Saya melakukan kesalahan fatal minggu lalu di pasar. Padahal niat saya baik, membantu orang tua yang sedang kesusahan mengangkat barang dagangannya. Namun karena tidak ada koordinasi dan klarifikasi, niat baik saya malah membuat saya malu hati. Untung saja saya tidak sempat mendengar ceramah singkat sang nenek.
Saat itu saya pergi ke pasar pagi-pagi sekali untuk berbelanja. Pasar Peunayong, Banda Aceh. Pasar ini adalah pasar tradisional di mana barang-barang kebutuhan rumah tangga dijual, khususnya kebutuhan konsumsi, seperti sayuran, ikan, buah, peralatan dapur, dan lain sebagainya. Banyak yang jualan di sana nenek-nenek yang berasal dari kampung di sekitar Banda Aceh. Usia mereka tidak tergolong muda lagi. Dari keriput di wajahnya, kelelahan dari mukanya, kita bisa prediksi pasti mereka sudah berusia di atas 60 tahun. Namun karena masalah ekonomi mungkin, mereka harus tetap melakukan aktifitas perdagangan dan mencari uang untuk ia dan keluarganya.
Namun pasar ini juga berfingsi sebagai pasar grosir, di mana barang-barang yang dijual di sana dibeli oleh pedagang yang akan menjualnya kembali secara eceran di toko, kedai atau warung mereka. Namun baik pembeli biasa, mampun pembeli untuk menjual kembali menyatu dalam hiruk pikuk pasar. Akibatnya tidak bisa dibedakan lagi.
Saya datang ke sana pagi-pagi sebelum pergi ke kantor utuk mebeli keperluan di rumah. Biasanaya di sini hanya mebeli barang yang akan dikonsumsi satu hari ini saja. Sebab pagi-pagi pertokoan tidak buka sehingga barang kebutuhan lain yang biasanya dijual ditoko tidak dapat diperoleh. Jadinya hanya beli keperluan dapur untuk hari itu saja.
Sesaat ketika hendak pulang, saya melihat seorang nenek yang sedang keleahan berdiri di dekat tumpukan barang-barangnya. Ia melihat ke kiri dan ke kanan seolah mencari orang yang hendak dimintai bantuan mengangkat barang tersebut. Mobil pick up berdiri tidak jauh dari si nenek. Tidak ada orang di sana. Di bagian depan, di mana biasanya sopir duduk juga tidak ada orang. Si nenek sesekali melihat ke dalam mobil dan sesekali melihat kepada beberapa barang yang ada di depannya.
Saya dan nenek itu berpandangan beberapa detik dari seberang jalan. Seolah nenek itu meminta saya membantunya. Saya sedikit tersenyum dan segera datang kepadanya. Saya menunjukkan barang yang ada di depannya dan ia tersenyum. Saya mengambil barang itu dan mengangkat ke dalam mobil pick up yang berdiri tidak jauh darinya. Saya tidak tahu juga apa isi bungkusan yang saya angkat. Bungkusan dari kain itu memang agak besar, mungkin sedikit lebih besar dari plastik kresek hitam besar.
Saya mengangkat dengan susah payah dan meletakkan ke dalam mobil. Setelah sampai di mobil saya segera meletakkannya pada posisi yang pas. Lalu saya kembali mengambil sebuah bungkusan lainnya yang ada di depan si nenek. Saya tidak melihat kepadanya. Namun sepertinya ia berbicara kepada saya, namun suaranya tidak terdengar. Saya langsung mengambil barang itu yang ternyata lebih berat dari barang sebelumnya. Dengan susah payah saya kembali mengangkat barang itu dan membawa ke mobil. Saya harus memanggul ke bahu karena tidak sanggup menentengnya. Sangat berat memang. Mungkin 35 kg.Lumayan juga olah raga pagi, saya pikir begitu.
Setelah selesai, saya lihat pada si nenek. Saya katakan kalau saya sudah selesai membantunya mengangkat barang ke dalam mobil. Tanpa mendekatinya lagi, saya kembali ke seberang jalan dan hendak mengambil sepeda motor. Nenek itu melambai-lambaikan tangannya. Saya balas lambaian tangannya. Saya kira ia tidak bisa bicara dan hendak mengucapkan terima kasih. Saya tersenyum saja dan saya senang telah membantunya mengangkat barang yang berat itu.
Dari belakang si nenek tiba-tiba muncul seorang laki-laki dengan pakaian kerja di pasar, di bagian depannnya sudah kotor, hitam. Mungkin terkena getah pisang atau air kelapa. Ia mendekati si nenek dan nampaknya membicarakan sesuatu. Si nenek menunjukkan tangannya pada mobil, kemudian menunjukkan ke arah saya. Mungkin ia hendak mengatakan kalau saya sudah membantunya mengangat barangnya ke dalam mobil. Saya yang sudah siap hendah pulang hanya tersenyum, menghidupkan motor, dan siap berangkat.
Tapi sekilas saya melihat raut wajah kesal dan marah dari si laki-laki tersebut. Sepertinya ia mengucapkan sesuatu yang saya tidak tahu karena jauh dan diiringi oleh berbagai suara kenderaan di pasar. Namun saya sempat melihat ia bergegas pergi mendekati mobil dan mengambil kembali barang yang sudah saya angkat ke sana, mengangkatnya dan mebawa ke dekat si nenek. Ia mengambil kedua barang si nenek yang sudah saya masukkan ke mmobil. Bahkan ia kembali lagi ke mobil mengambil satu barang lainnya dan membawa ke dekat si nenek.
Saya baru sadar, ternyata si nenek tadi bukan hendak menaikkan barang-barangnya ke dalam mobil, namun malah sebaliknya, ia hendak membawa barang itu turun. Saya salah duga, malah membawa naik barang-barang yang sudah diturunkannya dengan susah payah. Memalukan!
Begitulah, terkadang niat baik saja tanpa pengetahuan dan pemahaman situasi mejadikan masalah lebih buruk, bukan menyelesaikannya.
Tuesday, 27 April 2010
"Menjual" Nama Polisi
Suatu hari, saya pulang dari kantor untuk makan siang di rumah. Siang itu matahari sangat terik di Banda Aceh. Rasanya, kalau selama ini matahari hanya satu, hari itu tetap satu. Namun satu-orang satu matahari. Begitu panasnya! Angin saja yang biasanya membawa kesejukan, hari itu tidak bisa berbuat banyak. Bahkan anginpun terasa panas. Benar-benar panas membakar. Saat itu saya pikir ini adalah hari terpanas yang pernah saya rasakan di Banda Aceh. Namun waktu saya merasakan hari lain yang juga panas, saya mengatakan hal yang sama.
Saya pulang melalui jalan yang tidak biasa saya tempuh. Dari kampus saya berbelok ke kiri. Jalan ke sana memang akan lebih jauh sampai ke rumah. Namun akan lebih teduh karena banyak pepohonana di sisi kanan dan kiri jalan. Apa lagi itu adalah daerah perkampungan, kenderaan juga tidak sepadat jalan protokol yang membuat suasana panas semakin terasa, selain panas matahari juga panas hati karena sikap sebagian pengguna jalan yang maunya enak sendiri.
Baru satu kilometer berjalan ke arah kiri saya melihat seorang ibu setengah baya yang agak kurus bersama seorang anak laki-lakinya yang juga kurus berbdiri di samping jalan. Melihat dari pakaian yang mereka kenakan saya tahu kalau mereka adalah pengemis. Apalagi saya susah beberapa kali melihat mereka. Dan, bukan maksud hendak mengingat-ingat, saya juga pernah memberikan mereka sedikit sedekah. Kenapa mereka ada di jalan ini? karena mereka juga minta sedekah ke rumah-rumah dan ke tempat-tempat di mana ada orang duduk di depan rumah.
Semula saya kira mereka hendak menyeberang jalan. Namun buat apa? sebab di sebernag jalan di mana mereka berdiri adalah tanah kosong yang tidak ada rumah sama sekali. Jadi pasti mereka menunggu becak atau angkutan dan mereka akan pergi ke suatu tempat ke mana mereka akan melanjutkan pekerjaannya. Namun dari jarah beberapa puluh meter sebelum sampai ke arah ke duanya, saya melihat anak kecil itu melambaikan tangannya. Semual saya tidak tahu apa artinya, namun ketika saya melihat ke belakang tidak ada kenderaan lain, saya tahu kalau mereka meminta saya berhenti.
Saya berhenti persis di depan mereka berdiri. Si ibu membuka pembicaraan. Ia mengatakan hendak pergi ke Darussalam (daerah kampus). Saya katakan kalau saya mau pulang ke arah yang berbeda. Ia malah mengatakan boleh juga pergi ke arah yang sama dengan saya. “Nanti turunkan kami di pasar” katanya. Memang, dari tempat di mana ia berdiri tidak jauh lagi sudah sampai ke sebuah pasar tradisional. Namun saya sedikit kaget, kenapa ia begitu cepat menggantikan tempat tujuannya. Karena saya tahu mereka pengemis, daerah operasinya bisa ke nama saja, tidak terbatas pada daerah tertentu saja, saya memerikan tumpangan.
Si anak duduk persis di belakang saya, dan si ibu duduk di belakanganya. Seorang ibu yang mengenakan rok biasanya duduk menyamping. Namun saya lihat ibu ini membuka sandalnya, menyibak sedikit roknya, lalu naik ke motor saya, duduk seperti laki-laki. “Sudah” katanya, menandakan ia sudah duduk di posisi yang tepat dan sudah boleh berangkat.
Saya membawa kenderaan pelan-pelan saja, sebab di belakang ada seorang anak dan seorang perempuan. Apalagi jalan di sana juga tidak terlalu bagus dan sempit. Saya mencoba untuk hati-hati. Sebab saya yakin betul, kalau terjadi sesuatu dengan mereka, sayalah yang akan bertanggung jawab. Apalagi mereka tidak jelas siapa orangnya, di mana rumahnya, siapa saudaranya. Seadainya mereka harus masuk ke rumah sakit pasti saya yang harus menanggung biayanya. Saya tidak mau ambil resiko.
Ketika hendak masuk ke pasar, saya membawa kenderaan lebih pelan lagi. Sambil sedikit menghadap ke belakang saya bertanya kepada si ibu, ia mau turun di mana. Ia menjawab, namun tidak jelas. Saya bertanya lagi. Ia menagatakan lewat mesjid. Mesjid masih ada sekitar 200 meter lagi. Namun itu sudah di luar pasar dan bukan ke arah saya pulang. Saya memutuskan mengantarnya, sebab tidak terlalu jauh. Sesampai di masjid saya berhenti dan mengatakan kalau mereka sudah sampai. Tapi malah si ibu diam saja dan tidak bergerak menunjukkan ia mau turun. Ia justru mengatakan kalau ia mau ke rumah sakit.
Rumah sakit berada di arah yang berseberangan dengan masjid. Dan itu berarti ke arah rumah saya, namun masih lebih jauh lagi. Saya mulai curiga dengan mereka. Sebab sudah tiga kali tidak konsisten dengan rencananya sendiri. Dan saya pernah mendengar seorang teman yang kehilangan dompet setelah membonceng seorang ibu dengan seorang anak laki-lakinya. Saya tidak bisa meraba dompet karena di depan ada ransel, dibelakang ada si anak yang duduk sangat dekat dengan saya. Lalu saya menghentikan kenderaan, saya tanya si ibu, sebenarnya ia mau ke mana. Si ibu menjawab dengan ragu, meskipun kemudian ia mengatakan rumah sakit. Saya sedikit mencoba tegas, mengatakan dengan suara lembut dan ramah: “Saya bawa ke kantor polisi saja ya, nanti ibu bisa minta bantu mereka.” Si ibu mejawab dengan cepat dan segera turun. “Oo.. ngak apa-apa. kami turun di sini saja”. Ia menggendong anaknya turun dari motor, lalu pergi dengan sangat cepat ke arah pasar.
Ternyada dalam kondisi seperti ini polisi bisa “dijual”. :-)
Saya pulang melalui jalan yang tidak biasa saya tempuh. Dari kampus saya berbelok ke kiri. Jalan ke sana memang akan lebih jauh sampai ke rumah. Namun akan lebih teduh karena banyak pepohonana di sisi kanan dan kiri jalan. Apa lagi itu adalah daerah perkampungan, kenderaan juga tidak sepadat jalan protokol yang membuat suasana panas semakin terasa, selain panas matahari juga panas hati karena sikap sebagian pengguna jalan yang maunya enak sendiri.
Baru satu kilometer berjalan ke arah kiri saya melihat seorang ibu setengah baya yang agak kurus bersama seorang anak laki-lakinya yang juga kurus berbdiri di samping jalan. Melihat dari pakaian yang mereka kenakan saya tahu kalau mereka adalah pengemis. Apalagi saya susah beberapa kali melihat mereka. Dan, bukan maksud hendak mengingat-ingat, saya juga pernah memberikan mereka sedikit sedekah. Kenapa mereka ada di jalan ini? karena mereka juga minta sedekah ke rumah-rumah dan ke tempat-tempat di mana ada orang duduk di depan rumah.
Semula saya kira mereka hendak menyeberang jalan. Namun buat apa? sebab di sebernag jalan di mana mereka berdiri adalah tanah kosong yang tidak ada rumah sama sekali. Jadi pasti mereka menunggu becak atau angkutan dan mereka akan pergi ke suatu tempat ke mana mereka akan melanjutkan pekerjaannya. Namun dari jarah beberapa puluh meter sebelum sampai ke arah ke duanya, saya melihat anak kecil itu melambaikan tangannya. Semual saya tidak tahu apa artinya, namun ketika saya melihat ke belakang tidak ada kenderaan lain, saya tahu kalau mereka meminta saya berhenti.
Saya berhenti persis di depan mereka berdiri. Si ibu membuka pembicaraan. Ia mengatakan hendak pergi ke Darussalam (daerah kampus). Saya katakan kalau saya mau pulang ke arah yang berbeda. Ia malah mengatakan boleh juga pergi ke arah yang sama dengan saya. “Nanti turunkan kami di pasar” katanya. Memang, dari tempat di mana ia berdiri tidak jauh lagi sudah sampai ke sebuah pasar tradisional. Namun saya sedikit kaget, kenapa ia begitu cepat menggantikan tempat tujuannya. Karena saya tahu mereka pengemis, daerah operasinya bisa ke nama saja, tidak terbatas pada daerah tertentu saja, saya memerikan tumpangan.
Si anak duduk persis di belakang saya, dan si ibu duduk di belakanganya. Seorang ibu yang mengenakan rok biasanya duduk menyamping. Namun saya lihat ibu ini membuka sandalnya, menyibak sedikit roknya, lalu naik ke motor saya, duduk seperti laki-laki. “Sudah” katanya, menandakan ia sudah duduk di posisi yang tepat dan sudah boleh berangkat.
Saya membawa kenderaan pelan-pelan saja, sebab di belakang ada seorang anak dan seorang perempuan. Apalagi jalan di sana juga tidak terlalu bagus dan sempit. Saya mencoba untuk hati-hati. Sebab saya yakin betul, kalau terjadi sesuatu dengan mereka, sayalah yang akan bertanggung jawab. Apalagi mereka tidak jelas siapa orangnya, di mana rumahnya, siapa saudaranya. Seadainya mereka harus masuk ke rumah sakit pasti saya yang harus menanggung biayanya. Saya tidak mau ambil resiko.
Ketika hendak masuk ke pasar, saya membawa kenderaan lebih pelan lagi. Sambil sedikit menghadap ke belakang saya bertanya kepada si ibu, ia mau turun di mana. Ia menjawab, namun tidak jelas. Saya bertanya lagi. Ia menagatakan lewat mesjid. Mesjid masih ada sekitar 200 meter lagi. Namun itu sudah di luar pasar dan bukan ke arah saya pulang. Saya memutuskan mengantarnya, sebab tidak terlalu jauh. Sesampai di masjid saya berhenti dan mengatakan kalau mereka sudah sampai. Tapi malah si ibu diam saja dan tidak bergerak menunjukkan ia mau turun. Ia justru mengatakan kalau ia mau ke rumah sakit.
Rumah sakit berada di arah yang berseberangan dengan masjid. Dan itu berarti ke arah rumah saya, namun masih lebih jauh lagi. Saya mulai curiga dengan mereka. Sebab sudah tiga kali tidak konsisten dengan rencananya sendiri. Dan saya pernah mendengar seorang teman yang kehilangan dompet setelah membonceng seorang ibu dengan seorang anak laki-lakinya. Saya tidak bisa meraba dompet karena di depan ada ransel, dibelakang ada si anak yang duduk sangat dekat dengan saya. Lalu saya menghentikan kenderaan, saya tanya si ibu, sebenarnya ia mau ke mana. Si ibu menjawab dengan ragu, meskipun kemudian ia mengatakan rumah sakit. Saya sedikit mencoba tegas, mengatakan dengan suara lembut dan ramah: “Saya bawa ke kantor polisi saja ya, nanti ibu bisa minta bantu mereka.” Si ibu mejawab dengan cepat dan segera turun. “Oo.. ngak apa-apa. kami turun di sini saja”. Ia menggendong anaknya turun dari motor, lalu pergi dengan sangat cepat ke arah pasar.
Ternyada dalam kondisi seperti ini polisi bisa “dijual”. :-)
"Main Bola" dengan Telkomsel
Saya menggunakan Kartu Halo dari Telkomsel sejak tahun 2002. Tidak pernah ganti nomor kecuali Januari-Februari 2005, ketika sinyal Telkomsel di Banda Aceh terganggu karena tsunami. Namun setelah itu saya tetap menggunakan kartu tesebut dengan setia hingga sekarang. Rajin bayar tagihan meskipun kadang terlambat, tidak tergoda pada produk lain yang menawarkan berbagai kemudahan dan fasilitas, tidak juga berselingkuh dengan kartu lain. Singkatnya semua kebutuhan telekomunikasi, saya menggunakan kartu Halo Telkomsel.
Dua bulan yang lalu saya terlambat bayar karena sebuah alasan teknis. Seperti perjanjian ketika mendaftar dulu, dua minggu tidak dibayar kartu tidak bisa dipakai untuk menelpon. Dua minggu kemudian kartu tidak bisa dipakai untuk menerima panggilan. Itulah yang terjadi pada saya. Pun demikian kartu tetap aktif. Buktinya, saya bisa pakai kartu Halo untuk internetan, tidak ada masalah.
Tiga hari yang lalu saya mendatangi gerai Telkomsel di Banda Aceh untuk melakukan pembayaran dan mengaktifkan kembali kartu saya. Tidak banyak pertanyaan dari kasier, ia memanggil nomor urut saya, menyebutkan berapa yang harus saya bayar, saya kasih uang, habis perkara. Selesai. “Satu jam lagi kartu bapak akan dapat digunakan kembali. Hubungi 111 jiga masih ada masalah”, katanya ramah. “Baik” dan sayapun melanjutkan aktifitas.
Sore hari saya mencoba mengaktifkan kartu halo saya kembali. Ternyata belum bisa dipakai, untuk menelpon ataupun SMS. Padahal itu sudah lima jam. Namun karena saat itu saya masih di warung kopi, saya tidak menghubungi 111. Saya tunggu saat pulang di rumah.
Setelah shalat maghrib, saya coba hubungi 111 menanyakan status aktif kartu saya. Agak susah masuk, mungkin karena jauh dari Banda Aceh. Saya mencoba beberapa kali hingga bisa masuk. Yang terima seorang perempuan, terdengar dari suaranya. Setelah berbasa-basi sejenak, tanya ini itu, ia mengatakan kartu saya memang masih terblokir dan ia minta saya menunggu. Ia memperdengarkan lagu-lagu iklan yang dianggap dapat menghibur saya selama menuingu. Beberapa saat kemudian ia kembali dan mengatakan kartu saya sudah bisa digunakan kembali. “Tolong bapak matikan dulu, lalu hidupkan kembali. Kalau ada masalah silakan hubungi kami lagi” demikian katan. “Trerima kasih” kata saya. Saya putuskan telefon dan mematikan HP.
Ternyata bukan kartu aktif yang saya dapatkan setelah handphone saya restart, bahkan sinyalpun tidak ada lagi. Saat HP dalam keadaan blokir dan setelah melakukan pembayaran tidak ada masalah dengan signal. Namun setelah saya lapor ke 111 dan ia menjawab kartu sudah aktif, malah signal HP hilang total. HP saya rusak? Saya pakai kartu lain. Tidak ada masalah. Signalnya bagus, sama dengan HP orang lain. Lalu kenapa kartu Halo saya malah tidak ada siugnal?
Saya gunakan HP milik istri untuk menelpon 116 yang melayani kartu Simpati dan AS. Siapa tahu saya bisa keluhkan masalah kartu halo saya. Agak sulit masuknya. “Mohon tunggu sebenar, panggilan anda akan segera dihubungkan.” Namun sesat kemudian dia mengatakan: “Semua kami sedang melayani palanggan lain, tekan 1 untuk menunggu atau hubungi kami sesaat lagi.” Saya menekan satu untuk menunggu lalu diputuskan sendiri. Saya ulangi lagi dua tiga kali sampai benar-benar bisa bicara dengan operatornya.
Saya berbicara dengan seorang laki-laki dan menjelaskan keluhan saya sampai akhirnya saya harus menelponnya lagi. Seperti anak yang baru bisa bicara dia mengulang pernyataan saya berkali-kali. Ketika saya katakan, “kartu saya tidak menangkap sinyal” ia mengulangnya: “Bapak mengatakan kartu bapak tidak menangkap sinyal begitu?” “Iya” “tidak nampak ada tanda menangkap sinyal di layar” “ya” “tidak ada sinyal sama sekali, begitu?” Saya bersabar saja denganmodel pelayanan ini. Mungkin itu aturan resmi kantor mereka. Lalu ia minta saya menunggu. Sesat kemudian ia mengatakan kalau ia perlu waktu untuk memperbaikinya dan lagu-lagu telkomsel aakn diperdengarkan.
Saya mendengarkan dengan seksama lagu-lagu iklan simpati tahun 2008, iklan As tahun 2009 yang masa berlakunya sudah kadaluarsa. Diperdengarkan juga iklan kartu halo dengan berbagai kelebihannya. Dan kebanyakan dari informasi yang diberikan melalui lagu itu sudah kadaluarsa. Saya dengarkan saja dengan sabar. Apalagi kami lagi mati lampu di Banda Aceh, tidak ada yang bisa dikerjakan. Jadi ini menjadi hiburan yang menarik dari telkomsel.
