempatkan tasawuf dianggap sebagai ajaran”sesat”. Dalam pandangan banyak ulama lain, Tuhan adalah satu entitas yang sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan manusia, apalagi menyatakan manusia dan Tuhan sebagai satu kesatuan. Dalam beberapa ayat-Nya jelas dikatakan manusia sebagai ciptaan dan Dia sebagai Pencipta. Berdasarkan ayat-ayat tersebut dan dalam rasio yang diterima manusia, maka tidak mungkin sama antara pencipta dengan ciptaannya.

Perdebatan yang terjadi di kalangan ilmuan Islam tersebut sebenarnya pernah dicoba “selesaikan” oleh al-Ghazali. Kita tahu al-Ghazali setelah “lelah” berkelana dalam pemikiran filsafat yang menurutnya tidak dapat memberikan pencerahan batin kepadanya, ia berteduh di bawah pohon tasawuf. Pada saat itulah ia menulis salah satu karya besarnya, Ihya Ulumuddin. Banyak ilmuan Islam mengatakan ini adalah karya besar yang memadukan tasawuf dengan fiqh Islam. Al-Ghazali dengan sangat baik memberikan pemahaman bahwa tidak ada pertentangan antara tasawuf san fiqh, yang ada adalah saling menyempurnakan. Jika keduanya dipahami dengan benar dan diamalkan dengan baik akan menjadi dasar bagi kesempurnaan iman dan Islam seseorang.

Inti dari apa yang dikembangkan al-Ghazali pada dasarnya adalah harmonisasi antar pemahaman yang cenderung fiqh dengan pemahaman yang cenderung tasawuf saja. Bagi al-Ghazali Islam adalah kesatuan dimensi zahir dan dimensi batin manusia sekaligus. Menjalankan satu aspek ajaran Islam semata menjadikan ibadah tidak sempurna. Umpamanya, melakukan shalat tanpa disertai rasa ikhlas dan khusyuk, mencari rizki tanpa tawakkal, dan menjalani ketentuan Allah tanpa disertai dengan rasa tawadhu’, maka itu semua akan ditolak.

Model tasawuf yang dikembangkan al-Ghazali di atas akan memupuk kesadaran beragama yang jauh dari rasa ujub dan takabur. Seseorang akan menjalankan ajaran agama karena ia memiliki semangat dan kesadaran bahwa apa yang dijalankannya adalah sebuah kebenaran dan akan mendekatkan dirinya dengan Allah. Lebih jauh, model pengamalan agama seperti ini juga akan menghindari sikap ekstrim yang berlebihan dalam melaksanakan ajaran agama dengan merendahkan, melecehkan, dan bahkan sama sekali tidak menghormati perbedaan yang ada sebagai sebuah sunnatullah.

Kehidupan beragama di Aceh belakangan ini ada dalam sebuah dilema yang rumit. Di satu sisi pemerintah Aceh telah menyatakan diri sebagai daerah penerapan syariat Islam. Di sisi lain hampir tidak ada perbedaan signifikan antara Aceh dan luar Aceh dalam hal keadilan, kemakmuran, keterberdayaan, korupsi, manipuasi dan lain sebagainya. Satu-satunya hal yang berbeda mungkin, hanyalah perempuan Aceh lebih banyak mengenakan jilbab daripada perempuan di daerah lain di Indonesia.

Kondisi ini menunjukkan Islam yang berlangsung di Aceh belum sampai pada hakikat kesadaran beragama. Nuansa semangat dan kesadaran mengamalakan ajaran agama masih sangat jauh dari keseharian masyarakat Aceh yang dipertunjukkan lewat kekuasan dan kehidupan sosial. Syariat Islam dijadikan kebanggan semata dengan mengeluarkan beberapa qanun yang tidak prinsipil yang kemudian lebih banyak menjadi masalah daripada solusi terhadap masalah kehidupan sosial. Dalam posisi inilah diperlukan sebuah pemahaman agama yang integral dan komprehensif.

Merujuk pada model tasawuf yang dikembangkan al-Ghazali seperti yang saya kemukakan di atas, maka untuk konteks pemberlakukan syariat Islam di Aceh diperlukan sebuah pemahaman yang menempatkan fiqh dan tasawuf dalam posisi setara dan bersanding. Langkah paling mudah adalah melakukan internalisasi nilai moralitas dalam pembelajaran agama dengan penyesuaian konteks kehidupan sosial masyarakat modern.

Pengajaran agama bukan hanya menekankan dimensi hukum, namun juga akhlak. Akhlak bukan hanya kepada Allah dan Rasul-Nya, orang tua dan manusia, namun juga kepada alam semesta dan sistem sosial. Banyak masalah yang ada saat ini sesungghnya dimulai dari pemahaman yang timpang mengenai moralitas ini. Dan dengan sebuah pendekatan yang integral antara dimensi tasawuf dan syariat mungkin ini akan menjadi sebuah sumbangan yang baik untuk kehidupan manusia yang lebiih beradab di masa yang akan datang.

Tulisan ini telah dipublikasi oleh Haian Serambi Indonesia: Jum'at 09 April 2010

1 comment:

  1. islam tanpa syariat = islam sesat
    syariat tanpa = makrifat (tasawuf) islam buta

    ReplyDelete

5 Cara Menemukan "Masalah" Penelitian

Sepertinya tidak ada orang di dunia yang tidak ada masalah. Dari banugn tidur hingga tidur lagi orang selalu terlibat masalah. Bahkan tidu...