Operator muncul lagi. Terima kasih Bapak sudah menunggu. Saya berharap ia mengatakan, “masalah bapak sudah kai atasi dan bapak bisa menggunakan kembali kartu halo-nya.” Ternyata tidak. Dia malah menanyakan, apakah bapak di dalam ruangan atau di luar ruangan? Saya katakan saya di dalam ruangan, dan saya menelpon anda dari dalam ruangan. Dia menyarankan saya ke luar ruangan. Saya tanya dia apa sinyal telkomsel tidak bisa masuk ke dalam kamar? Dia mengulang lagi agar saya keluar ruangan. Saya jalan saja ke luar. Apalagi tinggal buka pintu saja. Tapi teryata tidak ada perubahan. Sambilan itu ia menyaran saya menggantikan HP. Saya bilang saya sudah menggantikan berkali-kali. HP yang saya gunakan untuk kartu halo bisa berfungsi dengan baik ketika pakai As. HP yang saya pakai untuk kartu As tidak bisa berfungsi jika diakai kartu Halo. Tapi si Operator nampaknya tidak punya ilmu tentang itu. Ia kembali mengulang sarannya. “Saran saya, coba bapak keluar ruangan dan menggantikan HP-nya.” Lalu ia memutuskan hubungan telpon.
Saya mencoba menggantikan HP dan keluar ruangan, namun hasilnya sama saja, signal di kartu halo saya tidak muncul. Saya mencoba menghubungi operator kembali, berkali-kali. Namun tidak bisa lagi. Kalau sebelumnya tiga empat kali langsung tersambung, kali ini tidak tersambung lagi. Kalau sebelumnya dikatakan: “Semua operator kami sedang melayani pelnggan lain, silahkan menunggu.” Kali ini dikatakan “Semua operator kami sedang melayani pelanggan lain” lalu diputusakan. Sampai satu kali dari balik sana terdengar ucapan. “Terima kasih sudah menghubungi kami, silahkan kunjungi gerai halo terdekat untuk menyelesaikan masalah anda.” Intinya saya tidak boleh menelpon mereka lagi.
Keesokan harinya saya pergi ke gerai Halo. Saya menceritakan keluhan saya. SC meminta saya membuka HP dan mengambil kartunya. Ia memeriksa kartu saya dan mengatakan kalau kartu saya rusak dan harus diganti. Setelah mengambil data nomr telefon di dalam kartu ia membuat kartu lain. Ia mengatakan untuk mengaktifkannya setelah satu jam kemudian. Saya pamit dan kembali bekerja. Namun tiga jam kemudian, ketika saya katifkan, signalnya belum juga tampak. Sampai keesokan harinya. Saya kembali lagi ke gerai telkomsel. Melaporkan apa yang terjadi. Seorang CS mengambil hp saya dan membawa ke dalam. Selang lima menit ia keluar dan menjumpai saya. Ia mengatakan kalau tidak ada persoalan dengan kartu saya dan sudah bisa digunakan kembali, sambil memberikan HP saya kembali. Saya lihat di layat HP sudah ada tanda sinyalnya. Akhirnya…. Alhamdulillah…. HP saya bisa digunakan lagi.
Sebuah permainan bola yang sangat menarik dan melelahkan. Terima kasih Telkomsel.
Dua bulan yang lalu saya terlambat bayar karena sebuah alasan teknis. Seperti perjanjian ketika mendaftar dulu, dua minggu tidak dibayar kartu tidak bisa dipakai untuk menelpon. Dua minggu kemudian kartu tidak bisa dipakai untuk menerima panggilan. Itulah yang terjadi pada saya. Pun demikian kartu tetap aktif. Buktinya, saya bisa pakai kartu Halo untuk internetan, tidak ada masalah.
Tiga hari yang lalu saya mendatangi gerai Telkomsel di Banda Aceh untuk melakukan pembayaran dan mengaktifkan kembali kartu saya. Tidak banyak pertanyaan dari kasier, ia memanggil nomor urut saya, menyebutkan berapa yang harus saya bayar, saya kasih uang, habis perkara. Selesai. “Satu jam lagi kartu bapak akan dapat digunakan kembali. Hubungi 111 jiga masih ada masalah”, katanya ramah. “Baik” dan sayapun melanjutkan aktifitas.
Sore hari saya mencoba mengaktifkan kartu halo saya kembali. Ternyata belum bisa dipakai, untuk menelpon ataupun SMS. Padahal itu sudah lima jam. Namun karena saat itu saya masih di warung kopi, saya tidak menghubungi 111. Saya tunggu saat pulang di rumah.
Setelah shalat maghrib, saya coba hubungi 111 menanyakan status aktif kartu saya. Agak susah masuk, mungkin karena jauh dari Banda Aceh. Saya mencoba beberapa kali hingga bisa masuk. Yang terima seorang perempuan, terdengar dari suaranya. Setelah berbasa-basi sejenak, tanya ini itu, ia mengatakan kartu saya memang masih terblokir dan ia minta saya menunggu. Ia memperdengarkan lagu-lagu iklan yang dianggap dapat menghibur saya selama menuingu. Beberapa saat kemudian ia kembali dan mengatakan kartu saya sudah bisa digunakan kembali. “Tolong bapak matikan dulu, lalu hidupkan kembali. Kalau ada masalah silakan hubungi kami lagi” demikian katan. “Trerima kasih” kata saya. Saya putuskan telefon dan mematikan HP.
Ternyata bukan kartu aktif yang saya dapatkan setelah handphone saya restart, bahkan sinyalpun tidak ada lagi. Saat HP dalam keadaan blokir dan setelah melakukan pembayaran tidak ada masalah dengan signal. Namun setelah saya lapor ke 111 dan ia menjawab kartu sudah aktif, malah signal HP hilang total. HP saya rusak? Saya pakai kartu lain. Tidak ada masalah. Signalnya bagus, sama dengan HP orang lain. Lalu kenapa kartu Halo saya malah tidak ada siugnal?
Saya gunakan HP milik istri untuk menelpon 116 yang melayani kartu Simpati dan AS. Siapa tahu saya bisa keluhkan masalah kartu halo saya. Agak sulit masuknya. “Mohon tunggu sebenar, panggilan anda akan segera dihubungkan.” Namun sesat kemudian dia mengatakan: “Semua kami sedang melayani palanggan lain, tekan 1 untuk menunggu atau hubungi kami sesaat lagi.” Saya menekan satu untuk menunggu lalu diputuskan sendiri. Saya ulangi lagi dua tiga kali sampai benar-benar bisa bicara dengan operatornya.
Saya berbicara dengan seorang laki-laki dan menjelaskan keluhan saya sampai akhirnya saya harus menelponnya lagi. Seperti anak yang baru bisa bicara dia mengulang pernyataan saya berkali-kali. Ketika saya katakan, “kartu saya tidak menangkap sinyal” ia mengulangnya: “Bapak mengatakan kartu bapak tidak menangkap sinyal begitu?” “Iya” “tidak nampak ada tanda menangkap sinyal di layar” “ya” “tidak ada sinyal sama sekali, begitu?” Saya bersabar saja denganmodel pelayanan ini. Mungkin itu aturan resmi kantor mereka. Lalu ia minta saya menunggu. Sesat kemudian ia mengatakan kalau ia perlu waktu untuk memperbaikinya dan lagu-lagu telkomsel aakn diperdengarkan.
Saya mendengarkan dengan seksama lagu-lagu iklan simpati tahun 2008, iklan As tahun 2009 yang masa berlakunya sudah kadaluarsa. Diperdengarkan juga iklan kartu halo dengan berbagai kelebihannya. Dan kebanyakan dari informasi yang diberikan melalui lagu itu sudah kadaluarsa. Saya dengarkan saja dengan sabar. Apalagi kami lagi mati lampu di Banda Aceh, tidak ada yang bisa dikerjakan. Jadi ini menjadi hiburan yang menarik dari telkomsel.
Operator muncul lagi. Terima kasih Bapak sudah menunggu. Saya berharap ia mengatakan, “masalah bapak sudah kai atasi dan bapak bisa menggunakan kembali kartu halo-nya.” Ternyata tidak. Dia malah menanyakan, apakah bapak di dalam ruangan atau di luar ruangan? Saya katakan saya di dalam ruangan, dan saya menelpon anda dari dalam ruangan. Dia menyarankan saya ke luar ruangan. Saya tanya dia apa sinyal telkomsel tidak bisa masuk ke dalam kamar? Dia mengulang lagi agar saya keluar ruangan. Saya jalan saja ke luar. Apalagi tinggal buka pintu saja. Tapi teryata tidak ada perubahan. Sambilan itu ia menyaran saya menggantikan HP. Saya bilang saya sudah menggantikan berkali-kali. HP yang saya gunakan untuk kartu halo bisa berfungsi dengan baik ketika pakai As. HP yang saya pakai untuk kartu As tidak bisa berfungsi jika diakai kartu Halo. Tapi si Operator nampaknya tidak punya ilmu tentang itu. Ia kembali mengulang sarannya. “Saran saya, coba bapak keluar ruangan dan menggantikan HP-nya.” Lalu ia memutuskan hubungan telpon.
Saya mencoba menggantikan HP dan keluar ruangan, namun hasilnya sama saja, signal di kartu halo saya tidak muncul. Saya mencoba menghubungi operator kembali, berkali-kali. Namun tidak bisa lagi. Kalau sebelumnya tiga empat kali langsung tersambung, kali ini tidak tersambung lagi. Kalau sebelumnya dikatakan: “Semua operator kami sedang melayani pelnggan lain, silahkan menunggu.” Kali ini dikatakan “Semua operator kami sedang melayani pelanggan lain” lalu diputusakan. Sampai satu kali dari balik sana terdengar ucapan. “Terima kasih sudah menghubungi kami, silahkan kunjungi gerai halo terdekat untuk menyelesaikan masalah anda.” Intinya saya tidak boleh menelpon mereka lagi.
Keesokan harinya saya pergi ke gerai Halo. Saya menceritakan keluhan saya. SC meminta saya membuka HP dan mengambil kartunya. Ia memeriksa kartu saya dan mengatakan kalau kartu saya rusak dan harus diganti. Setelah mengambil data nomr telefon di dalam kartu ia membuat kartu lain. Ia mengatakan untuk mengaktifkannya setelah satu jam kemudian. Saya pamit dan kembali bekerja. Namun tiga jam kemudian, ketika saya katifkan, signalnya belum juga tampak. Sampai keesokan harinya. Saya kembali lagi ke gerai telkomsel. Melaporkan apa yang terjadi. Seorang CS mengambil hp saya dan membawa ke dalam. Selang lima menit ia keluar dan menjumpai saya. Ia mengatakan kalau tidak ada persoalan dengan kartu saya dan sudah bisa digunakan kembali, sambil memberikan HP saya kembali. Saya lihat di layat HP sudah ada tanda sinyalnya. Akhirnya…. Alhamdulillah…. HP saya bisa digunakan lagi.
Sebuah permainan bola yang sangat menarik dan melelahkan. Terima kasih Telkomsel.
Kenapa Sampah Harus Dipisahkan?
Saya membawa mahasiswa ke tempat pembungan akhir sampah-sampah di Banda Aceh untuk sebuah kunjungan lapangan matakuliah metodologi penelitian. Di sana saya meminta mereka memperhatikan apa saja yang mereka lihat. Dan kalau memungkinkan saya juga meminta mereka berdialog dengan orang-orang yang ada di sana, selama tidak mengganggu pekerjaan mereka. Dalam kunjungan awal saya ke lokasi setidaknya lebih dari lima pihak yang ada di sana, pemulung, sopir truk, sopir buldozer, mandor, penjaga lokasi dan penduduk yang tinggal di dekat sana.
Kami berkunjung pada suatu hari minggu dengan menggunakan sepeda motor. Sesampai di lokasi mahasiswa saya bebaskan untuk berekspresi, melakukan pendekatan dengan orang-orang di sana dan membina komunikasi. Beberapa mahasiswa ada yang takut-takut masuk ke dalam tumpukan sampah di mana pemulung berada. Beberapa diantaranya ada yang masuk namun dengan mengangkat tinggi-tinggi celana atau rok. Ada pula yang berani apa adanya, tanpa ragu dan enggan. Begitu memang manusia, padahal sampah itu berasal dari rumahnya juga.
Di dalam kelas keesokan harinya, mahasiswa melaporkan apa yang mereka dapatkan di lapangan pada hari kunjungan itu. Banyak hal menarik yang mereke temukan. Antara lain, ternyata diantara pemulung itu ada yang sarjana. Ia tidak mendapatkan pekerjaan lain, sementara ia harus menghidupi keluarganya, hingga ia memilih menjadi pemulung. Ada juga pemulung itu mantan tenaga kerja di luar negeri dan pernah punya gaji yang sangat banyak. Namun karena boros dan suka berjudi ia jatuh bangkrut. Ia kemudian menjadi pemulung untuk menghidupi ibunya yang sudah tua. Yang lain adalah cerita mengenai anak-anak yang tidak sekolah, ibu-ibu yang hidup bersama sampah, dan lain sebagainya.
Ada satu hal yang menarik dari apa yang mereka kerjaan di atas gunungan sampah yang setiap jam semakin meninggi, yaitu mendapatkan hal-hal yang layak jual dari apa yang sudah dibuang oleh masyarakat. Bagi kita yang mungkin tidak berada di sana, tidak pernah ke sana, tidak berfikir ada hal yang berharga dari apa yang kita buang. Mungkin sebuah botol air mineral, bisa saja kaleng minuman soda, beberapa pecah belah di dapur yang tidak layak pakai, bahan bangunan yang tidak berguna, dan masih banyak lagi. Bagi mereka banyak benda yang tidak terpakai itu justru memberikan kehidupan.
Sepanjang hari mereka mengais benda-benda “berharga” itu diantara tumpukan sampah. Terkadang mereka mendapatkannya diantara sampah dapur yang berbau basi. Atau diantara duri-duri tanaman yang dipotong pemilikinya. Tidak sedikit pula barang berharga itu diperoleh dalam bungkusan berbagai macam sampah yang disatukan dalam sebuah plastik besar. Plastik itu dihancurkan, isinya diuraikan, dan di sana mereka mengais-ngais mencari apa yang dapat dimanfaatkan.
Mungkin semua kita sepakat, seharusnya tidak ada kehidupan manusia di sana, tidak ada orang yang menggantungkan harapan pada sampah-sampah yang berbau dan dipenuhi lalat. Itu jelas sebuah pekerjaan yang tidak layak, meskipun halal. Seharusnya manusia bekerja pada tempat lebih bersih dan dengan cara yang bersih pula. Sebab di sana, bukan hanya si ibu yang akan sakit, namun ia juga akan menularkan penyakit pada anak kecilnya. Di sana bukan hanya seorang laki-laki yang akan menderita ashma atau batuk akibat kuman-kuman yang bertebaran, namun juga keluarganya di rumah yang mencuci pakaiannya, atau yang bergaul dengannya saat ia belum mebersihkan diri. Namun itu tetap terjadi, dan masih juga terjadi hingga kini.
Akan tetapi tidak semua kita bisa membantu mengeluarkan mereka dari pekerjaan tersebut. Sebab itu masalah besar. Tidak ada satu tangan manusia yang mampu melakukannya. Butuh sebuah kerja besar, kerja yang melibatkan semua pihak, semua lembaga, semua kekuasaan yang ada. Sebab itu adalah masalah manusia sepanjang hidupnya. Bukan hanya di Indonesia, di negara maju sekalipun fenomena seperti ini tetap ada. Pengemis, pemulung, gelandangan, adalah fenomena biasa di berbagai kota besar dunia.
Namun bukan juga berarti kita tidak bisa membantunya. Kita bisa! Dan itu mudah. Sesuatu yang kecil kita lakukan bisa mengubah ritme kerja mereka. Sesuatu yang ringan di tangan kita akan memudahkan seharian kerja mereka. Beberapa detik yang kita lakukan akan memotong beberapa jam kerja mereka. Apa yang harus kita lakukan? Pisahkan sampah basah-sampah kering. Pisahkan sampah plastik dengan sampah yang dapat diurai oleh tanah. Bukankah itu sesuatu yang mudah? Hanya butuh waktu sepersekian detik untuk memutuskan di mana kita akan membuang sampah. Namun yakinlah, itu akan membantu banyak saudara kita yang bergelut dengan tumpukan sampah di tempat pembuangan akhir.
Bagi kita hanya pilihan, tapi mereka itu adalah kehidupan.
Kami berkunjung pada suatu hari minggu dengan menggunakan sepeda motor. Sesampai di lokasi mahasiswa saya bebaskan untuk berekspresi, melakukan pendekatan dengan orang-orang di sana dan membina komunikasi. Beberapa mahasiswa ada yang takut-takut masuk ke dalam tumpukan sampah di mana pemulung berada. Beberapa diantaranya ada yang masuk namun dengan mengangkat tinggi-tinggi celana atau rok. Ada pula yang berani apa adanya, tanpa ragu dan enggan. Begitu memang manusia, padahal sampah itu berasal dari rumahnya juga.
Di dalam kelas keesokan harinya, mahasiswa melaporkan apa yang mereka dapatkan di lapangan pada hari kunjungan itu. Banyak hal menarik yang mereke temukan. Antara lain, ternyata diantara pemulung itu ada yang sarjana. Ia tidak mendapatkan pekerjaan lain, sementara ia harus menghidupi keluarganya, hingga ia memilih menjadi pemulung. Ada juga pemulung itu mantan tenaga kerja di luar negeri dan pernah punya gaji yang sangat banyak. Namun karena boros dan suka berjudi ia jatuh bangkrut. Ia kemudian menjadi pemulung untuk menghidupi ibunya yang sudah tua. Yang lain adalah cerita mengenai anak-anak yang tidak sekolah, ibu-ibu yang hidup bersama sampah, dan lain sebagainya.
Ada satu hal yang menarik dari apa yang mereka kerjaan di atas gunungan sampah yang setiap jam semakin meninggi, yaitu mendapatkan hal-hal yang layak jual dari apa yang sudah dibuang oleh masyarakat. Bagi kita yang mungkin tidak berada di sana, tidak pernah ke sana, tidak berfikir ada hal yang berharga dari apa yang kita buang. Mungkin sebuah botol air mineral, bisa saja kaleng minuman soda, beberapa pecah belah di dapur yang tidak layak pakai, bahan bangunan yang tidak berguna, dan masih banyak lagi. Bagi mereka banyak benda yang tidak terpakai itu justru memberikan kehidupan.
Sepanjang hari mereka mengais benda-benda “berharga” itu diantara tumpukan sampah. Terkadang mereka mendapatkannya diantara sampah dapur yang berbau basi. Atau diantara duri-duri tanaman yang dipotong pemilikinya. Tidak sedikit pula barang berharga itu diperoleh dalam bungkusan berbagai macam sampah yang disatukan dalam sebuah plastik besar. Plastik itu dihancurkan, isinya diuraikan, dan di sana mereka mengais-ngais mencari apa yang dapat dimanfaatkan.
Mungkin semua kita sepakat, seharusnya tidak ada kehidupan manusia di sana, tidak ada orang yang menggantungkan harapan pada sampah-sampah yang berbau dan dipenuhi lalat. Itu jelas sebuah pekerjaan yang tidak layak, meskipun halal. Seharusnya manusia bekerja pada tempat lebih bersih dan dengan cara yang bersih pula. Sebab di sana, bukan hanya si ibu yang akan sakit, namun ia juga akan menularkan penyakit pada anak kecilnya. Di sana bukan hanya seorang laki-laki yang akan menderita ashma atau batuk akibat kuman-kuman yang bertebaran, namun juga keluarganya di rumah yang mencuci pakaiannya, atau yang bergaul dengannya saat ia belum mebersihkan diri. Namun itu tetap terjadi, dan masih juga terjadi hingga kini.
Akan tetapi tidak semua kita bisa membantu mengeluarkan mereka dari pekerjaan tersebut. Sebab itu masalah besar. Tidak ada satu tangan manusia yang mampu melakukannya. Butuh sebuah kerja besar, kerja yang melibatkan semua pihak, semua lembaga, semua kekuasaan yang ada. Sebab itu adalah masalah manusia sepanjang hidupnya. Bukan hanya di Indonesia, di negara maju sekalipun fenomena seperti ini tetap ada. Pengemis, pemulung, gelandangan, adalah fenomena biasa di berbagai kota besar dunia.
Namun bukan juga berarti kita tidak bisa membantunya. Kita bisa! Dan itu mudah. Sesuatu yang kecil kita lakukan bisa mengubah ritme kerja mereka. Sesuatu yang ringan di tangan kita akan memudahkan seharian kerja mereka. Beberapa detik yang kita lakukan akan memotong beberapa jam kerja mereka. Apa yang harus kita lakukan? Pisahkan sampah basah-sampah kering. Pisahkan sampah plastik dengan sampah yang dapat diurai oleh tanah. Bukankah itu sesuatu yang mudah? Hanya butuh waktu sepersekian detik untuk memutuskan di mana kita akan membuang sampah. Namun yakinlah, itu akan membantu banyak saudara kita yang bergelut dengan tumpukan sampah di tempat pembuangan akhir.
Bagi kita hanya pilihan, tapi mereka itu adalah kehidupan.
Satu Kelahiran Satu Pohon
Apakah anda punya sebatang pohon yang umurnya persis sebaya dengan anda dan anda mengetahui di mana pohon itu? Jika ada, itu pasti sebuah hal yang menakjubkan dan sebuah kebanggaan. Dan anda dengan bangga akan mengatakan, “Ini pohonku!”
Saya dan semua orang kampung suku Kluet, Kabupaten Aceh Selatan memilikinya. Ada sebuah tradisi khusus di sana yang membuat hal ini bisa terjadi. Setiap orang yang lahir, pada hari itu juga akan ditanami sebatang pohon untuk menandainya. Dalam lubang yang akan ditanami dimasukkan segala darah dan benda lain selama proses persalinan. Kemudian di atasnya dimasukkan pohon tertentu yang menjadi pilihan orang tuanya, kelapa, mangga, durian, dan lain sebagainya. Selama ini pohon yang dipilih adalah pohon keras dan berumur panjang. Jadi bukan pohon buah-buahan atau sayuran.
Beberapa waktu yang lalu, saat pulang ke kampung saya kebetulan datang ke bekas rumah di mana saya dilahirkan. Rumah itu sekarang sudah menjadi kebun karena semua masyarakat sudah pindah ke pinggir jalan. Dan di sana berdiri dengan kukuh sebatang pohon durian yang sedang berbuah lebat. Ibu mengatakan “Nyan a kah” (itu -pohon- kakak mu). Artinya pohon itu adalah kakak saya. Kenapa disebut kakak? karena sebuah pohon jelas “lahir” lebih dahulu sebelum saya lahir. Hanya ia dipindahkan ke lubang itu pada saat saya lahir. Lalu sejak itu kami tumbuh bersama hingga sekarang ini.
Biasanya sebuah pohon besar akan hidup lebih lama dari manusia. Saya melihat sebatang pohon durian yang ada di belakang rumah nenek. Nenek mengatakan pohon itu memang sudah seperti sekarang ini sejak beliau masih kecil. Besar batangnya, cabang-cabangnya, rimbun daunnya, persis sama ketika beliau masih kanak-kanak. Dan saat itu, di usianya yang ke 80 tahu lebih, pohon durian itu masih berdiri di sana dengan tampilan yang persis sama. Entah berapa lama sudah ia hidup di sana menyaksikan perkembangan dan hiruk pikuk kampung kami, tidak ada yang tahu.
Setiap pohon yang tumbuh bersamaan dengan lahirnya seorang manusia di kampung tidak ikut mati ketika orang tersebut mati. Maka kampung kami, alhamdulillah, sampai saat ini masih rimbun dipenuhi pepohonan. Tidak ada keluhan dari masyarakat tentang panasnya udara. Ada angin pegunungan dan hamparan sawah membentang yang disaring oleh pepohonan sebelum masuk ke rumah. Makanya tidak perlu AC, tidak perlu kipas angin. Pohon-pohon itu memainkan peran penting menggantikan keduanya.
Program “satu orang satu pohon” yang dicanangkan pemerintah saat ini sepertinya perlu mencontoh tradisi orang Kluet di kampung saya. Disana sejak lahir seorang anak telah ditanami sebatang pohon. Dan ketika ia dewasa, ia akan tahu mana pohonnya, dan ia akan menjaga pohon itu. Kalau ia bermurah hati, ia akan menanam sebatang atau beberapa batang pohon lain di dekat pohonnya. Dan di sana akan tumbuh sebuah hutan kecil yang menjadi sumber air bagi kehidupannya, dan sebagai penyaring udara segar bagi hidupnya.
Dengan menanam pohon kitsa selamatkun bumi. Selamat hari bumi.
Saya dan semua orang kampung suku Kluet, Kabupaten Aceh Selatan memilikinya. Ada sebuah tradisi khusus di sana yang membuat hal ini bisa terjadi. Setiap orang yang lahir, pada hari itu juga akan ditanami sebatang pohon untuk menandainya. Dalam lubang yang akan ditanami dimasukkan segala darah dan benda lain selama proses persalinan. Kemudian di atasnya dimasukkan pohon tertentu yang menjadi pilihan orang tuanya, kelapa, mangga, durian, dan lain sebagainya. Selama ini pohon yang dipilih adalah pohon keras dan berumur panjang. Jadi bukan pohon buah-buahan atau sayuran.
Beberapa waktu yang lalu, saat pulang ke kampung saya kebetulan datang ke bekas rumah di mana saya dilahirkan. Rumah itu sekarang sudah menjadi kebun karena semua masyarakat sudah pindah ke pinggir jalan. Dan di sana berdiri dengan kukuh sebatang pohon durian yang sedang berbuah lebat. Ibu mengatakan “Nyan a kah” (itu -pohon- kakak mu). Artinya pohon itu adalah kakak saya. Kenapa disebut kakak? karena sebuah pohon jelas “lahir” lebih dahulu sebelum saya lahir. Hanya ia dipindahkan ke lubang itu pada saat saya lahir. Lalu sejak itu kami tumbuh bersama hingga sekarang ini.
Biasanya sebuah pohon besar akan hidup lebih lama dari manusia. Saya melihat sebatang pohon durian yang ada di belakang rumah nenek. Nenek mengatakan pohon itu memang sudah seperti sekarang ini sejak beliau masih kecil. Besar batangnya, cabang-cabangnya, rimbun daunnya, persis sama ketika beliau masih kanak-kanak. Dan saat itu, di usianya yang ke 80 tahu lebih, pohon durian itu masih berdiri di sana dengan tampilan yang persis sama. Entah berapa lama sudah ia hidup di sana menyaksikan perkembangan dan hiruk pikuk kampung kami, tidak ada yang tahu.
Setiap pohon yang tumbuh bersamaan dengan lahirnya seorang manusia di kampung tidak ikut mati ketika orang tersebut mati. Maka kampung kami, alhamdulillah, sampai saat ini masih rimbun dipenuhi pepohonan. Tidak ada keluhan dari masyarakat tentang panasnya udara. Ada angin pegunungan dan hamparan sawah membentang yang disaring oleh pepohonan sebelum masuk ke rumah. Makanya tidak perlu AC, tidak perlu kipas angin. Pohon-pohon itu memainkan peran penting menggantikan keduanya.
Program “satu orang satu pohon” yang dicanangkan pemerintah saat ini sepertinya perlu mencontoh tradisi orang Kluet di kampung saya. Disana sejak lahir seorang anak telah ditanami sebatang pohon. Dan ketika ia dewasa, ia akan tahu mana pohonnya, dan ia akan menjaga pohon itu. Kalau ia bermurah hati, ia akan menanam sebatang atau beberapa batang pohon lain di dekat pohonnya. Dan di sana akan tumbuh sebuah hutan kecil yang menjadi sumber air bagi kehidupannya, dan sebagai penyaring udara segar bagi hidupnya.
Dengan menanam pohon kitsa selamatkun bumi. Selamat hari bumi.
Wednesday, 21 April 2010
Kalau Pengemis jadi Sales
Saat sedang duduk santai di sebuah warung kopi seorang laki-laki muda dengan pakaian lusuh mendekat. Ia mengenakan sebuah kopiah yang juga lusuh. Dari sedikit rambutnya yang nampak jelas ia tidak pernah merapikannya. Kakinya yang dilapisi sandal jepit tua dibiarkan bedebu dan tumbuh beberapa kudis kecil. sekilas ia berbedan tegap dan sehat. Di tangannya ada selembar kertas yang sudah dipres. Kertas yang nampak lusuh dan berlipat tidak rapi. Ia mengandeng sebuah tas samping yang berisi sesuatu. Saya tidak tahu isinya apa.
Asssalamu’alaikum, katanya tatkala mendekat pada kami. “Bie seudekah bacut keu aneuk yatim” (berikan sedikit sedekah untuk anak yatim) katanya. Ia mengungkapkan itu sambil menyodorkan kertas lusuh di tangannya ke hadapan kami. Matanya menatap jelas ke mata kami. Wajahnya dipasang memelas, mengharap iba dan perhatian. Tidak ada yang tahu apa yang ia pikirkan dalam lubuk hatinya. Tidak pula ada yang bisa memastikan apakah penampilannya menunjukkan wujud asli dirinya atau hanya kamuflasse saja. Yang pasti saat itu ia berdiri di depan kami mengharapkan sedikit sedekah, yang katanya untuk anak yatim. Diakah anak yatim itu? wallahu’a'lam.
Oke, sementara kita tinggalkan cerita ini.
Tahun 1997 saya masih semester satu kuliah di sebuah perguruan tinggi di Aceh. Pada masa liburan semester saya mendaftar bekerja di sebuah perusahaan distributor perlengkapan rumah tangga dengan sistem penjualan door to door. Saya sebenarnya mendaftar sebagai office boy agar punya tempat tinggal gratis sambil kuliah. Namun ketika wawancara, menejernya mengatakan semua orang yang akan bekerja di sini harus ditraining dulu. Training lapangan. Semula saya tidak tahu training lapangan seperti apa, setelah saya ikuti ternyata saya diminta jadi sales, menjual produk mereka dari pintu ke pintu, sepanjang hari. Karena dianggap sebagai training, maka saya ikut saja.
Pada hari mulai kerja, saya dan beberapa orang lain yang diterima bersamaan dibriefing di sebuah ruangan dalam kantor. Kami diajarkan cara bersalaman, cara berbicara, cara menawarkan produk, cara berjabat tangan, menatap mata calon pembeli, dan berbagai hal lain yang bersifat teknis dan filosofis. Kemudian kami mengikuti sales senior dalam beroperasi di lapangan untuk melakukan observasi langsung tentang implementasi metode tersebut. Hal ini berlangsung tiga hari, baru kemudian kami dipercayakan untuk membawa produk sendiri dan menjual sendiri.
Ternyata menjadi sales bukan hal yang mudah. Meskipun di kantor rasanya saya sudah percaya diri, bisa tersenyum dengan lugas, bersalaman dengan erat sambil menatap mata calon pembeli, berbicara dengan baik dan lancar, namun di lapangan sungguh berbeda. Ada rasa malu, rasa takut, rasa was-was dan segala rasa yang lain saat berhadapn dengan segala jenis orang. Sebab di lapangan kita tidak hanya berjumpa dengan seorang ibu yang santun, namun ada beragam jenis ibu-ibu dengan aktifitas sehariannya. Ada pegawai di kantor, ada polisi, tentara, bapak-bapak yang bengis, dan lain sebagainya. Jadi perlu beragam model pendekatan yang perlu dipraktekkan dan disesuaikan dengan kondisi lapangan. Itu sungguh sangat berat.
Akan tetapi, dibantu dengan bacaan, latihan, sharing pengalaman dengan teman seprofesi, sedikit demi sedikit masalah itu teratasi juga. Bahkan pada minggu kedua bekerja di sana saya sudah mendapatkan kesempatan naik tingkat karena berhasil ring the bell (mencapai penjualan harian yang standar) satu minggu berturut-turut. Manajer kami yang berasal dari Jakarta berjanji akan mengirim saya ke Surabaya untuk latihan lebih lanjut dan mengembangkan perusahaan di Aceh. Namun saya memilih melanjutkan kuliah dan mengatakan kalau bekerja sebagai sales hanya pada waktu liburan saja.
Kembali ke cerita pengemis.
Pengemis pada prinsipnya telah memiliki keberanian yang luar biasa dalam menghadapi beragam jenis orang. Ia memiliki rasa percaya diri dalam menawarkan “produknya.” Ia juga memiliki kemampuan dalam mengatur mimik muka dan gerak badan untuk menimbulkan rasa pada calon “konsumennya”. Apalagi seorang pengemis telah terlatih berjalan berjam-jam dan ke berbagai tempat sepanjang hari. Secara fisik mereka kuat dan peuh dedikasi untuk pekerjaannya. Secara potensi mereka memiliki kemampuan untuk “menundukkan” calon konsumennya. Dan dua hal ini adalah dua hal penting bagi seorang sales.
Saya tidak tahu apakah ini ide yang tepat. Tapi sepertinya beberapa pengemis yang ada di Banda Aceh (entah kota lain di Indonesia, saya tidak tahu bagaimana performa pengemisnya) dapat di “upgrade” menjadi sales. Mereka hanya perlu diubah pakaian dan penapilan. Dibekali sedikit metode penjualan untuk masyarakat modern. Mengubah wajah prihatin menjadi wajah penuh senyum. Mengubah tatapan sedih menjadi tatapan penuh percaya diri. Dengan demikian mungkin pengemis akan “naik pangkat” menjadi sales yang sukses. Bagaimana menurut anda?
Asssalamu’alaikum, katanya tatkala mendekat pada kami. “Bie seudekah bacut keu aneuk yatim” (berikan sedikit sedekah untuk anak yatim) katanya. Ia mengungkapkan itu sambil menyodorkan kertas lusuh di tangannya ke hadapan kami. Matanya menatap jelas ke mata kami. Wajahnya dipasang memelas, mengharap iba dan perhatian. Tidak ada yang tahu apa yang ia pikirkan dalam lubuk hatinya. Tidak pula ada yang bisa memastikan apakah penampilannya menunjukkan wujud asli dirinya atau hanya kamuflasse saja. Yang pasti saat itu ia berdiri di depan kami mengharapkan sedikit sedekah, yang katanya untuk anak yatim. Diakah anak yatim itu? wallahu’a'lam.
Oke, sementara kita tinggalkan cerita ini.
Tahun 1997 saya masih semester satu kuliah di sebuah perguruan tinggi di Aceh. Pada masa liburan semester saya mendaftar bekerja di sebuah perusahaan distributor perlengkapan rumah tangga dengan sistem penjualan door to door. Saya sebenarnya mendaftar sebagai office boy agar punya tempat tinggal gratis sambil kuliah. Namun ketika wawancara, menejernya mengatakan semua orang yang akan bekerja di sini harus ditraining dulu. Training lapangan. Semula saya tidak tahu training lapangan seperti apa, setelah saya ikuti ternyata saya diminta jadi sales, menjual produk mereka dari pintu ke pintu, sepanjang hari. Karena dianggap sebagai training, maka saya ikut saja.
Pada hari mulai kerja, saya dan beberapa orang lain yang diterima bersamaan dibriefing di sebuah ruangan dalam kantor. Kami diajarkan cara bersalaman, cara berbicara, cara menawarkan produk, cara berjabat tangan, menatap mata calon pembeli, dan berbagai hal lain yang bersifat teknis dan filosofis. Kemudian kami mengikuti sales senior dalam beroperasi di lapangan untuk melakukan observasi langsung tentang implementasi metode tersebut. Hal ini berlangsung tiga hari, baru kemudian kami dipercayakan untuk membawa produk sendiri dan menjual sendiri.
Ternyata menjadi sales bukan hal yang mudah. Meskipun di kantor rasanya saya sudah percaya diri, bisa tersenyum dengan lugas, bersalaman dengan erat sambil menatap mata calon pembeli, berbicara dengan baik dan lancar, namun di lapangan sungguh berbeda. Ada rasa malu, rasa takut, rasa was-was dan segala rasa yang lain saat berhadapn dengan segala jenis orang. Sebab di lapangan kita tidak hanya berjumpa dengan seorang ibu yang santun, namun ada beragam jenis ibu-ibu dengan aktifitas sehariannya. Ada pegawai di kantor, ada polisi, tentara, bapak-bapak yang bengis, dan lain sebagainya. Jadi perlu beragam model pendekatan yang perlu dipraktekkan dan disesuaikan dengan kondisi lapangan. Itu sungguh sangat berat.
Akan tetapi, dibantu dengan bacaan, latihan, sharing pengalaman dengan teman seprofesi, sedikit demi sedikit masalah itu teratasi juga. Bahkan pada minggu kedua bekerja di sana saya sudah mendapatkan kesempatan naik tingkat karena berhasil ring the bell (mencapai penjualan harian yang standar) satu minggu berturut-turut. Manajer kami yang berasal dari Jakarta berjanji akan mengirim saya ke Surabaya untuk latihan lebih lanjut dan mengembangkan perusahaan di Aceh. Namun saya memilih melanjutkan kuliah dan mengatakan kalau bekerja sebagai sales hanya pada waktu liburan saja.
Kembali ke cerita pengemis.
Pengemis pada prinsipnya telah memiliki keberanian yang luar biasa dalam menghadapi beragam jenis orang. Ia memiliki rasa percaya diri dalam menawarkan “produknya.” Ia juga memiliki kemampuan dalam mengatur mimik muka dan gerak badan untuk menimbulkan rasa pada calon “konsumennya”. Apalagi seorang pengemis telah terlatih berjalan berjam-jam dan ke berbagai tempat sepanjang hari. Secara fisik mereka kuat dan peuh dedikasi untuk pekerjaannya. Secara potensi mereka memiliki kemampuan untuk “menundukkan” calon konsumennya. Dan dua hal ini adalah dua hal penting bagi seorang sales.
Saya tidak tahu apakah ini ide yang tepat. Tapi sepertinya beberapa pengemis yang ada di Banda Aceh (entah kota lain di Indonesia, saya tidak tahu bagaimana performa pengemisnya) dapat di “upgrade” menjadi sales. Mereka hanya perlu diubah pakaian dan penapilan. Dibekali sedikit metode penjualan untuk masyarakat modern. Mengubah wajah prihatin menjadi wajah penuh senyum. Mengubah tatapan sedih menjadi tatapan penuh percaya diri. Dengan demikian mungkin pengemis akan “naik pangkat” menjadi sales yang sukses. Bagaimana menurut anda?
Motor Tua Bisa jaga Diri
Seorang rekan kerja saya, sebut saja namanya Pak Salim, memiliki motor tua, Honda Astrea 800. Bagi anda yang familiar dengan kenderaan ini pasti tahu, salah satu bentuk khasnya adalah tempat duduk yang lebih panjang dibandingkan motor lain, apalagi motor keluaran terbaru saat ini. Motor keluaran terkini umumnya memiliki tempat duduk yang miring ke depan. Jadi jika duduk berboncengan, yang dibelakang otomatis melorot ke depan. Dadanya akan disandarkan ke punggung pengendara sepeda motor tanpa harus diminta. Pasti ini menyenangkan bagi pasangan anak muda dan remaja yang sedang dimabuk cinta.
Meskipun saya dan banyak teman yang lain mengganti motor kami dengan motor “yang lebih bagus” dan keluaran yang lebih baru, tidak bagi Pak Salim. Ia sepertinya merasa cukup puas dengan kenderaan yang ia miliki saat ini. Padahal semua sangat yakin, dengan jabatannya sekarang, serangkaian pekerjaan produktifnya, prestasi-prestasi dan ketenarannya, membeli motor yang lebih baik bukanlah hal yang mustahil. Bahkan saya sangat yakin pula membeli mobil juga suatu hal yang wajar untuknya. Namun ia tidak melakukan itu. Ia tetap setia dengan motor bututunya.
Setiap duduk bersama teman-teman di kantor atau sambil minum kopi bersama, ada teman yang meledeknya, mengatakan untuk apa motor seperti itu, sekarang sudah tidak zamannya lagi. Apalagi motor itu tidak praktis; larinya pelan, onderdilnya sudah tidak menarik, suaranya tidak halus meskipun tidak sampai mengganggu orang lain, catnya juga tidak mulus lagi, dan beberapa kekurangan yang lain. Namun sepertinya beliau tidak bergeming dengan uagkapan-ungkapan canda bernada sinis itu. Sampai hari saat esay ini saya tulis beliau masih menggunakan motor tuanya.
Saya sendiri adalah satu diantara banyak orang yang suka dengan hal-hal baru, termasuk motor. Saya berpedoman pada praktisnya, bukan pada fungsi dan manfaat semata. Jadi meskipun saya punya motor lama yang masih bisa dipakai, namun kalau sering rusak, bolak-balik ke bengkel, dan tidak serasi dengan motor lain saat diparkir, itu sedikit mengganggu batin saya. Makanya saya termasuk orang yang heran kenapa Pak Salim masih bertahan dengan motor tuanya dan sama sekali tidak berniat menggantikan dengan yang sedikit lebih bagus. Tidak mesti baru, seperti yang saya miliki, namun setidaknya “nyaman” dipandang mata.
Suatu hari, kami pergi takziah ke rumah salah seorang teman yang orang tuanya meninggal dunia. Kami pergi bersama-sama dengan motor. banyak juga yang pergi dengan mobil. Bersama saya antara lain ada Pak Salim dan Pak Muladi. Pak Muladi adalah salah seorang teman yang sangat sering “menceramahi” Pak Salim mengenai motornya. “Sudahlah Pak, bapak ganti saja motor itu. Sakit juga mata kita melihatnya, tidak serasi kalau lagi parkir. Masa ngak bisa beli yang baru? Kan proyek bapak banyak sekarang.” Begitu antara lain yang diungkapkan Pak Muladi pada Pak Salim. Namun biasanya Pak Salim tidak menanggapi, ia hanya menjawab ala kadar saja.
Saat kami pulang dari takziah, azan ashar menggema di masjid. Kami sepakat untuk berhenti menunaikan shalat jamaah sambil melepaskan lelah dan gerah. Di halaman masjid kami parkirkan kenderaan. Saya dan Pak Muladi membutuhkan waktu yang lama untuk parkir. Sebab selain mendirikan kenderaan di tempat yang “aman” kami juga harus memasang kunci pengaman. Selain kunci stang, saya memasang kunci pengaman di rantai. Pak Muladi lebih banyak lagi; kunci stang, gembok rantai dan rantai ban depan. Tiga pengaman. Ini semua kami lakukan untuk menjamin kenderaan kami aman dari pencurian. Apalagi belakangan ini pencurian kenderaan bermotor sangat sering terjadi. Sementara Pak Salim hanya butuh beberapa saat. Dia dirikan motornya di posisi yang pas, mengkunci stang, lalu pergi ke tempat wudhu. Ia seolah meninggalkan kenderaan begitu saja, tanpa khawatir kenderaannya akan dicuri maling.
Jujur saya katakan, meskipun saya sudah mengunci kenderaan dengan kunci pengaman, saya tetap belum yakin kenderaan saya akan aman. Sangat banyak kenderaan yang hilang maskipun sudah ada kunci pengaman. Jangankan pakai kunci pengaman, di rumah saja banyak kenderaan yang hilang, apalagi di masjid dan di luar. Itulah yang membuat saya selalu teringat pada motor yang diparkir di depan masjid sepanjang shalat jamaah. Bahkan diam-diam dalam hati yang paling dalam saya berharap agar imam sedikit mempercepat shalat agar saya bisa melihat kenderaan dan menjaminnya tidak hilang dicuri orang.
Sesaat setelah selesai shalat, saya dan Pak Muladi hanya berzikir sebenar lalu keluar masjid segera untuk memastikan motor kami tidak masalah. Alhamdulillah, motor saya masih ada di tempatnya, begitu pula dengan motor kedua teman saya. Namun saya melihat Pak Salim masih di tempat duduknya. Ia berzikir dengan tenang tanpa beban. Seolah ia tidak peduli dan berfikir tentang motornya. Seolah ia mempasrahkan saja motor itu jika dicuri orang. Kami butuh waktu 10 menit untuk menunggu beliau selesai berzikir dan berdoa baru kemudian keluar masjid.
Saat keluar masjid Pak Muladi berseloroh lagi. “Panjang kali do’anya pak?” Pak Salim hanya tersenyum, lalu mengatakan: “Pasti kalian keluar karena takut motor dicuri orang kan? Makanya lebih enak seperti motor saya, aman, tidak ada yang peduli. Ibadah kita tenang, nyaman. Berdoa dengan tenang tanpa rasa was-was. Sama sekali kita tidak khawatir motor kita akan hilang. Motor tua bisa jaga diri.” Katanya. Saya baru maklum kenapa ia tidak menggantikan motornya. Lalu kami berangkat pulang.
***
Terkadang harta dan obsesi yang berlebihan menjadikan jiwa kita tergantung padanya dan menjauhkan diri kita pada rasa nyaman dan tenang dalam kedamaian sejati mengingat Allah.
Meskipun saya dan banyak teman yang lain mengganti motor kami dengan motor “yang lebih bagus” dan keluaran yang lebih baru, tidak bagi Pak Salim. Ia sepertinya merasa cukup puas dengan kenderaan yang ia miliki saat ini. Padahal semua sangat yakin, dengan jabatannya sekarang, serangkaian pekerjaan produktifnya, prestasi-prestasi dan ketenarannya, membeli motor yang lebih baik bukanlah hal yang mustahil. Bahkan saya sangat yakin pula membeli mobil juga suatu hal yang wajar untuknya. Namun ia tidak melakukan itu. Ia tetap setia dengan motor bututunya.
Setiap duduk bersama teman-teman di kantor atau sambil minum kopi bersama, ada teman yang meledeknya, mengatakan untuk apa motor seperti itu, sekarang sudah tidak zamannya lagi. Apalagi motor itu tidak praktis; larinya pelan, onderdilnya sudah tidak menarik, suaranya tidak halus meskipun tidak sampai mengganggu orang lain, catnya juga tidak mulus lagi, dan beberapa kekurangan yang lain. Namun sepertinya beliau tidak bergeming dengan uagkapan-ungkapan canda bernada sinis itu. Sampai hari saat esay ini saya tulis beliau masih menggunakan motor tuanya.
Saya sendiri adalah satu diantara banyak orang yang suka dengan hal-hal baru, termasuk motor. Saya berpedoman pada praktisnya, bukan pada fungsi dan manfaat semata. Jadi meskipun saya punya motor lama yang masih bisa dipakai, namun kalau sering rusak, bolak-balik ke bengkel, dan tidak serasi dengan motor lain saat diparkir, itu sedikit mengganggu batin saya. Makanya saya termasuk orang yang heran kenapa Pak Salim masih bertahan dengan motor tuanya dan sama sekali tidak berniat menggantikan dengan yang sedikit lebih bagus. Tidak mesti baru, seperti yang saya miliki, namun setidaknya “nyaman” dipandang mata.
Suatu hari, kami pergi takziah ke rumah salah seorang teman yang orang tuanya meninggal dunia. Kami pergi bersama-sama dengan motor. banyak juga yang pergi dengan mobil. Bersama saya antara lain ada Pak Salim dan Pak Muladi. Pak Muladi adalah salah seorang teman yang sangat sering “menceramahi” Pak Salim mengenai motornya. “Sudahlah Pak, bapak ganti saja motor itu. Sakit juga mata kita melihatnya, tidak serasi kalau lagi parkir. Masa ngak bisa beli yang baru? Kan proyek bapak banyak sekarang.” Begitu antara lain yang diungkapkan Pak Muladi pada Pak Salim. Namun biasanya Pak Salim tidak menanggapi, ia hanya menjawab ala kadar saja.
Saat kami pulang dari takziah, azan ashar menggema di masjid. Kami sepakat untuk berhenti menunaikan shalat jamaah sambil melepaskan lelah dan gerah. Di halaman masjid kami parkirkan kenderaan. Saya dan Pak Muladi membutuhkan waktu yang lama untuk parkir. Sebab selain mendirikan kenderaan di tempat yang “aman” kami juga harus memasang kunci pengaman. Selain kunci stang, saya memasang kunci pengaman di rantai. Pak Muladi lebih banyak lagi; kunci stang, gembok rantai dan rantai ban depan. Tiga pengaman. Ini semua kami lakukan untuk menjamin kenderaan kami aman dari pencurian. Apalagi belakangan ini pencurian kenderaan bermotor sangat sering terjadi. Sementara Pak Salim hanya butuh beberapa saat. Dia dirikan motornya di posisi yang pas, mengkunci stang, lalu pergi ke tempat wudhu. Ia seolah meninggalkan kenderaan begitu saja, tanpa khawatir kenderaannya akan dicuri maling.
Jujur saya katakan, meskipun saya sudah mengunci kenderaan dengan kunci pengaman, saya tetap belum yakin kenderaan saya akan aman. Sangat banyak kenderaan yang hilang maskipun sudah ada kunci pengaman. Jangankan pakai kunci pengaman, di rumah saja banyak kenderaan yang hilang, apalagi di masjid dan di luar. Itulah yang membuat saya selalu teringat pada motor yang diparkir di depan masjid sepanjang shalat jamaah. Bahkan diam-diam dalam hati yang paling dalam saya berharap agar imam sedikit mempercepat shalat agar saya bisa melihat kenderaan dan menjaminnya tidak hilang dicuri orang.
Sesaat setelah selesai shalat, saya dan Pak Muladi hanya berzikir sebenar lalu keluar masjid segera untuk memastikan motor kami tidak masalah. Alhamdulillah, motor saya masih ada di tempatnya, begitu pula dengan motor kedua teman saya. Namun saya melihat Pak Salim masih di tempat duduknya. Ia berzikir dengan tenang tanpa beban. Seolah ia tidak peduli dan berfikir tentang motornya. Seolah ia mempasrahkan saja motor itu jika dicuri orang. Kami butuh waktu 10 menit untuk menunggu beliau selesai berzikir dan berdoa baru kemudian keluar masjid.
Saat keluar masjid Pak Muladi berseloroh lagi. “Panjang kali do’anya pak?” Pak Salim hanya tersenyum, lalu mengatakan: “Pasti kalian keluar karena takut motor dicuri orang kan? Makanya lebih enak seperti motor saya, aman, tidak ada yang peduli. Ibadah kita tenang, nyaman. Berdoa dengan tenang tanpa rasa was-was. Sama sekali kita tidak khawatir motor kita akan hilang. Motor tua bisa jaga diri.” Katanya. Saya baru maklum kenapa ia tidak menggantikan motornya. Lalu kami berangkat pulang.
***
Terkadang harta dan obsesi yang berlebihan menjadikan jiwa kita tergantung padanya dan menjauhkan diri kita pada rasa nyaman dan tenang dalam kedamaian sejati mengingat Allah.
Monday, 19 April 2010
Cara Anak Berbagi Jajan
Kampung asli saya ada di pedalaman Aceh Selatan, Provinsi Aceh. Jaraknya 60 km dari kota kabupaten, Tapak Tuan atau 480 km dari provinsi, Banda Aceh. Tidak terlalu jauh memang kalau dengan pesawat terbang. Sayangnya, jangankan pesawat terbang, jalan dari aspal saja belum lancar. Sampai sekarang, setelah 65 tahun Indonesia -katanya- merdeka. Masa sih? Ya sudah kalau tidak percaya, jalan saja sendiri, pasti menyenangkan, naik rakit, jalan becek, berdebu, dihadang jurang, dll. Pokoknya, seru! Bisa bayangkan bagaimana nasib kampung kami tahun 1985 atau 25 tahun yang lalu?
saat itulah saya sekolah Madrasah Ibtidaiyah, setingkat SD. Sekolah kami persis seperti bangunan sekolah si Lintang dan temannya dalam Laskar Pelangi. Bahkan masih lebih baik sekolah mereka karena hanya ditopang oleh satu kayu dan satu sisi saja. Sementara sekolah saya harus ditopang disetiap sisi. Dindingnya terbuat dari bleut, anjaman daun kelapa yang disusun rapi. Atapnya daun rumbia. Lantainya tanah yang telah mengeras dan memutih. Kata pak guru saat itu, lantai yang mengeras itu lebih kuat dari semen. Dan itu membuat kami sangat bangga.
Tapi ada yang istimewa dengan pakaian kami. Meskipun di pedesaan yang sangat jauh dari kota, lebih separuh laki-laki mengenakan kacamata. sayangnya kacamatanya cap alam dan diletakkan di -maaf- pantat. Kacamata yang terbuat dari celana pendek yang kumal karena terus dipakai. Akibatnya di belakang jadi aus dan menimbulkan robek di dua sisi yang berdampingan, mirip kacamata. Jangan tanya soal alas kaki. Sandal jepit adalah alas kaki termewah yang pernah kami kenal. Kalau lihat teman-teman di kecamatan (kalau sesekali sempat ke kecamatan) yang pakai sepatu, justru nampak aneh. Bagaimana mungkin orang bisa berjalan kalau kakinya dibalut semua? Yah… tapi begitulah cara pikir kami dulu.
Kami tidak memiliki kantin sekolah. Sebab murid sekolah juga sangat sedikit. Ada tiga orang pedagang keliling yang mengunjungi kami setiap hari. Masing-masing membawa mainan plastik, mie goreng dalam bungkusan kecil, dan es seukuran jempol kaki yang panjangnya sejengkal. Ketiganya berasal dari kampung lain di kecamatan. Mereka datang ke sekolah kami tidak tentu waktunya. Namun karenan waktu masuk kelas kami yang juga tidak jelas, kami selalu berjumpa dengannya setiap hari.
Nah, saat jajan adalah saat terindah pada masa kecil. Tidak semua kami memiliki uang ajan yang cukup untuk membeli es dan mie goreng. Beberapa anak tidak diberikan jajan oleh orang tua mereka. Bagaimana mau kasih jajan anak, untuk kebutuhan lain saja sulit? Namun beberapa anak berinisiatif mencari uang sendiri, menjual kelapa, membantu di sawah/kebun, membantu membawa padi ke pabrik, mencari ikan, dan lainnya. Uang itulah yang menjadi uang jajan. Jangan berharap orang tua akan memberikan. Itu hil yang mustahal, atau hal yang mustahil terjadi.
Namun meskipun tidak ada uang, bukan berarti tidak bisa makan es atau makan mie goreng. Inilah bukti kasih sayang dan pertemanan diantara anak-anak. semua orang datang dan mengerumuni penjual jajanan. Hanya beberapa orang yang membeli. Namun es yang dibelinya tidak pernah dimakan sendiri, tapi berbagi dengan teman yang lain. Sebuah es yang pajang sejengkal bisa dinikmati oleh tiga hingga lima orang. Sebungkus kecil mie goreng bisa dimakan oleh dua sampai empat orang. Semuanya kebagian merasakan es dan mie goreng.
Yang paling seru adalah cara berbaginya. Sebuah es yang dibungkus plastik di buka dengan mulut di bagain atasnya. Lalu es dikeluarkan sedikit, 2-3 cm lalu digigit untuk dipatahkan. Es yang sudah patah di dalam mulut dikeluarkan kembali ke telapak tangan dan diberikan kepada teman. Kalau ada lima orang, maka lima kali pula es itu digigit dan dipatahkan kemudian dibagikan kepada teman. Saat es itu diterima, warnanya sudah sedikit berubah. Bagaimana tidak? es yang mulai mencait tersebut telah dipegang tanpa alas oleh tangan yang sejak pagi bermain tanah dan debu. Jadinya, apapun warna es, akan berubah menjadi hitam kecoklatan. Dan itu sangat nikmat. Anda yang tidak pernah coba pasti tidak sanggup membayangkan kenikmatannya. :-)
Demikian halnya dengan mie goreng berbungkus kecil. Satu bungkusan dibawa ke kelas atau ketera sekolah yang sempit. Di sana mie berbungkus daun pisang itu dibuka dan digelas di lantai tanah. Beberapa orang segera mengerubuninya. Tangan-tangan kecil yang belum dicuci dengan bersih lalu terjulur mengambil sejumput kecil dan memakannya. Terkadang belum sampi ke mulut sebuah tangan lain menyambar dan membawa ke mulutnya. Itu adalah sebuah prestasi laur biasa. Bagaimana tidak? Sejumput mie yang ada di tangan orang bisa disambar dan dimakan! Pemiliknya marah? Not at all! malah menjadi bahan tertawaan besama.
Itulah pengalaman masa kecil, 25 tahun yang lalu. Sekarang semua sudah berubah. Anak-anak, di mana saja, kapan saja, selulu menciptakan sejarahnya sendiri. Di manapun dan bagaimanapun, masa kecil adalah sebuah kenangan. Dan dari sana kita belajar arti kehidupan.
saat itulah saya sekolah Madrasah Ibtidaiyah, setingkat SD. Sekolah kami persis seperti bangunan sekolah si Lintang dan temannya dalam Laskar Pelangi. Bahkan masih lebih baik sekolah mereka karena hanya ditopang oleh satu kayu dan satu sisi saja. Sementara sekolah saya harus ditopang disetiap sisi. Dindingnya terbuat dari bleut, anjaman daun kelapa yang disusun rapi. Atapnya daun rumbia. Lantainya tanah yang telah mengeras dan memutih. Kata pak guru saat itu, lantai yang mengeras itu lebih kuat dari semen. Dan itu membuat kami sangat bangga.
Tapi ada yang istimewa dengan pakaian kami. Meskipun di pedesaan yang sangat jauh dari kota, lebih separuh laki-laki mengenakan kacamata. sayangnya kacamatanya cap alam dan diletakkan di -maaf- pantat. Kacamata yang terbuat dari celana pendek yang kumal karena terus dipakai. Akibatnya di belakang jadi aus dan menimbulkan robek di dua sisi yang berdampingan, mirip kacamata. Jangan tanya soal alas kaki. Sandal jepit adalah alas kaki termewah yang pernah kami kenal. Kalau lihat teman-teman di kecamatan (kalau sesekali sempat ke kecamatan) yang pakai sepatu, justru nampak aneh. Bagaimana mungkin orang bisa berjalan kalau kakinya dibalut semua? Yah… tapi begitulah cara pikir kami dulu.
Kami tidak memiliki kantin sekolah. Sebab murid sekolah juga sangat sedikit. Ada tiga orang pedagang keliling yang mengunjungi kami setiap hari. Masing-masing membawa mainan plastik, mie goreng dalam bungkusan kecil, dan es seukuran jempol kaki yang panjangnya sejengkal. Ketiganya berasal dari kampung lain di kecamatan. Mereka datang ke sekolah kami tidak tentu waktunya. Namun karenan waktu masuk kelas kami yang juga tidak jelas, kami selalu berjumpa dengannya setiap hari.
Nah, saat jajan adalah saat terindah pada masa kecil. Tidak semua kami memiliki uang ajan yang cukup untuk membeli es dan mie goreng. Beberapa anak tidak diberikan jajan oleh orang tua mereka. Bagaimana mau kasih jajan anak, untuk kebutuhan lain saja sulit? Namun beberapa anak berinisiatif mencari uang sendiri, menjual kelapa, membantu di sawah/kebun, membantu membawa padi ke pabrik, mencari ikan, dan lainnya. Uang itulah yang menjadi uang jajan. Jangan berharap orang tua akan memberikan. Itu hil yang mustahal, atau hal yang mustahil terjadi.
Namun meskipun tidak ada uang, bukan berarti tidak bisa makan es atau makan mie goreng. Inilah bukti kasih sayang dan pertemanan diantara anak-anak. semua orang datang dan mengerumuni penjual jajanan. Hanya beberapa orang yang membeli. Namun es yang dibelinya tidak pernah dimakan sendiri, tapi berbagi dengan teman yang lain. Sebuah es yang pajang sejengkal bisa dinikmati oleh tiga hingga lima orang. Sebungkus kecil mie goreng bisa dimakan oleh dua sampai empat orang. Semuanya kebagian merasakan es dan mie goreng.
Yang paling seru adalah cara berbaginya. Sebuah es yang dibungkus plastik di buka dengan mulut di bagain atasnya. Lalu es dikeluarkan sedikit, 2-3 cm lalu digigit untuk dipatahkan. Es yang sudah patah di dalam mulut dikeluarkan kembali ke telapak tangan dan diberikan kepada teman. Kalau ada lima orang, maka lima kali pula es itu digigit dan dipatahkan kemudian dibagikan kepada teman. Saat es itu diterima, warnanya sudah sedikit berubah. Bagaimana tidak? es yang mulai mencait tersebut telah dipegang tanpa alas oleh tangan yang sejak pagi bermain tanah dan debu. Jadinya, apapun warna es, akan berubah menjadi hitam kecoklatan. Dan itu sangat nikmat. Anda yang tidak pernah coba pasti tidak sanggup membayangkan kenikmatannya. :-)
Demikian halnya dengan mie goreng berbungkus kecil. Satu bungkusan dibawa ke kelas atau ketera sekolah yang sempit. Di sana mie berbungkus daun pisang itu dibuka dan digelas di lantai tanah. Beberapa orang segera mengerubuninya. Tangan-tangan kecil yang belum dicuci dengan bersih lalu terjulur mengambil sejumput kecil dan memakannya. Terkadang belum sampi ke mulut sebuah tangan lain menyambar dan membawa ke mulutnya. Itu adalah sebuah prestasi laur biasa. Bagaimana tidak? Sejumput mie yang ada di tangan orang bisa disambar dan dimakan! Pemiliknya marah? Not at all! malah menjadi bahan tertawaan besama.
Itulah pengalaman masa kecil, 25 tahun yang lalu. Sekarang semua sudah berubah. Anak-anak, di mana saja, kapan saja, selulu menciptakan sejarahnya sendiri. Di manapun dan bagaimanapun, masa kecil adalah sebuah kenangan. Dan dari sana kita belajar arti kehidupan.
Abu Rokok dari Jendela Mobil
Saya bersua dengan seorang teman lama. Teman yang dulu kami sama-sama bekerja di sebuah perusahaan batu bata. Sebagai buruh. Kini ia sudah meninggalkan Banda Aceh dan bekerja di sebuah perusahaan lain. Saya tidak tahu apakah posisinya masih sebagai buruh atau sudah naik kelas, jadi bos. Atau setidaknya jadi asisten bos. Tapi bukan itu topik bahasan dalam tulisan ini.
Ia sedang mencari pembeli mobilnya. Sebuah mobil sedan mengkilat berwarna hitam. Sudah dua hari di Banda Aceh, ia belum menemukan pembelinya. Padahal ia mau menjual dengan harga yang lebih murah dari pasaran, bahkan ia mau kasih diskon besar, katanya. Tapi belum ada yang berminat. Sebab jual mobil tidak sama dengan jual emas, kapan saja di mana saja mudah. Ia nampak sedikit susah, karena ia punya waktu hanya sampai lusa, dua hari setelah kami berjumpa.
Semula saya heran kenapa ia mau menjual mobilnya. Padahal dari ceritanya, ia baru saja membeli mobil itu. Apakah karena ia tidak suka mobilnya? Apakah karena sudah ketinggalan zaman? Apakah karena sudah tidak tidak butuh lagi? Tidak mungkin, ia baru saja membeli mobil. Entah kalau orang terlalu kaya. Tapi ia orang biasa saja yang tidak mungkin gonta-ganti mobil secepat membalik telapak tangan. Saya tanyai dia kenapa.
Syahdan, katanya memulai kisah. Dua bulan yang lalu ia dan anak kecilnya yang berusia belum genap empat tahun jalan-jalan sore di dalam kota. Mereka memilih jalan-jalan dengan sepeda motor, tidak dengan mobil. Lebih meyenangakan dan santai, katanya. Anaknya duduk di posisi depan kenderaan. Istrinya di belakang. Seperti umumnya anak-anak yang duduk di depan, ia tidak mengenakan helm untuk si anak, tidak juga kaca mata untuk menghindari debu atau cahaya. Mereka jalan pelan-pelan. Maklum, jalan untuk main-main saja.
Pada sebuah jalan lurus yang sedikit sepi, sebuah mobil melintasi mereka. Sebuah mobil Kijang berwarna silver. Dia tidak tahu punya siapa, atau siapa yang ada di dalamnya. Pasti pemiliknya, atau punya hubungan dengan pemilikknya. Atau pencuri yang sedang melarikan mobil hasil curiannya. Terserah, siapapun pemiliknya tidak penting. Yang pasti seorang manusia yang memiliki akal budi, entah digunakan atau tidak wallahu’a’lam.
Persis berada beriringan dengan sepeda motonya, kaca jendela mobil terbuka. Sebuah tangan putih berjam tangan kecil berwarna kuning keemasan keluar dari jendela itu. Hanya sedikit saja, tidak nampak seluruh lengan, apalagi muka. Mungkin lebih sedikit dari pergelangan tangan hingga nampak juga jam yang ia kenakan. Tidak jelas juga apakah tangan laki-laki atau perempuan. Dan, itu juga tidak penting.
Masalahnya adalah di sela-sela tangan putih berjam tangan keemasan itu terselip sebatang rokok berwarna putih yang diujungnya merah terbakar dan berabu. Dengan sangat terampil dan profesional salah satu jari tangan itu mematik batangan putih tersbut. Entah terlalu keras, bara api dan abu rokok itu jatuh semua berpisah dari batangnya. Hembusan angin membuat api itu terbang dengan cepat. Dan lalu, tiba-tiba, hinggap di mata anak teman saya yang saat itu ada di sisi kiri mobil di bagian pinggir jalan. “Aduh…..” si anak berteriak sambil reflek menutup dan mengucek mata kirnya. Sementara mobil terus berlalu entah ke mana.
Teman saya berhenti dan menyanyakan ada apa kepada anak saya. Ia mengatakan abu rokok orang yang dalam mobil masuk kedalam matanya. Dia tidak sepat menghindar karena sangat dekat dan sangat cepat. Kejadiannya berlngasung tiba-tiba dan sama sekali tidak dapat diprediksi. Namun si anak melihat tangan dari balik jendela mobil memetik api, lalu api itu pula yang masuk ke dalam matanya.
Ia melihat mata anaknya memerah dan segera mencuci dengan air mineral yang dibawa. Namun mata itu tetap saya memerah. Ia mengatakan pada anaknya itu tidak masalah, sebab nanti juga akan sembuh. Dan anak kecil itu mengerti dan berhenti menangis kesakitan. Mereka pulang ke rumah, apalagi hari sudah mulai senja. Di rumah ia memberikan obat steril mata yang banyak dijual di toko obat. Mungkin itu iritasi ringan karena debu saja. Dia begitu yakin.
Nyatanya, sepanjang malam si anak mengeluh sakit dan mengucek matanya. Kataya perih dan sakit. Ia kemudian membawa si anak ke dokter, malam-malam. Dokter memberinya obat, sebungkus pil yang harus diminum oleh sianak. Memberikan obat tetes yang harus diteteskan ke mata si anak. Pil boleh pakai malam ini, obat tetes mulai besok, kata dokter. Dan si anak bisa tidur dengan tenang malam itu.
Besoknya ia mengeluh sakit lagi. Mengatakan matanya perih. Hari itu juga teman saya membawa anaknya ke puskesmas. Setelah diperiksa tersenyata ada masalah dengan matanya. Harus dibawa ke rumah sakit. Sebab hanya di sana ada dokter spesialis mata. Hari itu juga ia membawa si anak ke sana. Setelah diperiksa, teman saya mendapat kabar yan kurang sedap. Matanya harus dioperasi, operasi besar. Untuk sementara si dokter memberikan obat sampai hari operasi tiba. Teman saya menjelaskan masalah penyakit anaknya, namun saya tidak cukup memahami.
Dan hari operasi itu hampir tiba. Ia butuh uang besar, seperti yang dokter kabarkan. Ia harus menjual mobilnya. Dan sekarang, sambil minum kopi bersama saya, ia menunggu pembelinya. Di mana pembuang abu rokok dari jendela mobil? Mungkin ia sedang mematik api rokok di tempat lain. Entahlah.
***
Hati-hatilah dengan apa yang kita lakukan. Terkadang bagi kita iseng, sederhana, asal-asalan, tapi bagi orang menjadi sebuah petaka, musibah yang menghancurkan, bahkan menjadi penderitaan sepanjang hidupnya. Dan kalau ini terjadi, kutukan, cercaan, dan dosa, akan mengalir ke rekening amal kita sepanjang masa. Na’uzubillah.
Ia sedang mencari pembeli mobilnya. Sebuah mobil sedan mengkilat berwarna hitam. Sudah dua hari di Banda Aceh, ia belum menemukan pembelinya. Padahal ia mau menjual dengan harga yang lebih murah dari pasaran, bahkan ia mau kasih diskon besar, katanya. Tapi belum ada yang berminat. Sebab jual mobil tidak sama dengan jual emas, kapan saja di mana saja mudah. Ia nampak sedikit susah, karena ia punya waktu hanya sampai lusa, dua hari setelah kami berjumpa.
Semula saya heran kenapa ia mau menjual mobilnya. Padahal dari ceritanya, ia baru saja membeli mobil itu. Apakah karena ia tidak suka mobilnya? Apakah karena sudah ketinggalan zaman? Apakah karena sudah tidak tidak butuh lagi? Tidak mungkin, ia baru saja membeli mobil. Entah kalau orang terlalu kaya. Tapi ia orang biasa saja yang tidak mungkin gonta-ganti mobil secepat membalik telapak tangan. Saya tanyai dia kenapa.
Syahdan, katanya memulai kisah. Dua bulan yang lalu ia dan anak kecilnya yang berusia belum genap empat tahun jalan-jalan sore di dalam kota. Mereka memilih jalan-jalan dengan sepeda motor, tidak dengan mobil. Lebih meyenangakan dan santai, katanya. Anaknya duduk di posisi depan kenderaan. Istrinya di belakang. Seperti umumnya anak-anak yang duduk di depan, ia tidak mengenakan helm untuk si anak, tidak juga kaca mata untuk menghindari debu atau cahaya. Mereka jalan pelan-pelan. Maklum, jalan untuk main-main saja.
Pada sebuah jalan lurus yang sedikit sepi, sebuah mobil melintasi mereka. Sebuah mobil Kijang berwarna silver. Dia tidak tahu punya siapa, atau siapa yang ada di dalamnya. Pasti pemiliknya, atau punya hubungan dengan pemilikknya. Atau pencuri yang sedang melarikan mobil hasil curiannya. Terserah, siapapun pemiliknya tidak penting. Yang pasti seorang manusia yang memiliki akal budi, entah digunakan atau tidak wallahu’a’lam.
Persis berada beriringan dengan sepeda motonya, kaca jendela mobil terbuka. Sebuah tangan putih berjam tangan kecil berwarna kuning keemasan keluar dari jendela itu. Hanya sedikit saja, tidak nampak seluruh lengan, apalagi muka. Mungkin lebih sedikit dari pergelangan tangan hingga nampak juga jam yang ia kenakan. Tidak jelas juga apakah tangan laki-laki atau perempuan. Dan, itu juga tidak penting.
Masalahnya adalah di sela-sela tangan putih berjam tangan keemasan itu terselip sebatang rokok berwarna putih yang diujungnya merah terbakar dan berabu. Dengan sangat terampil dan profesional salah satu jari tangan itu mematik batangan putih tersbut. Entah terlalu keras, bara api dan abu rokok itu jatuh semua berpisah dari batangnya. Hembusan angin membuat api itu terbang dengan cepat. Dan lalu, tiba-tiba, hinggap di mata anak teman saya yang saat itu ada di sisi kiri mobil di bagian pinggir jalan. “Aduh…..” si anak berteriak sambil reflek menutup dan mengucek mata kirnya. Sementara mobil terus berlalu entah ke mana.
Teman saya berhenti dan menyanyakan ada apa kepada anak saya. Ia mengatakan abu rokok orang yang dalam mobil masuk kedalam matanya. Dia tidak sepat menghindar karena sangat dekat dan sangat cepat. Kejadiannya berlngasung tiba-tiba dan sama sekali tidak dapat diprediksi. Namun si anak melihat tangan dari balik jendela mobil memetik api, lalu api itu pula yang masuk ke dalam matanya.
Ia melihat mata anaknya memerah dan segera mencuci dengan air mineral yang dibawa. Namun mata itu tetap saya memerah. Ia mengatakan pada anaknya itu tidak masalah, sebab nanti juga akan sembuh. Dan anak kecil itu mengerti dan berhenti menangis kesakitan. Mereka pulang ke rumah, apalagi hari sudah mulai senja. Di rumah ia memberikan obat steril mata yang banyak dijual di toko obat. Mungkin itu iritasi ringan karena debu saja. Dia begitu yakin.
Nyatanya, sepanjang malam si anak mengeluh sakit dan mengucek matanya. Kataya perih dan sakit. Ia kemudian membawa si anak ke dokter, malam-malam. Dokter memberinya obat, sebungkus pil yang harus diminum oleh sianak. Memberikan obat tetes yang harus diteteskan ke mata si anak. Pil boleh pakai malam ini, obat tetes mulai besok, kata dokter. Dan si anak bisa tidur dengan tenang malam itu.
Besoknya ia mengeluh sakit lagi. Mengatakan matanya perih. Hari itu juga teman saya membawa anaknya ke puskesmas. Setelah diperiksa tersenyata ada masalah dengan matanya. Harus dibawa ke rumah sakit. Sebab hanya di sana ada dokter spesialis mata. Hari itu juga ia membawa si anak ke sana. Setelah diperiksa, teman saya mendapat kabar yan kurang sedap. Matanya harus dioperasi, operasi besar. Untuk sementara si dokter memberikan obat sampai hari operasi tiba. Teman saya menjelaskan masalah penyakit anaknya, namun saya tidak cukup memahami.
Dan hari operasi itu hampir tiba. Ia butuh uang besar, seperti yang dokter kabarkan. Ia harus menjual mobilnya. Dan sekarang, sambil minum kopi bersama saya, ia menunggu pembelinya. Di mana pembuang abu rokok dari jendela mobil? Mungkin ia sedang mematik api rokok di tempat lain. Entahlah.
***
Hati-hatilah dengan apa yang kita lakukan. Terkadang bagi kita iseng, sederhana, asal-asalan, tapi bagi orang menjadi sebuah petaka, musibah yang menghancurkan, bahkan menjadi penderitaan sepanjang hidupnya. Dan kalau ini terjadi, kutukan, cercaan, dan dosa, akan mengalir ke rekening amal kita sepanjang masa. Na’uzubillah.
Saturday, 17 April 2010
Mati Membeku Karena Takut
Saat masih anak-anak, kami suka mandi di kali. Saya kira semua orang yang punya latar belakang kampung dengan banyak kali di dalamnya pasti suka mandi. Biasanya kami mandi dari pagi sampai sore, sampai mendekati azan maghrib. Saat keluar dari kali pandangan berasap, mata merah, tangan pucat, ujung jari sudah mengerut seperti mayat. Dua tangan disilangkan ke dada menahan dingin gemetaran. Meskipun kampungku bukan dataran tinggi, namun kalau sudah mandi berjam-jam tetap saja dingin. Apalagi sore hari begitu keluar dari kali langsung diterpa dengan angin pegunungan yang sejuk.
Mandi anak-anak bukanlah mandi biasa. Mandi yang biasanya dilakukan untuk membersihakn kotoran dan menyegarkan badan. Kalau anak-anak mandi adalah permainan. Maklum di kampung tidak ada playgroup dan TK. Jadinya mandi di kali yang airnya belum tentu bersih adalah TK dan Playgroup. Tidak ada guru, tidak ada pembimbing. Semua orang bergembira dan menikmatinya. Apalgi kalau sedang main som-som batei; sebuah batu disembunyikan di tempat rahasia di dalam air, lalu teman-teman mencarinya. Siapa yang memperoleh batu itu, ia berhak menyembunyikan kembali. Permainan ini membuat kami harus terus menyelam dan berburu batu di dalam air.
Meskipun mandi di kali ini menyenangkan, namun bukan tanpa halangan. Tempat mandi yang kami pakai juga dipakai oleh orang dewasa. Beberapa orang dewasa mengalah kalau melihat kami sedang mandi dengan mencari pemandian lain yang ada di sepanjang kali. Namun beberapa yang lain langsung marah-marah, melemparkan kayu ke dalam lair dan menyuruh kai berhenti. Sebab kalau kami sedang mandi maka air menjadi kotor. Air menjadi coklat berlumpur. membuat orang tidak nyaman untuk mandi. Makanya mereka memarahi dan menyuruh kami untuk segera berhenti. Namun namanya anak-anak, begitu di suruh langsung berhenti, namun kalau yang menyuruh sudah pulang, kami mandi lagi.
Pada suatu hari kami mandi di kali belakang masjid. Kali ini dipakai orang dewasa untuk mandi sore dan jamaah shalat maghrib untuk berwudhu. Makanya mereka sangat marah kalau mendapatkan air kumuh ketika tiba di sana. Seorang penjaga masjid selalu mewanti-wanti kami agara jangan mandi sampai sore. Sebab sore hari orang mau mandi dan berwudhu. Namun kami tetap tidak peduli. Kalau mulai mandi siang, biasanya berhenti petang, ketika beberapa orang dewasa sudah tiba dan memaksa kami keluar dari kali dengan mata memerah.
Nah, satu hari kami kena gatah dari kelakuan kami sendiri. Saat itu kami mulai mandi dari jam 10.00 pagi. Saat azan zuhur kami masih mandi. Penjaga mesjid datang ke kali. Kami bersembunyi dibalik tanaman kangkung yang banyak tumbuh di sisi kanan dan kiri kali. Penjaga masjid tidak jadi berwudhu di situ karena air kotor, ia langsung pergi. Di depan masjid ada sebuah kali lain yang bisa dipakai buat wudhu, namun tidak bisa dipakai untuk mandi. Setelah ia menghilang kami melanjutkan mandi.
Setelah shalat zuhur, penjaga masjid kembali ke kali dengan sebuah parang yang telah diasah mengkilat. Sesekali ia menerawangkan ke arah matahari hingga menimbulkan cahaya yang menunjukkan parang itu sangat tajam. Kami sangat ketakutan melihatnya. Hampir serentak kami langsung bersembunyi di balik tanaman kangkung. Badan kami ada dalam air, tapi kepala keluar untuk bernafas. Dari balik tanaman kangkung liar yang lebat kami mengira kakek tua penjaga masjid tidak tahu kami ada di sana. Kami menunggu sampai ia pergi untuk kemudian melanjutkan mandi dan bergembira.
Celakanya, ia tidak pulang-pulang juga. Malah, dengan parang di tangannya, ia membersihkan rerumputan di tepi kali yang dekat dengan masjid. Sesekali dia melihat ke arah tanaman kangkung di mana kami bersembunyi. Kami semakin ketakutan. Padahal saat itu kami sudah mandi empat jam. Ditambah berendam di bawah tanaman kangkung 30 menit, kami sudah mulai kedinginan. Namun untuk keluar sangat takut. takut dengan parang kakek penjaga masjid. Jadi kami bertahan di bawah tanaman kangkung menunggu sang kakek pergi yang kami tidak tahu kapan.
Tubuh sudah terasa sangat dingin. bibir sudah membiru. mata sudah memerah. saya melihat seorang teman dari balik tanaman kangkung sudah mulai menangis, tidak tahan menahan dingin. Tapi untuk keluar kami sangat takut. Takut dengan parang kakek penjaga masjid yang terus memotong rumput di tepi kali. Sementara untuk terus berendam di sana kami juga sudah tidak tahan. Apalagi saat itu hari mulai sore. Angin pengunungan menjadikan air semakin sejuk dan membuat kami semakin kedinginan. Semua kami, sepuluhan anak yang berada di balik tanaman kangkung itu terasa mulai membeku.
Tiba-tiba seorang orang dewasa datang untuk mandi. Dia lihat air sangat bersih, tidak seperti biasanya. Padahal di dekat tangga turun ke kali ada baju anak-anak. Sedikit mengherankan. bagaimana mungkin banyak baju anak-anak tetapi airnya bersih? Ia bertanya pada kakek penjaga masjid, pada kemana anak-anak? Apa mereka meletakkan baju di sini lalu mandi di tempat lain? Kakek penjaga masjid menunjukkan parangnya ke arah kami. Mengatakan kepada orang dewasa tersebut kalau kami seddang bersembunyi.
Bapak ini maklum kalau kami di sana sudah lama dan ketakutan. "Ya sudah... keluar, cepat keluar. Sudah boleh pulang." Kami yang tidak tahan lagi berendam langsung keluar dari balik tanaman kangkung. Berenang ke tepi dan naik ke darat. Semua kami sudah gemetaran menahan dingin. Mata sudah memerah dan berasap. Bibir pucat kebiru-buruan menahan dingin. Telapak tangan sudah pucat. jari-jari mengkerut. tangan disilangkan di dada mengurangi dingin. Kami ambil baju, memakainya dan lalu pulang ke rumah masing-masing tanpa biacara sepatah katapun.
Dan beberapa hari setelah itu kami tidak mandi lama-lama di kali. Takut kalau Kakek penjaga masjid menakut-nakuti kami lagi. Namun itu hanya satu atau dua minggu. Selanjutnya kebiasaan itu kembali lagi.
***
Saat kita sadar ada yang salah dengan apa yang kita lakukan, maka hati terus gundah, pikiran susah dan menderita. Padahal ada pintu maaf, kenapa tidak dipakai?
Mandi anak-anak bukanlah mandi biasa. Mandi yang biasanya dilakukan untuk membersihakn kotoran dan menyegarkan badan. Kalau anak-anak mandi adalah permainan. Maklum di kampung tidak ada playgroup dan TK. Jadinya mandi di kali yang airnya belum tentu bersih adalah TK dan Playgroup. Tidak ada guru, tidak ada pembimbing. Semua orang bergembira dan menikmatinya. Apalgi kalau sedang main som-som batei; sebuah batu disembunyikan di tempat rahasia di dalam air, lalu teman-teman mencarinya. Siapa yang memperoleh batu itu, ia berhak menyembunyikan kembali. Permainan ini membuat kami harus terus menyelam dan berburu batu di dalam air.
Meskipun mandi di kali ini menyenangkan, namun bukan tanpa halangan. Tempat mandi yang kami pakai juga dipakai oleh orang dewasa. Beberapa orang dewasa mengalah kalau melihat kami sedang mandi dengan mencari pemandian lain yang ada di sepanjang kali. Namun beberapa yang lain langsung marah-marah, melemparkan kayu ke dalam lair dan menyuruh kai berhenti. Sebab kalau kami sedang mandi maka air menjadi kotor. Air menjadi coklat berlumpur. membuat orang tidak nyaman untuk mandi. Makanya mereka memarahi dan menyuruh kami untuk segera berhenti. Namun namanya anak-anak, begitu di suruh langsung berhenti, namun kalau yang menyuruh sudah pulang, kami mandi lagi.
Pada suatu hari kami mandi di kali belakang masjid. Kali ini dipakai orang dewasa untuk mandi sore dan jamaah shalat maghrib untuk berwudhu. Makanya mereka sangat marah kalau mendapatkan air kumuh ketika tiba di sana. Seorang penjaga masjid selalu mewanti-wanti kami agara jangan mandi sampai sore. Sebab sore hari orang mau mandi dan berwudhu. Namun kami tetap tidak peduli. Kalau mulai mandi siang, biasanya berhenti petang, ketika beberapa orang dewasa sudah tiba dan memaksa kami keluar dari kali dengan mata memerah.
Nah, satu hari kami kena gatah dari kelakuan kami sendiri. Saat itu kami mulai mandi dari jam 10.00 pagi. Saat azan zuhur kami masih mandi. Penjaga mesjid datang ke kali. Kami bersembunyi dibalik tanaman kangkung yang banyak tumbuh di sisi kanan dan kiri kali. Penjaga masjid tidak jadi berwudhu di situ karena air kotor, ia langsung pergi. Di depan masjid ada sebuah kali lain yang bisa dipakai buat wudhu, namun tidak bisa dipakai untuk mandi. Setelah ia menghilang kami melanjutkan mandi.
Setelah shalat zuhur, penjaga masjid kembali ke kali dengan sebuah parang yang telah diasah mengkilat. Sesekali ia menerawangkan ke arah matahari hingga menimbulkan cahaya yang menunjukkan parang itu sangat tajam. Kami sangat ketakutan melihatnya. Hampir serentak kami langsung bersembunyi di balik tanaman kangkung. Badan kami ada dalam air, tapi kepala keluar untuk bernafas. Dari balik tanaman kangkung liar yang lebat kami mengira kakek tua penjaga masjid tidak tahu kami ada di sana. Kami menunggu sampai ia pergi untuk kemudian melanjutkan mandi dan bergembira.
Celakanya, ia tidak pulang-pulang juga. Malah, dengan parang di tangannya, ia membersihkan rerumputan di tepi kali yang dekat dengan masjid. Sesekali dia melihat ke arah tanaman kangkung di mana kami bersembunyi. Kami semakin ketakutan. Padahal saat itu kami sudah mandi empat jam. Ditambah berendam di bawah tanaman kangkung 30 menit, kami sudah mulai kedinginan. Namun untuk keluar sangat takut. takut dengan parang kakek penjaga masjid. Jadi kami bertahan di bawah tanaman kangkung menunggu sang kakek pergi yang kami tidak tahu kapan.
Tubuh sudah terasa sangat dingin. bibir sudah membiru. mata sudah memerah. saya melihat seorang teman dari balik tanaman kangkung sudah mulai menangis, tidak tahan menahan dingin. Tapi untuk keluar kami sangat takut. Takut dengan parang kakek penjaga masjid yang terus memotong rumput di tepi kali. Sementara untuk terus berendam di sana kami juga sudah tidak tahan. Apalagi saat itu hari mulai sore. Angin pengunungan menjadikan air semakin sejuk dan membuat kami semakin kedinginan. Semua kami, sepuluhan anak yang berada di balik tanaman kangkung itu terasa mulai membeku.
Tiba-tiba seorang orang dewasa datang untuk mandi. Dia lihat air sangat bersih, tidak seperti biasanya. Padahal di dekat tangga turun ke kali ada baju anak-anak. Sedikit mengherankan. bagaimana mungkin banyak baju anak-anak tetapi airnya bersih? Ia bertanya pada kakek penjaga masjid, pada kemana anak-anak? Apa mereka meletakkan baju di sini lalu mandi di tempat lain? Kakek penjaga masjid menunjukkan parangnya ke arah kami. Mengatakan kepada orang dewasa tersebut kalau kami seddang bersembunyi.
Bapak ini maklum kalau kami di sana sudah lama dan ketakutan. "Ya sudah... keluar, cepat keluar. Sudah boleh pulang." Kami yang tidak tahan lagi berendam langsung keluar dari balik tanaman kangkung. Berenang ke tepi dan naik ke darat. Semua kami sudah gemetaran menahan dingin. Mata sudah memerah dan berasap. Bibir pucat kebiru-buruan menahan dingin. Telapak tangan sudah pucat. jari-jari mengkerut. tangan disilangkan di dada mengurangi dingin. Kami ambil baju, memakainya dan lalu pulang ke rumah masing-masing tanpa biacara sepatah katapun.
Dan beberapa hari setelah itu kami tidak mandi lama-lama di kali. Takut kalau Kakek penjaga masjid menakut-nakuti kami lagi. Namun itu hanya satu atau dua minggu. Selanjutnya kebiasaan itu kembali lagi.
***
Saat kita sadar ada yang salah dengan apa yang kita lakukan, maka hati terus gundah, pikiran susah dan menderita. Padahal ada pintu maaf, kenapa tidak dipakai?
Friday, 16 April 2010
Anak Cina Bantu Bencana
Tahun-tahun awal konflik di Aceh, banyak pengungsian tyang terjadi di mana-mana. Sebagian mengungsi karena memang terjadi kontak senjata di kampung mereka hingga sangat tidak aman jika mereka ada di sana. Sebagain lagi mengungsi karena memang disuruh mengungsi oleh pihak yang berkepentingan, dua belah pihak. Motifnya sama saja, mereka ingin mengambil apa-saja yang ditinggalkan pengungsi di rumahnya. Uang, emas, dan barang berharga yang lain. Kalau mereka menemukan sesuatu, maka kampung itu akan selamat, Kalau tidak, maka kampung itu akan dibumihanguskan. Setidaknya beberapa rumah. Alasannya bisa macam-macam, konslet listrik, kontak senjata, minyak tanah tumpah, atau apalah.Itu perkara gampang!
Sebagai mahasiswa waktu itu, kami tidak hanya melihat itu. Apapun alasan yang diberikan tetap saja tidak menyelesaikan masalah. Banyak perempuan dan anak yang menderita di lokasi pengungsian. Banyak laki-laki dan perempuan yang tak tersalurkan kebutuhan dasar mereka. Banyak anak-anak yang tidak dapat makan dan belajar. Banyak orang tua tidak dapat bekerja untuk menghidupi anak dan keluarganya. Belum lagi yang sakit dan menderita, yang mati dan jatuh sia-sia. Ada juga yang… entahlah, di sana ada sejuta cerita.
Kami menggalang dana, mengumpulkan apa saja untuk mereka. Saya bukan orang yang mengomandoi aksi. Sebagai mahasiswa biasa saya hanya ikut-ikutan saja. Kami melakukan berbagai cara mengumpulkan uang, makanan, pakaian, buku, apa saja yang mungkin dibutuhkan di lokasi pengungsian. Pasti tidak akan mencukupi kebutuhan yang besar di sana, namun setidaknya sedikit meringankan beban mereka. Pasti apa yang akan kami sumbangkan tidak akan menghentikan mobilisasi masyarakat oleh pihak-pihak yang berperang, namun setidaknya mereka yang sudah mengungsi bisa bertahan hidup dan bisa kembali ke kampungnya suatu waktu.
Saya menjadi panitia pengumpul sumbangan uang di simpang lima, simpangan terbesar dan terpadat di Jalan Raya Kota Banda Aceh. Dalam terik matahari, dengan jaket biru yang sudah berhari-hari tidak dicuci, sebuah kotak mie instan di tangan, saya menengadah pada pemakai jalan yang lewat. Tulisan di depan yang mengatakan sumbangan untuk pengungsi cukup mewakili pengguna jalan mendapatkan informasi. Mendekati mereka cukup dengan sebuah senyuman saja. Beberapa di antara mereka mengulurkan tangan memberikan sisa belanjaan. Beberapa yang lain membarikan uang ribuan. Ada juga yang hanya uang receh yang mungkin tidak laku lagi. Banyak macam orang.
Tapi matahari sangat terik. Kami tidak punya makanan dan minuman, tidak juga punya uang untuk membelinya. Karena sumbangan yang kami cari akan diberikan kepada pengungsi, kami tidak berani mengambilnya. Biasanya kami patungan uang sendiri untuk membeli nasi dan makanan untuk kami sendiri. Sebab uang yang kami dapatkan benar-benar akan diberikan kepada mereka yang lebih menderita di bawah tenda sementara di kamp-kamp pengungsian. Kami cukup makan sebungkus berdua, dan itupun sudah sangat kenyang. Jadi untuk makan tetap mengeluarkan uang sendiri.
Dalam terik mata hari yang membakar, seorang anak perempuan Cina yang putih berambut lurus kekuning-kuningan datang dengan sepeda merahnya. Di tangan kecilnya ada sebuah bungkusan sebesar badannya. Agak sulit juga ia mendayung sepda dengan membawa bungkusan itu. Namun itu tetap berusaha menelusuri jalan raya yang saat itu sedang sangat padat. Sejak awal saya melihatnya ia mengarah pada saya yang ada di seberang jalan. Dan ia terus berusaha memotong jalan menuju pada saya. Butuh beberapa menit baginya untuk bisa melakukan itu, sampai ia ada di hdapan saya.
“Bang, kata Bapak ini bukan untuk pengungsi, tapi ini untuk abang dan teman-teman.”
“Ohya? terima kasih dek.” Saya jawab demikian. Dia langsung berlalu. Selama ini tidak ada orang yang melakukan itu. Saat memberikan sumbangan seharusnya ia menyumbang untuk korban becana. Tapi ia malah mengikuti pesan bapaknya, memberikan sumbangan untuk panitia. Saya yang sudah sangat lapar mebayangkan apa isi di dalamnya. Saya membawa ke tempat teman-teman berkumpul di bawah sebuah pohon. Menceritakan apa yang terjadi baru saja. Dan tidak sabar kami membuka bungkusan itu.
Ternyata, sekotak kecil rokok Commondore yang saat itu sedang sangat disukai mahasiswa. Dan teman-teman laki-laki berebut. Kemudian, ada juga beberapa bungkus permen dan roti yang disukai teman-teman perempuan. Dan dibalik makanan itu ada sebuah aplop merah putih. Saya membuka. Ada selembar uang kertas sepuluh ribu tiga lebar. Di dalamnya dan sebuah tulisan. “Untuk beli nasi siang panitia.”
Wah… kami tidak menyangka. Ternyata ada juga yang berfikir untuk panitia. Terima kasih pak Cina. Kami memang sedang berfikir bagaimana makan nasi siang kali ini. Dan uang itu membuat kami bisa makan enak kali ini.
Sebagai mahasiswa waktu itu, kami tidak hanya melihat itu. Apapun alasan yang diberikan tetap saja tidak menyelesaikan masalah. Banyak perempuan dan anak yang menderita di lokasi pengungsian. Banyak laki-laki dan perempuan yang tak tersalurkan kebutuhan dasar mereka. Banyak anak-anak yang tidak dapat makan dan belajar. Banyak orang tua tidak dapat bekerja untuk menghidupi anak dan keluarganya. Belum lagi yang sakit dan menderita, yang mati dan jatuh sia-sia. Ada juga yang… entahlah, di sana ada sejuta cerita.
Kami menggalang dana, mengumpulkan apa saja untuk mereka. Saya bukan orang yang mengomandoi aksi. Sebagai mahasiswa biasa saya hanya ikut-ikutan saja. Kami melakukan berbagai cara mengumpulkan uang, makanan, pakaian, buku, apa saja yang mungkin dibutuhkan di lokasi pengungsian. Pasti tidak akan mencukupi kebutuhan yang besar di sana, namun setidaknya sedikit meringankan beban mereka. Pasti apa yang akan kami sumbangkan tidak akan menghentikan mobilisasi masyarakat oleh pihak-pihak yang berperang, namun setidaknya mereka yang sudah mengungsi bisa bertahan hidup dan bisa kembali ke kampungnya suatu waktu.
Saya menjadi panitia pengumpul sumbangan uang di simpang lima, simpangan terbesar dan terpadat di Jalan Raya Kota Banda Aceh. Dalam terik matahari, dengan jaket biru yang sudah berhari-hari tidak dicuci, sebuah kotak mie instan di tangan, saya menengadah pada pemakai jalan yang lewat. Tulisan di depan yang mengatakan sumbangan untuk pengungsi cukup mewakili pengguna jalan mendapatkan informasi. Mendekati mereka cukup dengan sebuah senyuman saja. Beberapa di antara mereka mengulurkan tangan memberikan sisa belanjaan. Beberapa yang lain membarikan uang ribuan. Ada juga yang hanya uang receh yang mungkin tidak laku lagi. Banyak macam orang.
Tapi matahari sangat terik. Kami tidak punya makanan dan minuman, tidak juga punya uang untuk membelinya. Karena sumbangan yang kami cari akan diberikan kepada pengungsi, kami tidak berani mengambilnya. Biasanya kami patungan uang sendiri untuk membeli nasi dan makanan untuk kami sendiri. Sebab uang yang kami dapatkan benar-benar akan diberikan kepada mereka yang lebih menderita di bawah tenda sementara di kamp-kamp pengungsian. Kami cukup makan sebungkus berdua, dan itupun sudah sangat kenyang. Jadi untuk makan tetap mengeluarkan uang sendiri.
Dalam terik mata hari yang membakar, seorang anak perempuan Cina yang putih berambut lurus kekuning-kuningan datang dengan sepeda merahnya. Di tangan kecilnya ada sebuah bungkusan sebesar badannya. Agak sulit juga ia mendayung sepda dengan membawa bungkusan itu. Namun itu tetap berusaha menelusuri jalan raya yang saat itu sedang sangat padat. Sejak awal saya melihatnya ia mengarah pada saya yang ada di seberang jalan. Dan ia terus berusaha memotong jalan menuju pada saya. Butuh beberapa menit baginya untuk bisa melakukan itu, sampai ia ada di hdapan saya.
“Bang, kata Bapak ini bukan untuk pengungsi, tapi ini untuk abang dan teman-teman.”
“Ohya? terima kasih dek.” Saya jawab demikian. Dia langsung berlalu. Selama ini tidak ada orang yang melakukan itu. Saat memberikan sumbangan seharusnya ia menyumbang untuk korban becana. Tapi ia malah mengikuti pesan bapaknya, memberikan sumbangan untuk panitia. Saya yang sudah sangat lapar mebayangkan apa isi di dalamnya. Saya membawa ke tempat teman-teman berkumpul di bawah sebuah pohon. Menceritakan apa yang terjadi baru saja. Dan tidak sabar kami membuka bungkusan itu.
Ternyata, sekotak kecil rokok Commondore yang saat itu sedang sangat disukai mahasiswa. Dan teman-teman laki-laki berebut. Kemudian, ada juga beberapa bungkus permen dan roti yang disukai teman-teman perempuan. Dan dibalik makanan itu ada sebuah aplop merah putih. Saya membuka. Ada selembar uang kertas sepuluh ribu tiga lebar. Di dalamnya dan sebuah tulisan. “Untuk beli nasi siang panitia.”
Wah… kami tidak menyangka. Ternyata ada juga yang berfikir untuk panitia. Terima kasih pak Cina. Kami memang sedang berfikir bagaimana makan nasi siang kali ini. Dan uang itu membuat kami bisa makan enak kali ini.
Thursday, 15 April 2010
KB Gaya Baru: Genocide!
Ada satu negeri, entah berantah. Namu saya tidak tahu di mana letakknya. Presiden kedua negeri itu bernama Suwarto. Dia memperkenalkan program Keluarga Berencana pada masyarakatnya untuk mengatur laju pertumbuhan penduduk. Katanya, dengan dua anak saja keluarga bisa bahagia. Untuk apa banyak anak kalau kita tidak dapat mengurusnya. Umat Bangsa itu memprotes, sebab katanya, itu mengatur kehendak Tuhan. Masalah anak adalah masalah tuhan. Banyak anak banyak rejeki, demikian sebuah pomeo yang berkembang dalam masyarakat. Suwarto tidak mau menyerah. Ia mengajak ulama untuk memasukkan ayat-ayat, mengumpulkan hadits-hadits, agar KB menjadi halal, dan bahkan, dianjurkan dalam agama. Dan itu berhasil.
Kemudian Suwarto digantikan oleh sebuah era baru. Celakanya pertumbuhan penduduk bangsa itu demikian cepatnya. Ada keluarga melahirkan anak setiap tahun. Ada yang hanya mau melahirkan anak tetapi tidak mau mengasuh dan membesarkannya. Jadinya, setelah dilahirkan dibuang di tong sampah, di teras rumah, di kolong jembatan, di sungai, dan di mana-mana. Mereka hanya mau bagian enaknya saja. Jadinya, ada akan kecil di mana-mana yang tidak tahu siapa orang tuanya.
Pemerintah negeri itu bingung, bagaimana menertibkan laju pertumbuhan penduduk ini? Program KB ala Suwarto sepertinya tidak cocok lagi. Kalau disuruh berhenti melakukan hubungan seksual nanti dianggap melanggar HAM dan akan dicap jelek oleh negara Paman Cam. Apalagi kalau ada pemotongan dan penutupan bagian tertentu, wah… pasti tidak mungkin dilakukan. Tapi masalahnya, bagian itu pula yang menjadikan orang semakin banyak, semakin berkembang. Sementara masalah yang ditimbulkan dari laju pertumbuhan yang cepat ini semakin banyak dan kompleks pula. Bagaimana caranya?
Setelah berembuk, berminggu-minggu, pemerintah merumuskan sebuah program dengan melakukan sebuah praktik soft genocide, menumpas masyarakat yang terus melaju kencang dengan cara lembut dan dilegalkan undang-undang. Program ini melibatkan semua instansi vital di negara yang memiliki hubungan dekat dengan masyarakat yang memiliki “kesalahan”. Kepolisian, Kehakiman, Kedokteran dan Polisi Pamong Praja.
Kepolisian membunuh dengan cara lembut. Menembak orang yang dianggap bersalah dan melarikan diri. Kalau tidak mau melarikan diri diberikan kesempatan unhtuk melarikan diri lalu ditembak. Tidak ada balasan untuk polisi, sebab ia punya undang-undang sendiri. Kalau melarikan diri berikan tembakan peringatan, kalau dia tidak berhenti, tembak saja. “Saya sudah berusaha menembak di bagian kaki, tapi dia mengelak hingga mengenai kepalanya” kata seorag poilisi yang sukses menjalankan perintah atasannya. Dan dia naik pangkat. Sebab pada saat penembakan dilakukan seorang buronan teroris menghilang, segera orang tersebut diidentifikasi sebagai teroris.
Seorang dokter menjalankan dengan lebih lembut lagi. Mencekik pasiennya dengan biaya yang tinggi. Dia berkata setengah berbisik, “apalah artinya uang dibandingkan kesehatan anda. Berikan saja uang itu kepada kami dan kami akan menyembuhkan anda.” Kalau rakyatnya berobat kepada dokter, maka tingkat kesembuhannya akan disesuikan dengan jumlah uang yang dikeluarkan. Pun begitu banyak juga orang yang sudah keluarkan banyak uang, namun tetap dihabisi. “Kami sudah melakukan berbagai upaya, namun takdir berkata lain, kita pasrah saja pada ketentuan yang maha kuasa.” katanya membenarkan ujicoba yang dilakukan pada tubuh pasien.
Kehakiman lain lagi. Ia menjebloskan banyak pencuri ayam dalam penjara. Kalau korupsi jangan tanggung, sebagian besar harus bisa disetor kepada sang Jaksa dan Hakim. Kalau mencuri ayam, mau setor apa? Paha Goreng? Mana mau hakim, takut kolesterolnya naik. Makanya pencuri ayam akan diberikan sanksi penjara sepuluh tahun, karena dianggap berpotensi mengambil uang negara lebih banyak lagi. Lah, uang negara yang mana? pencuri ayam di kampung kok. Jangankan uang negara, negara saja mereka tidak kenal. Tapi kalau koruptor milyaran dan triliyunan tidak masalah. Mereka bisa pelesiran ke Singapura dan main-main di sana. Sesekali si hakim dan si jaksa datang ke sana menikmati layanan dari si Koruptor.
Dan baru-baru ini Satpol PP sebuah provinsi di negara itu membunuh masyarakat yang mempertahankan sejarah bangsanya. Kata Satpol PP mereka harus menegakkan UU yang telah dibuat oleh pemerintah. Apapun resikonya akan mereka hadapi. Mereka dididik untuk membunuh, menendang, melakukan kekerasan kepada rakyat yang dipimpin oleh rajanya. Mereka dibayar untuk itu. Kalau mereka tidak melakukan kerjanya, berarti mereka makan gaji buta. Makanya mereka melakukan kekerasan, jadi gajinya halal karena mereka bekerja dengan baik.
Nah, begitulah sebuah program KB Gaya baru yang dilakukan pemerintah entah berantah. Saya tidak tahu bagaimana kelanjutannya dan bagaimana tanggapan masyarakatnya. Beberapa orang marah, beberapa orang protes, beberapa orang menghardik dan mencaci. Tapi pemerintah sudah kebal telinganya dari cacian dan protes masyarakatanya. Diam-diam berkata, “Tunggu saja, anda selanjutnya!”
Kemudian Suwarto digantikan oleh sebuah era baru. Celakanya pertumbuhan penduduk bangsa itu demikian cepatnya. Ada keluarga melahirkan anak setiap tahun. Ada yang hanya mau melahirkan anak tetapi tidak mau mengasuh dan membesarkannya. Jadinya, setelah dilahirkan dibuang di tong sampah, di teras rumah, di kolong jembatan, di sungai, dan di mana-mana. Mereka hanya mau bagian enaknya saja. Jadinya, ada akan kecil di mana-mana yang tidak tahu siapa orang tuanya.
Pemerintah negeri itu bingung, bagaimana menertibkan laju pertumbuhan penduduk ini? Program KB ala Suwarto sepertinya tidak cocok lagi. Kalau disuruh berhenti melakukan hubungan seksual nanti dianggap melanggar HAM dan akan dicap jelek oleh negara Paman Cam. Apalagi kalau ada pemotongan dan penutupan bagian tertentu, wah… pasti tidak mungkin dilakukan. Tapi masalahnya, bagian itu pula yang menjadikan orang semakin banyak, semakin berkembang. Sementara masalah yang ditimbulkan dari laju pertumbuhan yang cepat ini semakin banyak dan kompleks pula. Bagaimana caranya?
Setelah berembuk, berminggu-minggu, pemerintah merumuskan sebuah program dengan melakukan sebuah praktik soft genocide, menumpas masyarakat yang terus melaju kencang dengan cara lembut dan dilegalkan undang-undang. Program ini melibatkan semua instansi vital di negara yang memiliki hubungan dekat dengan masyarakat yang memiliki “kesalahan”. Kepolisian, Kehakiman, Kedokteran dan Polisi Pamong Praja.
Kepolisian membunuh dengan cara lembut. Menembak orang yang dianggap bersalah dan melarikan diri. Kalau tidak mau melarikan diri diberikan kesempatan unhtuk melarikan diri lalu ditembak. Tidak ada balasan untuk polisi, sebab ia punya undang-undang sendiri. Kalau melarikan diri berikan tembakan peringatan, kalau dia tidak berhenti, tembak saja. “Saya sudah berusaha menembak di bagian kaki, tapi dia mengelak hingga mengenai kepalanya” kata seorag poilisi yang sukses menjalankan perintah atasannya. Dan dia naik pangkat. Sebab pada saat penembakan dilakukan seorang buronan teroris menghilang, segera orang tersebut diidentifikasi sebagai teroris.
Seorang dokter menjalankan dengan lebih lembut lagi. Mencekik pasiennya dengan biaya yang tinggi. Dia berkata setengah berbisik, “apalah artinya uang dibandingkan kesehatan anda. Berikan saja uang itu kepada kami dan kami akan menyembuhkan anda.” Kalau rakyatnya berobat kepada dokter, maka tingkat kesembuhannya akan disesuikan dengan jumlah uang yang dikeluarkan. Pun begitu banyak juga orang yang sudah keluarkan banyak uang, namun tetap dihabisi. “Kami sudah melakukan berbagai upaya, namun takdir berkata lain, kita pasrah saja pada ketentuan yang maha kuasa.” katanya membenarkan ujicoba yang dilakukan pada tubuh pasien.
Kehakiman lain lagi. Ia menjebloskan banyak pencuri ayam dalam penjara. Kalau korupsi jangan tanggung, sebagian besar harus bisa disetor kepada sang Jaksa dan Hakim. Kalau mencuri ayam, mau setor apa? Paha Goreng? Mana mau hakim, takut kolesterolnya naik. Makanya pencuri ayam akan diberikan sanksi penjara sepuluh tahun, karena dianggap berpotensi mengambil uang negara lebih banyak lagi. Lah, uang negara yang mana? pencuri ayam di kampung kok. Jangankan uang negara, negara saja mereka tidak kenal. Tapi kalau koruptor milyaran dan triliyunan tidak masalah. Mereka bisa pelesiran ke Singapura dan main-main di sana. Sesekali si hakim dan si jaksa datang ke sana menikmati layanan dari si Koruptor.
Dan baru-baru ini Satpol PP sebuah provinsi di negara itu membunuh masyarakat yang mempertahankan sejarah bangsanya. Kata Satpol PP mereka harus menegakkan UU yang telah dibuat oleh pemerintah. Apapun resikonya akan mereka hadapi. Mereka dididik untuk membunuh, menendang, melakukan kekerasan kepada rakyat yang dipimpin oleh rajanya. Mereka dibayar untuk itu. Kalau mereka tidak melakukan kerjanya, berarti mereka makan gaji buta. Makanya mereka melakukan kekerasan, jadi gajinya halal karena mereka bekerja dengan baik.
Nah, begitulah sebuah program KB Gaya baru yang dilakukan pemerintah entah berantah. Saya tidak tahu bagaimana kelanjutannya dan bagaimana tanggapan masyarakatnya. Beberapa orang marah, beberapa orang protes, beberapa orang menghardik dan mencaci. Tapi pemerintah sudah kebal telinganya dari cacian dan protes masyarakatanya. Diam-diam berkata, “Tunggu saja, anda selanjutnya!”
Wednesday, 14 April 2010
Yang di Gedung dan yang di Lumpur
Dulu kami adalah satu, menghaiskan waktu bersama dalam riang kecil. Tertawa bersama pada hal-hal yang sama sekali tidak lucu. Main bola dengan plastik bekas yang diikat jadi satu. Main layang-layang sampai malam, sampai azan menggema. Pergi mengaji dengan sua yang selalu kami rebutkan. Tidur dan mengganggu teman perempuan yang tidur di sana. Dan esok paginya dibangunkan teungku dengan sebuah cambukan rotan kecil.
Kami juga sama-sama, ketika dua jam mendayung sepeda di jalan berbatu melintasi kampung-kampung petani. Katanya sekolah, tapi entahlah, apa benar begitu. Ada kala sepedanya bocor atau rusak, ia menumpang, berdiri di belakang sepedaku. Adakalanya sepedaku bocor rusak, aku menumpang, bediri di belakang sepedanya, dua jam melintasi jalan berbatu. Empat tahun!
Kami sama-sama putus sekolah di tengah jalan, sebelum kami mendapatkan ijazah SMA. Sebab sepertinya tidak ada yang dapat diharapkan dari sekolah. Yang ada hanyalah uang, uang, uang. Guru mendiktekan kata-kata dalam buku yang padahal bisa dibaca sendiri. Guru mengajarkan hal-hal yang kami sudah ketahui. Kepala sekolah mengharuskan mengumpulkan sejumlah uang katanya untuk ini, untuk itu. Tapi katanya begitulah pendidikan, pendidikan itu mahal.
Kami kembali ke kampung, menghabiskan waktu muda kami di sana. Pergi ke sawah berlumpur, mendaki gunung mencari rotan, pegi ke sungai memancing ikan, menanam kacang di kebun, mencuri kelapa muda tengah malam, mencuri ayam tetangga bulan ramadahan. Kalau sedang baik persis seperti malaikat, kalau sedang jahat mungkin mirip seperti iblis. Sampai akhirnya kami berpisah karena jalan kami berbeda.
Aku tetap memanggul cangkul dan parang, mencari sesuatu nasi di ladang. Ia memilih AK. Katanya bangsa ini telah berkhianat padanya, mengambil alam kita untuk perut buncitnya yang tak pernah penuh. Padahal indatu wariskan untuk kita anak cucunya. Kalau saja kita merdeka, orang Jawa jadi pemanjat kelapa. Kalau saja kita merdeka, duduk saja kita bisa kaya. Kalau kita merdeka tanpa kerja kita bahagia. Kita jadi bos, jadi raja, seperti dulu Iskandar Mua. Maka ia berjuang untuk merdeka, dengan senjata dan peperangan. Aku menjadi tameng saat ia terdesak, menjadi jaminan saat ia ditangkap, menjadi korban kalau ia melarikan diri dari kejaran musuhnya, dan ia selalu melarikan diri. Aku harus bersedia, karena ia, katanya, berjuang untukku.
Entah setan dari mana merasuk kepalanya, ia mengakhiri jalannya dengan salaman di meja runding. Itu bagus pikirku. Sebab tidak ada lagi darah tumpah, tidak ada lagi ketakutan, tidak ada lagi penyiksanaan, penangkapan, pelecehan, pemerkosaan, pemerasan, teror dan pembunuhan. Kami bisa hidup dalam damai. Dan, dengan salaman itu ia mendapatkan, sebuah kesempatan duduk menjadi anggota dewan, katanya sebagai penyambung aspirasi rakyat. Rakyat yang mana? Dia sendiri! karena dia juga rakyat.
Perjuangannya kini sudah berhasil. Di rumah besar yang seperti istana diantara gubuk reot kami di tengah kampung, banyak pekerja yang datang dari Jawa. Mereka mengurus kebun, mengurus pabrik, membangun pertokoan miliknya yang tersebar di mana-mana. Sekarang di sudah mendapatkan citanya, duduk saja dia menjadi kaya, menumpukkan harta di mana-mana, mengganti mobil suka-suka. Sekarang ia telah mendapatkan asanya. Kalau waktu makan tiba ia bertanya: makan di mana? Sementara kami masih berkata, makan apa?
Aku masih di sini, dalam lumpur basah bersama para petani kampung di mana dulu kami menghabiskan waktu. Kami mencangkul sawah menanam padi mencari rizki. Entahkah padi dapat kami panen, atau diserang ulat dan wereng. Kemarin anakku sakit dan mati. Dukun di kampung menyerah kalah mengobati. Bawa ke dokter? Aku trauma melihat kuitansi. Kemarin rumahku roboh karena gempa, dan kini aku tinggal di tenda. Bantuan? aku tidak bisa menyusun proposal.
Sebuah kenangan terbang pada sahabatku di kantor sana. Engkau hebat sahabat, telah menjadi anggota dewan dengan pilihan hidupmu. Engkau telah berjuang untuk aspirasi rakyat. Dan rakyat itu adalah dirimu sendiri!
Kami juga sama-sama, ketika dua jam mendayung sepeda di jalan berbatu melintasi kampung-kampung petani. Katanya sekolah, tapi entahlah, apa benar begitu. Ada kala sepedanya bocor atau rusak, ia menumpang, berdiri di belakang sepedaku. Adakalanya sepedaku bocor rusak, aku menumpang, bediri di belakang sepedanya, dua jam melintasi jalan berbatu. Empat tahun!
Kami sama-sama putus sekolah di tengah jalan, sebelum kami mendapatkan ijazah SMA. Sebab sepertinya tidak ada yang dapat diharapkan dari sekolah. Yang ada hanyalah uang, uang, uang. Guru mendiktekan kata-kata dalam buku yang padahal bisa dibaca sendiri. Guru mengajarkan hal-hal yang kami sudah ketahui. Kepala sekolah mengharuskan mengumpulkan sejumlah uang katanya untuk ini, untuk itu. Tapi katanya begitulah pendidikan, pendidikan itu mahal.
Kami kembali ke kampung, menghabiskan waktu muda kami di sana. Pergi ke sawah berlumpur, mendaki gunung mencari rotan, pegi ke sungai memancing ikan, menanam kacang di kebun, mencuri kelapa muda tengah malam, mencuri ayam tetangga bulan ramadahan. Kalau sedang baik persis seperti malaikat, kalau sedang jahat mungkin mirip seperti iblis. Sampai akhirnya kami berpisah karena jalan kami berbeda.
Aku tetap memanggul cangkul dan parang, mencari sesuatu nasi di ladang. Ia memilih AK. Katanya bangsa ini telah berkhianat padanya, mengambil alam kita untuk perut buncitnya yang tak pernah penuh. Padahal indatu wariskan untuk kita anak cucunya. Kalau saja kita merdeka, orang Jawa jadi pemanjat kelapa. Kalau saja kita merdeka, duduk saja kita bisa kaya. Kalau kita merdeka tanpa kerja kita bahagia. Kita jadi bos, jadi raja, seperti dulu Iskandar Mua. Maka ia berjuang untuk merdeka, dengan senjata dan peperangan. Aku menjadi tameng saat ia terdesak, menjadi jaminan saat ia ditangkap, menjadi korban kalau ia melarikan diri dari kejaran musuhnya, dan ia selalu melarikan diri. Aku harus bersedia, karena ia, katanya, berjuang untukku.
Entah setan dari mana merasuk kepalanya, ia mengakhiri jalannya dengan salaman di meja runding. Itu bagus pikirku. Sebab tidak ada lagi darah tumpah, tidak ada lagi ketakutan, tidak ada lagi penyiksanaan, penangkapan, pelecehan, pemerkosaan, pemerasan, teror dan pembunuhan. Kami bisa hidup dalam damai. Dan, dengan salaman itu ia mendapatkan, sebuah kesempatan duduk menjadi anggota dewan, katanya sebagai penyambung aspirasi rakyat. Rakyat yang mana? Dia sendiri! karena dia juga rakyat.
Perjuangannya kini sudah berhasil. Di rumah besar yang seperti istana diantara gubuk reot kami di tengah kampung, banyak pekerja yang datang dari Jawa. Mereka mengurus kebun, mengurus pabrik, membangun pertokoan miliknya yang tersebar di mana-mana. Sekarang di sudah mendapatkan citanya, duduk saja dia menjadi kaya, menumpukkan harta di mana-mana, mengganti mobil suka-suka. Sekarang ia telah mendapatkan asanya. Kalau waktu makan tiba ia bertanya: makan di mana? Sementara kami masih berkata, makan apa?
Aku masih di sini, dalam lumpur basah bersama para petani kampung di mana dulu kami menghabiskan waktu. Kami mencangkul sawah menanam padi mencari rizki. Entahkah padi dapat kami panen, atau diserang ulat dan wereng. Kemarin anakku sakit dan mati. Dukun di kampung menyerah kalah mengobati. Bawa ke dokter? Aku trauma melihat kuitansi. Kemarin rumahku roboh karena gempa, dan kini aku tinggal di tenda. Bantuan? aku tidak bisa menyusun proposal.
Sebuah kenangan terbang pada sahabatku di kantor sana. Engkau hebat sahabat, telah menjadi anggota dewan dengan pilihan hidupmu. Engkau telah berjuang untuk aspirasi rakyat. Dan rakyat itu adalah dirimu sendiri!
Monday, 12 April 2010
Minum Kopi Bersama Tuhan
Saya hanya satu diantara jutaan dan mungkin milyaran penggila kopi di dunia ini. Seperti penggila lainnya, kebanyakan penggila kopi juga hanya menghabiskan waktunya dengan gelas-gelas kopi. Pagi, siang, sore malam. Kebanyakan tidak pernah mengambil pelajaran dari apa yang dilakukannya. Semua berlalu begitu saja, seperti air mengalir. Minum kopi adalah jalan melepaskan lelah, penat, bosan, sterss, atau sekedar hobi bersama teman. Sampai seorang teman “asing” muncul dan dia menjelaskan ada apa dengan kopi.
Saat sebuah SMS masuk ke ponselmu dari seorang teman, katanya memulai, yang isinya mengajakmu minum kopi. Engkau langsung membalas: “Oke, i’m coming!” tanpa pikir panjang, tanpa pertimbangan, tanpa macam-macam. Engkau sudah tahu maksudnya, engkau sudah tahu tempatnya. Namun, apakah engkau melakukan hal yang sama ketika azan menggema? engkau tahu apa artinya, engkau tahu di mana tempatnya, engkau tahu harus melakukan apa ketika mendengar suara itu. Tapi engkau mengabaikan, melanjutkan kerjamu.
Engkau habiskan waktu bersama teman-temanmu bercengkrama, bercerita, bersuara, berteriak dan terbahak di warung kopi. Kau kisahkan keluh kesahmu selama hidup, kau ceritakan kerjamu, keluarga dan masalahmu padanya. Terkadang engkau menjadi klein yang sedang curhat pada sahabatmu, namun terkadang kau menjadi konselor untuk masalah temanmu. Apakah kau melakukan hal yang sama di masjid? adakah kau bicara dengan Tuhan di sana? berlama-lama bersuka-ria bersama-Nya. Mengugkapkan masalahmu, mengatakan problem hidupmu, curhat masalah keluarga dan pekerjaanmu? Padahal Dia adalah konselor yang akan menyelesaikan masalahmu, bahkan yang engkau sendiri tidak tahu masalahnya apa.
Saat kau bisa paham terhadap masalah temanmu dalam keramaian, saat kau bisa mendengar jerit temanmu dalam kegaduhan warung kopi, saat kau bisa menerawang diri untuk introspeksi melihat kenyataan hidupmu dalam keributan di sana. Kenapa kau tidak bisa lakukannya dalam kesunyian masjid? dalam ketangangan dan kenyamanan? Bukankah di sana kau akan aman dan nyaman berfikir tentang dirimu, memberi nilai pada kelakuanmu, memberi reward atas kesuksesanmu dan menjatuhkan punishment atas kealpaanmu. Bukankah di sana kau akan lebih mendapatkan makna hidup? kenapa kau tak lakukan?
Kau memakan banyak makanan yang tidak sehat untuk dirimu, tidak sesuai untuk perutmu, hanya sekedar gaya dan menurutkan selera. Kau memesan makanan yang kau sendiri tidak terlalu suka dengannya. Kau membayar untuk asap yang masuk ke kerongkonganmu menitipkan racun lalu keluar kembali meracuni orang lain di sekitarmu. Tapi kau abaikan seorang pengemis yang datang menghampirimu. Dengan hormat kau katakan: “maaf”, seolah kau tak punya pecahan seribuan, atau bahkan limaratusan dalam saku celanamu. Padahal apa artinya uang kecil itu dibandingkan sepotong kue yang tidak membuatmu kenyang? apa artinya uang seribuan dibandingan sebatang rokok yang tak menyehatkan. Tapi engkau lakukan, seolah uang seribuan terlalu banyak bagi peminta.
Ayolah kita minum kopi bersama Tuhan. Kalau kau mampu melakukannya di warung kopi, kau bisa juga melakukan hal yang sama di masjid-masjid, musahalla-mushalla, atau di rumahmu sendiri, saat semua terlelap dalam mimpinya. Datanglah pada Sahabat Sejati. Dia yang mengetahui segala. Dia yang menyelesaikan masalah-masalahmu. Dia yang memberimu ketenangan yang kau takkan mungkin dapatkan dengan berapapun uang yang kau miliki.
Saat sebuah SMS masuk ke ponselmu dari seorang teman, katanya memulai, yang isinya mengajakmu minum kopi. Engkau langsung membalas: “Oke, i’m coming!” tanpa pikir panjang, tanpa pertimbangan, tanpa macam-macam. Engkau sudah tahu maksudnya, engkau sudah tahu tempatnya. Namun, apakah engkau melakukan hal yang sama ketika azan menggema? engkau tahu apa artinya, engkau tahu di mana tempatnya, engkau tahu harus melakukan apa ketika mendengar suara itu. Tapi engkau mengabaikan, melanjutkan kerjamu.
Engkau habiskan waktu bersama teman-temanmu bercengkrama, bercerita, bersuara, berteriak dan terbahak di warung kopi. Kau kisahkan keluh kesahmu selama hidup, kau ceritakan kerjamu, keluarga dan masalahmu padanya. Terkadang engkau menjadi klein yang sedang curhat pada sahabatmu, namun terkadang kau menjadi konselor untuk masalah temanmu. Apakah kau melakukan hal yang sama di masjid? adakah kau bicara dengan Tuhan di sana? berlama-lama bersuka-ria bersama-Nya. Mengugkapkan masalahmu, mengatakan problem hidupmu, curhat masalah keluarga dan pekerjaanmu? Padahal Dia adalah konselor yang akan menyelesaikan masalahmu, bahkan yang engkau sendiri tidak tahu masalahnya apa.
Saat kau bisa paham terhadap masalah temanmu dalam keramaian, saat kau bisa mendengar jerit temanmu dalam kegaduhan warung kopi, saat kau bisa menerawang diri untuk introspeksi melihat kenyataan hidupmu dalam keributan di sana. Kenapa kau tidak bisa lakukannya dalam kesunyian masjid? dalam ketangangan dan kenyamanan? Bukankah di sana kau akan aman dan nyaman berfikir tentang dirimu, memberi nilai pada kelakuanmu, memberi reward atas kesuksesanmu dan menjatuhkan punishment atas kealpaanmu. Bukankah di sana kau akan lebih mendapatkan makna hidup? kenapa kau tak lakukan?
Kau memakan banyak makanan yang tidak sehat untuk dirimu, tidak sesuai untuk perutmu, hanya sekedar gaya dan menurutkan selera. Kau memesan makanan yang kau sendiri tidak terlalu suka dengannya. Kau membayar untuk asap yang masuk ke kerongkonganmu menitipkan racun lalu keluar kembali meracuni orang lain di sekitarmu. Tapi kau abaikan seorang pengemis yang datang menghampirimu. Dengan hormat kau katakan: “maaf”, seolah kau tak punya pecahan seribuan, atau bahkan limaratusan dalam saku celanamu. Padahal apa artinya uang kecil itu dibandingkan sepotong kue yang tidak membuatmu kenyang? apa artinya uang seribuan dibandingan sebatang rokok yang tak menyehatkan. Tapi engkau lakukan, seolah uang seribuan terlalu banyak bagi peminta.
Ayolah kita minum kopi bersama Tuhan. Kalau kau mampu melakukannya di warung kopi, kau bisa juga melakukan hal yang sama di masjid-masjid, musahalla-mushalla, atau di rumahmu sendiri, saat semua terlelap dalam mimpinya. Datanglah pada Sahabat Sejati. Dia yang mengetahui segala. Dia yang menyelesaikan masalah-masalahmu. Dia yang memberimu ketenangan yang kau takkan mungkin dapatkan dengan berapapun uang yang kau miliki.
Friday, 9 April 2010
Tukang Parkir vs Satpam BCA
Saat duduk di kelas tiga SMA, saya bekerja sebagai tukang parkir. Posisi saya waktu itu di jalan Panglima Polim, Peunayong, Banda Aceh, persis di depan BCA sekarang. Saya bekerja mulai jam 5 sore sampai jam 10 malam. Tahun 1997 jalan di sana tidak ramai seperti sekarang. Satu-satunya yang banyak di kunjungi hanyalah Rumah Makan Nasi Goreng Desember dan ATM BCA. Selebihnya sepi saja. Sekarang ini, 13 tahun kemudian, daerah ini menjadi sangat padat dan penuh sesat, siang ata malam hari.
Menjadi tukang parkir sebenarnya bukan pekerjaan yang sengaja saya lakukan. Saya menggantikan seorang teman yang tinggal satu kos-kosan. Saat itu ia dikirim oleh sebuah organisasi ke luar daerah, kalau tidak salah ke Medan, untuk mengikuti sebuah acara. Jadi saya diminta menggantikannya selama ia tidak ada. “Kalau dapat uang ambil saja untuk kamu semuanya,” katanya. Beberapa malam sebelum ia pergi, saya sudah ditraining bagaimana menjadi petugas parkir.
Menjadi tukang parkir itu sulit, sangat sulit. Apa lagi saya dalam posisi antara merasa malu dan butuh uang yang berpadu menjadi satu. Saya merasa sangat deg-degan ketika mengangkat tangan meminta uang parkir kepada pemilik kenderaan. Batin saya mengatakan, apa hak saya mengambil uang darinya padahal saya tidak melakukan apa-apa untuk kenderaan dia. Oleh sebab itulah saya mengatur setiap kenderaan yang parkir di sana hingga menjadi rapi, kecuali mobil tentu saja. Kalau sempat saya juga mengelap temat duduknya biar bersih dari debu. Kepada kenderaan yang tidak saya “sentuh” saya tidak ambil uang parkirnya karena merasa sangat tidak enak.
Karena baru saja menjadi tukang parkir saya tidak tahu persis siapa saja yang “tidak boleh diambil” uang parkirnya karena mereka pemilik toko atau saudaranya. Beberapa orang ada dengan halus menanyakan “baru bekerja di sini ya?” katanyakepada saya. Saya hanya mengiyakan. Lalu ada yang menjelaskan kalau ia adalah pemilik toko atau pekerja, jadi biasanya tidak bayar parkir. Namun ada juga yang tidak ada kaitan apa-apa dengan tempat tersebut namun tidak mau bayar parkir. Apalagi kenderaan sudah saya atur dengan membalikkan arahnya ke jalan raya. Jadi kalau saya tidak terlihat, banyak orang yang ambil kenderaan lalu tancap gas. Saya iklaskan saya, kah yang diambil kenderaannya sendiri kok.
Namun demikian, karena tidak kenal dengan pemilik pertokoan pula saya pernah mendapatkan masalah pada malam kelima saya bekerja di sana. Ceritanya, seperti biasa saya mengatur semua kenderaan yang ada di sana. Sekitr jam sembilan malam, dari dalam kantor Bank BCA keluar seorang anak muda dengan jaket tebal dan sepatu hitam. Ia langsung menuju salah satu sepeda motor yang ada di sana yang sudah saya atur berjejer rapi. Seperti biasanya, saat ia hendak mengambil kenderaannya saya mendekat, meniupkan peluit, tanda meminta bayaran uang parkir. Ia melihat pada saya sesaat, mungkin terkejut, kemudian memberikan selembar uang sepuluh ribuan. “Simpan saja kembaliannya” katanya waktu itu. (Oiya, waktu itu uang parkir Rp. 200,-) Saya mengucapkan terima kasih banyak mendapatkan rejeki nomplok itu.
Tiba-tiba, dari belakang saya dikejutkan oleh sebuah suara orang tua. Saya tahu suara itu, satpam BCA yang malam itu kena giliran dinas. Ia nampak sangat marah kepada saya, lalu berkata:
“Hey, kamu tau tidak siapa yang barusan kamu minta uang parkir?”
“Saya tidak tahu pak,” jawab saya polos.
“Itu bos kami di sini, itu pemilik BCA ini, kenapa kamu ambil uang parkir sama dia? Dia itu menantu saya. Kamu telah membuat saya malu. Kemana saya taruh muka di hadapan dia? masak di kantornya sendiri dia harus bayar uang parkir? Kenapa kamu ambil parkir sama dia hah? kenapa?” Satpam tua itu berkata dengan sangat cepat dan nampak sangat marah.
Saya menjadi sangat takut, dan dengans ediit gemetar berkata: “Saya tidak tahu kalau itu menantu bapak. Lagian kenapa bos BCA bisa menikah dengan akan satpam?”
Beliau semakin marah mendengar kata-kata saya. Sebuah benda yang ada di tangannya dibanting ke tanah. “Bodoh!” katanya, sambil kembali masuk ke dalam kantor BCA. Saya diam saja, tidak mengerti kenapa dia bisa semarah itu. Padahal, si “bos” sendiri malah memberikan uang parkir yang lebih banyak dari gaji saya semalaman.
Menjadi tukang parkir sebenarnya bukan pekerjaan yang sengaja saya lakukan. Saya menggantikan seorang teman yang tinggal satu kos-kosan. Saat itu ia dikirim oleh sebuah organisasi ke luar daerah, kalau tidak salah ke Medan, untuk mengikuti sebuah acara. Jadi saya diminta menggantikannya selama ia tidak ada. “Kalau dapat uang ambil saja untuk kamu semuanya,” katanya. Beberapa malam sebelum ia pergi, saya sudah ditraining bagaimana menjadi petugas parkir.
Menjadi tukang parkir itu sulit, sangat sulit. Apa lagi saya dalam posisi antara merasa malu dan butuh uang yang berpadu menjadi satu. Saya merasa sangat deg-degan ketika mengangkat tangan meminta uang parkir kepada pemilik kenderaan. Batin saya mengatakan, apa hak saya mengambil uang darinya padahal saya tidak melakukan apa-apa untuk kenderaan dia. Oleh sebab itulah saya mengatur setiap kenderaan yang parkir di sana hingga menjadi rapi, kecuali mobil tentu saja. Kalau sempat saya juga mengelap temat duduknya biar bersih dari debu. Kepada kenderaan yang tidak saya “sentuh” saya tidak ambil uang parkirnya karena merasa sangat tidak enak.
Karena baru saja menjadi tukang parkir saya tidak tahu persis siapa saja yang “tidak boleh diambil” uang parkirnya karena mereka pemilik toko atau saudaranya. Beberapa orang ada dengan halus menanyakan “baru bekerja di sini ya?” katanyakepada saya. Saya hanya mengiyakan. Lalu ada yang menjelaskan kalau ia adalah pemilik toko atau pekerja, jadi biasanya tidak bayar parkir. Namun ada juga yang tidak ada kaitan apa-apa dengan tempat tersebut namun tidak mau bayar parkir. Apalagi kenderaan sudah saya atur dengan membalikkan arahnya ke jalan raya. Jadi kalau saya tidak terlihat, banyak orang yang ambil kenderaan lalu tancap gas. Saya iklaskan saya, kah yang diambil kenderaannya sendiri kok.
Namun demikian, karena tidak kenal dengan pemilik pertokoan pula saya pernah mendapatkan masalah pada malam kelima saya bekerja di sana. Ceritanya, seperti biasa saya mengatur semua kenderaan yang ada di sana. Sekitr jam sembilan malam, dari dalam kantor Bank BCA keluar seorang anak muda dengan jaket tebal dan sepatu hitam. Ia langsung menuju salah satu sepeda motor yang ada di sana yang sudah saya atur berjejer rapi. Seperti biasanya, saat ia hendak mengambil kenderaannya saya mendekat, meniupkan peluit, tanda meminta bayaran uang parkir. Ia melihat pada saya sesaat, mungkin terkejut, kemudian memberikan selembar uang sepuluh ribuan. “Simpan saja kembaliannya” katanya waktu itu. (Oiya, waktu itu uang parkir Rp. 200,-) Saya mengucapkan terima kasih banyak mendapatkan rejeki nomplok itu.
Tiba-tiba, dari belakang saya dikejutkan oleh sebuah suara orang tua. Saya tahu suara itu, satpam BCA yang malam itu kena giliran dinas. Ia nampak sangat marah kepada saya, lalu berkata:
“Hey, kamu tau tidak siapa yang barusan kamu minta uang parkir?”
“Saya tidak tahu pak,” jawab saya polos.
“Itu bos kami di sini, itu pemilik BCA ini, kenapa kamu ambil uang parkir sama dia? Dia itu menantu saya. Kamu telah membuat saya malu. Kemana saya taruh muka di hadapan dia? masak di kantornya sendiri dia harus bayar uang parkir? Kenapa kamu ambil parkir sama dia hah? kenapa?” Satpam tua itu berkata dengan sangat cepat dan nampak sangat marah.
Saya menjadi sangat takut, dan dengans ediit gemetar berkata: “Saya tidak tahu kalau itu menantu bapak. Lagian kenapa bos BCA bisa menikah dengan akan satpam?”
Beliau semakin marah mendengar kata-kata saya. Sebuah benda yang ada di tangannya dibanting ke tanah. “Bodoh!” katanya, sambil kembali masuk ke dalam kantor BCA. Saya diam saja, tidak mengerti kenapa dia bisa semarah itu. Padahal, si “bos” sendiri malah memberikan uang parkir yang lebih banyak dari gaji saya semalaman.
Tasawuf di Era Syariat
MELIHAT sejarah perkembangan pemikiran Islam, para pendukung tasawuf dan para pendukung syariat pernah berseteru. Bukan hanya di Timur Tengah di mana Islam mulai berkembang dan tumbuh besar, di Aceh pada abad XVII juga pernah terjadi. Al-Hallaj dan ‘Ain al-Qudhad al-Hamdani dihukum mati di tiang gantungan. Demikian juga buku Hamzah Fansuri pernah dibakar dan murid-muridnya diusir dari Aceh dan bahkan dibunuh. Alasan perseturuan itu sama saja, sekelompok ulama menganggap ulama lain telah meninggalkan ajaran Islam yang benar, dengan kata lain mereka telah sesat.
Apakah perseturuan itu masih ada hingga kini? Agak sulit menjawabnya secara tegas. Dalam konteks Aceh, selama ini hubungan antar ulama, baik secara kelembagaan maupun secara personal nampak baik-baik saja. Beberapa “riak” yang terjadi adalah suatu hal yang lumrah dalam perkembangan peradaban manusia.
Salah satu “riak” yang terjadi saat ini adalah pandangan beberapa ulama yang menempatkan tasawuf sebagai “aliran sesat” dalam pemahaman Islam kaffah. Hal ini disebabkan beberapa ajaran dalam tasawuf dianggap menyimpang dan tidak pantas dipelajari dan diketahui umat Islam. Beberapa hal yang sering disebutkan adalah konsep mengenai fana wa bawa, ittihad, hulul, wahdatul wujud, dan lain sebagainya. Konsep ini dianggap terlalu filosofis dan tidak mudah dicerna masyarakat awam. Kesalahan dalam memahaminya, bisa menjadi awal dari kesalahan beraqidah yang akan membawa umat pada kesesatan.
Sebenarnya akar dari pemahaman tasawuf dalam dimensi filosofis seperti di atas berawal dari pemahaman-pemahaman yang dikembangkan Abu Yazid al-Bistami dan Abu Mansur al-Hallaj sejak abad kedua hijriah. Mereka, mengaku sebagai pengalaman spiritual, mengatakan bahwa manusia mampu bersatu dan melebur bersama Allah. Hal ini diperoleh setelah manusia mensucikan harinya dari berbagai pengaruh duniawi sehingga ia murni, tinggal fitrah kemanusiaan dan dimensi ilahiyah dalam dirinya, maka ia akan dapat mendaki sebuah perjalanan menuju Allah.
Pandangan seperti ini, meskipun tidak sama persis, berkembang juga di tangan Ibnu ‘Arabi dan al-Jili beberapa abad berikutnya dengan konsepnya wahdatul wujud dan Insan Kamil. Ia mengemukakan bahwa Tuhan dan manusia pada hakikatnya satu kesatuan. Yang membuat nampak berbeda adalah wajud materil saja. Ini pula yang dikembangankan Hamzah Fansuri di Aceh. Dalam syair-syairnya ia mengumpamakan Allah dan Manusia dengan lautan dan gelombang. Meskipun zahirnya keduanya berbeda, namun hakikatnya satu kesatuan juga.
Pandangan seperti inilah yang menempatkan tasawuf dianggap sebagai ajaran”sesat”. Dalam pandangan banyak ulama lain, Tuhan adalah satu entitas yang sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan manusia, apalagi menyatakan manusia dan Tuhan sebagai satu kesatuan. Dalam beberapa ayat-Nya jelas dikatakan manusia sebagai ciptaan dan Dia sebagai Pencipta. Berdasarkan ayat-ayat tersebut dan dalam rasio yang diterima manusia, maka tidak mungkin sama antara pencipta dengan ciptaannya.
Perdebatan yang terjadi di kalangan ilmuan Islam tersebut sebenarnya pernah dicoba “selesaikan” oleh al-Ghazali. Kita tahu al-Ghazali setelah “lelah” berkelana dalam pemikiran filsafat yang menurutnya tidak dapat memberikan pencerahan batin kepadanya, ia berteduh di bawah pohon tasawuf. Pada saat itulah ia menulis salah satu karya besarnya, Ihya Ulumuddin. Banyak ilmuan Islam mengatakan ini adalah karya besar yang memadukan tasawuf dengan fiqh Islam. Al-Ghazali dengan sangat baik memberikan pemahaman bahwa tidak ada pertentangan antara tasawuf san fiqh, yang ada adalah saling menyempurnakan. Jika keduanya dipahami dengan benar dan diamalkan dengan baik akan menjadi dasar bagi kesempurnaan iman dan Islam seseorang.
Inti dari apa yang dikembangkan al-Ghazali pada dasarnya adalah harmonisasi antar pemahaman yang cenderung fiqh dengan pemahaman yang cenderung tasawuf saja. Bagi al-Ghazali Islam adalah kesatuan dimensi zahir dan dimensi batin manusia sekaligus. Menjalankan satu aspek ajaran Islam semata menjadikan ibadah tidak sempurna. Umpamanya, melakukan shalat tanpa disertai rasa ikhlas dan khusyuk, mencari rizki tanpa tawakkal, dan menjalani ketentuan Allah tanpa disertai dengan rasa tawadhu’, maka itu semua akan ditolak.
Model tasawuf yang dikembangkan al-Ghazali di atas akan memupuk kesadaran beragama yang jauh dari rasa ujub dan takabur. Seseorang akan menjalankan ajaran agama karena ia memiliki semangat dan kesadaran bahwa apa yang dijalankannya adalah sebuah kebenaran dan akan mendekatkan dirinya dengan Allah. Lebih jauh, model pengamalan agama seperti ini juga akan menghindari sikap ekstrim yang berlebihan dalam melaksanakan ajaran agama dengan merendahkan, melecehkan, dan bahkan sama sekali tidak menghormati perbedaan yang ada sebagai sebuah sunnatullah.
Kehidupan beragama di Aceh belakangan ini ada dalam sebuah dilema yang rumit. Di satu sisi pemerintah Aceh telah menyatakan diri sebagai daerah penerapan syariat Islam. Di sisi lain hampir tidak ada perbedaan signifikan antara Aceh dan luar Aceh dalam hal keadilan, kemakmuran, keterberdayaan, korupsi, manipuasi dan lain sebagainya. Satu-satunya hal yang berbeda mungkin, hanyalah perempuan Aceh lebih banyak mengenakan jilbab daripada perempuan di daerah lain di Indonesia.
Kondisi ini menunjukkan Islam yang berlangsung di Aceh belum sampai pada hakikat kesadaran beragama. Nuansa semangat dan kesadaran mengamalakan ajaran agama masih sangat jauh dari keseharian masyarakat Aceh yang dipertunjukkan lewat kekuasan dan kehidupan sosial. Syariat Islam dijadikan kebanggan semata dengan mengeluarkan beberapa qanun yang tidak prinsipil yang kemudian lebih banyak menjadi masalah daripada solusi terhadap masalah kehidupan sosial. Dalam posisi inilah diperlukan sebuah pemahaman agama yang integral dan komprehensif.
Merujuk pada model tasawuf yang dikembangkan al-Ghazali seperti yang saya kemukakan di atas, maka untuk konteks pemberlakukan syariat Islam di Aceh diperlukan sebuah pemahaman yang menempatkan fiqh dan tasawuf dalam posisi setara dan bersanding. Langkah paling mudah adalah melakukan internalisasi nilai moralitas dalam pembelajaran agama dengan penyesuaian konteks kehidupan sosial masyarakat modern.
Pengajaran agama bukan hanya menekankan dimensi hukum, namun juga akhlak. Akhlak bukan hanya kepada Allah dan Rasul-Nya, orang tua dan manusia, namun juga kepada alam semesta dan sistem sosial. Banyak masalah yang ada saat ini sesungghnya dimulai dari pemahaman yang timpang mengenai moralitas ini. Dan dengan sebuah pendekatan yang integral antara dimensi tasawuf dan syariat mungkin ini akan menjadi sebuah sumbangan yang baik untuk kehidupan manusia yang lebiih beradab di masa yang akan datang.
Tulisan ini telah dipublikasi oleh Haian Serambi Indonesia: Jum'at 09 April 2010
Apakah perseturuan itu masih ada hingga kini? Agak sulit menjawabnya secara tegas. Dalam konteks Aceh, selama ini hubungan antar ulama, baik secara kelembagaan maupun secara personal nampak baik-baik saja. Beberapa “riak” yang terjadi adalah suatu hal yang lumrah dalam perkembangan peradaban manusia.
Salah satu “riak” yang terjadi saat ini adalah pandangan beberapa ulama yang menempatkan tasawuf sebagai “aliran sesat” dalam pemahaman Islam kaffah. Hal ini disebabkan beberapa ajaran dalam tasawuf dianggap menyimpang dan tidak pantas dipelajari dan diketahui umat Islam. Beberapa hal yang sering disebutkan adalah konsep mengenai fana wa bawa, ittihad, hulul, wahdatul wujud, dan lain sebagainya. Konsep ini dianggap terlalu filosofis dan tidak mudah dicerna masyarakat awam. Kesalahan dalam memahaminya, bisa menjadi awal dari kesalahan beraqidah yang akan membawa umat pada kesesatan.
Sebenarnya akar dari pemahaman tasawuf dalam dimensi filosofis seperti di atas berawal dari pemahaman-pemahaman yang dikembangkan Abu Yazid al-Bistami dan Abu Mansur al-Hallaj sejak abad kedua hijriah. Mereka, mengaku sebagai pengalaman spiritual, mengatakan bahwa manusia mampu bersatu dan melebur bersama Allah. Hal ini diperoleh setelah manusia mensucikan harinya dari berbagai pengaruh duniawi sehingga ia murni, tinggal fitrah kemanusiaan dan dimensi ilahiyah dalam dirinya, maka ia akan dapat mendaki sebuah perjalanan menuju Allah.
Pandangan seperti ini, meskipun tidak sama persis, berkembang juga di tangan Ibnu ‘Arabi dan al-Jili beberapa abad berikutnya dengan konsepnya wahdatul wujud dan Insan Kamil. Ia mengemukakan bahwa Tuhan dan manusia pada hakikatnya satu kesatuan. Yang membuat nampak berbeda adalah wajud materil saja. Ini pula yang dikembangankan Hamzah Fansuri di Aceh. Dalam syair-syairnya ia mengumpamakan Allah dan Manusia dengan lautan dan gelombang. Meskipun zahirnya keduanya berbeda, namun hakikatnya satu kesatuan juga.
Pandangan seperti inilah yang menempatkan tasawuf dianggap sebagai ajaran”sesat”. Dalam pandangan banyak ulama lain, Tuhan adalah satu entitas yang sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan manusia, apalagi menyatakan manusia dan Tuhan sebagai satu kesatuan. Dalam beberapa ayat-Nya jelas dikatakan manusia sebagai ciptaan dan Dia sebagai Pencipta. Berdasarkan ayat-ayat tersebut dan dalam rasio yang diterima manusia, maka tidak mungkin sama antara pencipta dengan ciptaannya.
Perdebatan yang terjadi di kalangan ilmuan Islam tersebut sebenarnya pernah dicoba “selesaikan” oleh al-Ghazali. Kita tahu al-Ghazali setelah “lelah” berkelana dalam pemikiran filsafat yang menurutnya tidak dapat memberikan pencerahan batin kepadanya, ia berteduh di bawah pohon tasawuf. Pada saat itulah ia menulis salah satu karya besarnya, Ihya Ulumuddin. Banyak ilmuan Islam mengatakan ini adalah karya besar yang memadukan tasawuf dengan fiqh Islam. Al-Ghazali dengan sangat baik memberikan pemahaman bahwa tidak ada pertentangan antara tasawuf san fiqh, yang ada adalah saling menyempurnakan. Jika keduanya dipahami dengan benar dan diamalkan dengan baik akan menjadi dasar bagi kesempurnaan iman dan Islam seseorang.
Inti dari apa yang dikembangkan al-Ghazali pada dasarnya adalah harmonisasi antar pemahaman yang cenderung fiqh dengan pemahaman yang cenderung tasawuf saja. Bagi al-Ghazali Islam adalah kesatuan dimensi zahir dan dimensi batin manusia sekaligus. Menjalankan satu aspek ajaran Islam semata menjadikan ibadah tidak sempurna. Umpamanya, melakukan shalat tanpa disertai rasa ikhlas dan khusyuk, mencari rizki tanpa tawakkal, dan menjalani ketentuan Allah tanpa disertai dengan rasa tawadhu’, maka itu semua akan ditolak.
Model tasawuf yang dikembangkan al-Ghazali di atas akan memupuk kesadaran beragama yang jauh dari rasa ujub dan takabur. Seseorang akan menjalankan ajaran agama karena ia memiliki semangat dan kesadaran bahwa apa yang dijalankannya adalah sebuah kebenaran dan akan mendekatkan dirinya dengan Allah. Lebih jauh, model pengamalan agama seperti ini juga akan menghindari sikap ekstrim yang berlebihan dalam melaksanakan ajaran agama dengan merendahkan, melecehkan, dan bahkan sama sekali tidak menghormati perbedaan yang ada sebagai sebuah sunnatullah.
Kehidupan beragama di Aceh belakangan ini ada dalam sebuah dilema yang rumit. Di satu sisi pemerintah Aceh telah menyatakan diri sebagai daerah penerapan syariat Islam. Di sisi lain hampir tidak ada perbedaan signifikan antara Aceh dan luar Aceh dalam hal keadilan, kemakmuran, keterberdayaan, korupsi, manipuasi dan lain sebagainya. Satu-satunya hal yang berbeda mungkin, hanyalah perempuan Aceh lebih banyak mengenakan jilbab daripada perempuan di daerah lain di Indonesia.
Kondisi ini menunjukkan Islam yang berlangsung di Aceh belum sampai pada hakikat kesadaran beragama. Nuansa semangat dan kesadaran mengamalakan ajaran agama masih sangat jauh dari keseharian masyarakat Aceh yang dipertunjukkan lewat kekuasan dan kehidupan sosial. Syariat Islam dijadikan kebanggan semata dengan mengeluarkan beberapa qanun yang tidak prinsipil yang kemudian lebih banyak menjadi masalah daripada solusi terhadap masalah kehidupan sosial. Dalam posisi inilah diperlukan sebuah pemahaman agama yang integral dan komprehensif.
Merujuk pada model tasawuf yang dikembangkan al-Ghazali seperti yang saya kemukakan di atas, maka untuk konteks pemberlakukan syariat Islam di Aceh diperlukan sebuah pemahaman yang menempatkan fiqh dan tasawuf dalam posisi setara dan bersanding. Langkah paling mudah adalah melakukan internalisasi nilai moralitas dalam pembelajaran agama dengan penyesuaian konteks kehidupan sosial masyarakat modern.
Pengajaran agama bukan hanya menekankan dimensi hukum, namun juga akhlak. Akhlak bukan hanya kepada Allah dan Rasul-Nya, orang tua dan manusia, namun juga kepada alam semesta dan sistem sosial. Banyak masalah yang ada saat ini sesungghnya dimulai dari pemahaman yang timpang mengenai moralitas ini. Dan dengan sebuah pendekatan yang integral antara dimensi tasawuf dan syariat mungkin ini akan menjadi sebuah sumbangan yang baik untuk kehidupan manusia yang lebiih beradab di masa yang akan datang.
Tulisan ini telah dipublikasi oleh Haian Serambi Indonesia: Jum'at 09 April 2010
Thursday, 8 April 2010
Bangkai Kucing di Tengah Jalan
Saat melewati sebuah jalan raya saya melihat bangkai seekor anak kucing yang nampaknya baru saja digilas kenderaan. Darah masih merah dan basah di sekitarnya. Beberapa bagian organ perutnya sudah keluar, terburai di sekitar bangai itu. Saya tidak tahu dengan pasti apakah mobil ataukah motor yang melakukannya. Apakah ia sengaja ataukah tidak menabraknya. Faktanya kucing itu sudah mati dan, saat saya lewat ia masih ada di sana, terbaring diantara laju kenderaan.
Laki-laki, perempuan, mobil besar, mobil kecil, motor, becak, pejalan kaki hanya lewat di sisi kanan dan kiri kucing malang itu. Sebagian menghidnari menggilasnya dengan ban kenderaannya yang keras. Namun tidak banyak yang sanggup melakukan itu karena mereka tiba-tiba saja melihat bangai kucing ada di sana. tanpa ayal mereka kembali melibas si kucing malang. Saya tidak tahu pasti ebrapa kali sudah, sejak ia digilas pertama sekali, kenderaan lain melakukan hal yang sama. Saya terrus berjalan meninggalkan bangkai itu.
Sepanjang jalan saya berfikir, kenapa tidak berhenti saja walau sejenak untuk mengambil bangai kucing kecil itu. Berhenti, ambil, buang ke tong sampah. Mungkin itu hanya butuh beberapa detik. Paling lama dua menit. Apalah artinya dua menit dibandingkan waktu minum kopi dan tidur berjam-jam yang jelas manfaatnya kecil. Kalau saya turun dari kenderaan dan “menyelamatkan” bangkai kucing itu, saya tidak akan kehilangan apa-apa. Tidak ada waktu yang saya buang, tidak ada deal ibsnis yang tertinggal, tidak ada mahasiswa yang saya abaikan, tidak ada pekerjaan kantor yang saya tinggalkan. Jadi kenapa saya tidak lakukan?
Mungkin kini, saya masih tetap melanjutkan perjalanan, bangkai kucing itu sudah habis digilas. Bangkai kucing kecil berbulu merah yang saya tidak pernah liaht ketika ia hidup, pasti sudah menghilang dari jalanan. Apalah artinya bangkai kucing, dibandingkan dengan ban besar truk pembawa tanah, batu, aspal, semen di jalan raya. Sekali gilas mungkin kucing itu hilang menjadi debu. Jadi kenapa saya harus susah? kenapa saya harus sibuk? kenapa saya harus menjadikannya beban pikiran? ya sudah, lupakan saja. Tapi saya tidak enak hati, apa yang harus saya jawab kalau natidi akhirat saya ditanya Tuhan, apa yang kalu lakukan pada makhluk-Ku yang terzalimi?
Bergegas, saya kembali, belok arah. Jalan besar di kota yang dibelah dua dan menyisakan beberapa jalur untuk memotong menyebabkan saya harus tetap berjalan ke depan sampai ada tampat berbelok. Saya pacu kenderaan leih cepat dari sebelumnya. Saya ingat-ingat lokasi di mana bangkai kucing itu tergeletak tanpa daya. Saya lewati beberapa motor pasangan muda yang asik memadu cinta di atas motor di jalan raya. Saya lewati sebuah mobil sedan mengkilat yang nampaknya sedang hati-hati takut kenderaaanya tergores aspal. Saya lewati sebuah angkutan kota yang berhenti mendadak. Saya lewati semua, kecuali tukang kebut. Dia melewati saya.
Sesampai saya di lokasi di mana bangkai anak kucing malang tergeletak, saya harus memarkirkan kenderaan lalu menyeberang jalan dengan kaki. Di tengah trotoar saya berhenti, menunggu kenderaan yang tidak melambatkan lajunya. Dari sana saya sedikit bersyukur, bangkai kucing itu masih ada. Meskipun ia sudah rata dengan jalan. Saya cari plastik bekas yang banyak bertebaran di tengah trotoar. Sebuah palstik hitam tersangkut di pohon kere yang ada di sana. Syukurlah.
Dari totoar, saya lihat ke seberang. Seorang laki-laki yang nampaknya jarang mandi memanggul sebuah goni putih di belakangnya. Dan di dalamnya ada beberapa isi yang saya tidak tahu. Tangan kirinya memegang salah satu pinggir goni yang dijulurkan ke punggung melalui pundaknya. Tangan kanannya memegang sebuah besi yang ujungnya bengkok dan runcing. Sesekali ia mengais tumpukan sampah di sisi jalan. Beberapa barang yang ia anggap bermanfaat dimasukkan ke dalam goni.
Persis ketika saya hendak menyeberang karena jalan sudah aman, ia berada di dekat bangkai kucing. Serta merta matanya tertuju ke sana. Tiba-tiba ia bergumam: “Duhhh kucing cantik yang malang….” lalu dengan tangannya, tanpa perlu melapisinya dengan palstik, ia memungut bangkai kucing itu yang ternyata masih bisa dipungut dengan satu tangan. Ia mengangkatnya. Melintasi saya yang berdiri tercengang hendak melakukan hal yang sama. Lalu membuang bangkai itu ke sebuah kontainer yang tidak jauh dari sana. “Istirahatlah kau dengan tenag…” katanya.
Kertas plastik jatuh dari tangan saya. Saya terlambat beberapa detik saja dibandingkan sang pemulung. Saya perlu beberapa menit untuk mengambil keputusan menolong anak kucing yang malang, atau tidak. Sementara ia langsung melakukan begitu melihat anak kucing malang itu ada di depannya.Saya perlu banyak alasan untuk membantu. Sementara ia melakukannya tanpa beban. Saya perlu sejumlah pertimbangan untuk berbuat baik. Sementara ia malukakannya tanpa pertimbangan apa-apa.
Laki-laki, perempuan, mobil besar, mobil kecil, motor, becak, pejalan kaki hanya lewat di sisi kanan dan kiri kucing malang itu. Sebagian menghidnari menggilasnya dengan ban kenderaannya yang keras. Namun tidak banyak yang sanggup melakukan itu karena mereka tiba-tiba saja melihat bangai kucing ada di sana. tanpa ayal mereka kembali melibas si kucing malang. Saya tidak tahu pasti ebrapa kali sudah, sejak ia digilas pertama sekali, kenderaan lain melakukan hal yang sama. Saya terrus berjalan meninggalkan bangkai itu.
Sepanjang jalan saya berfikir, kenapa tidak berhenti saja walau sejenak untuk mengambil bangai kucing kecil itu. Berhenti, ambil, buang ke tong sampah. Mungkin itu hanya butuh beberapa detik. Paling lama dua menit. Apalah artinya dua menit dibandingkan waktu minum kopi dan tidur berjam-jam yang jelas manfaatnya kecil. Kalau saya turun dari kenderaan dan “menyelamatkan” bangkai kucing itu, saya tidak akan kehilangan apa-apa. Tidak ada waktu yang saya buang, tidak ada deal ibsnis yang tertinggal, tidak ada mahasiswa yang saya abaikan, tidak ada pekerjaan kantor yang saya tinggalkan. Jadi kenapa saya tidak lakukan?
Mungkin kini, saya masih tetap melanjutkan perjalanan, bangkai kucing itu sudah habis digilas. Bangkai kucing kecil berbulu merah yang saya tidak pernah liaht ketika ia hidup, pasti sudah menghilang dari jalanan. Apalah artinya bangkai kucing, dibandingkan dengan ban besar truk pembawa tanah, batu, aspal, semen di jalan raya. Sekali gilas mungkin kucing itu hilang menjadi debu. Jadi kenapa saya harus susah? kenapa saya harus sibuk? kenapa saya harus menjadikannya beban pikiran? ya sudah, lupakan saja. Tapi saya tidak enak hati, apa yang harus saya jawab kalau natidi akhirat saya ditanya Tuhan, apa yang kalu lakukan pada makhluk-Ku yang terzalimi?
Bergegas, saya kembali, belok arah. Jalan besar di kota yang dibelah dua dan menyisakan beberapa jalur untuk memotong menyebabkan saya harus tetap berjalan ke depan sampai ada tampat berbelok. Saya pacu kenderaan leih cepat dari sebelumnya. Saya ingat-ingat lokasi di mana bangkai kucing itu tergeletak tanpa daya. Saya lewati beberapa motor pasangan muda yang asik memadu cinta di atas motor di jalan raya. Saya lewati sebuah mobil sedan mengkilat yang nampaknya sedang hati-hati takut kenderaaanya tergores aspal. Saya lewati sebuah angkutan kota yang berhenti mendadak. Saya lewati semua, kecuali tukang kebut. Dia melewati saya.
Sesampai saya di lokasi di mana bangkai anak kucing malang tergeletak, saya harus memarkirkan kenderaan lalu menyeberang jalan dengan kaki. Di tengah trotoar saya berhenti, menunggu kenderaan yang tidak melambatkan lajunya. Dari sana saya sedikit bersyukur, bangkai kucing itu masih ada. Meskipun ia sudah rata dengan jalan. Saya cari plastik bekas yang banyak bertebaran di tengah trotoar. Sebuah palstik hitam tersangkut di pohon kere yang ada di sana. Syukurlah.
Dari totoar, saya lihat ke seberang. Seorang laki-laki yang nampaknya jarang mandi memanggul sebuah goni putih di belakangnya. Dan di dalamnya ada beberapa isi yang saya tidak tahu. Tangan kirinya memegang salah satu pinggir goni yang dijulurkan ke punggung melalui pundaknya. Tangan kanannya memegang sebuah besi yang ujungnya bengkok dan runcing. Sesekali ia mengais tumpukan sampah di sisi jalan. Beberapa barang yang ia anggap bermanfaat dimasukkan ke dalam goni.
Persis ketika saya hendak menyeberang karena jalan sudah aman, ia berada di dekat bangkai kucing. Serta merta matanya tertuju ke sana. Tiba-tiba ia bergumam: “Duhhh kucing cantik yang malang….” lalu dengan tangannya, tanpa perlu melapisinya dengan palstik, ia memungut bangkai kucing itu yang ternyata masih bisa dipungut dengan satu tangan. Ia mengangkatnya. Melintasi saya yang berdiri tercengang hendak melakukan hal yang sama. Lalu membuang bangkai itu ke sebuah kontainer yang tidak jauh dari sana. “Istirahatlah kau dengan tenag…” katanya.
Kertas plastik jatuh dari tangan saya. Saya terlambat beberapa detik saja dibandingkan sang pemulung. Saya perlu beberapa menit untuk mengambil keputusan menolong anak kucing yang malang, atau tidak. Sementara ia langsung melakukan begitu melihat anak kucing malang itu ada di depannya.Saya perlu banyak alasan untuk membantu. Sementara ia melakukannya tanpa beban. Saya perlu sejumlah pertimbangan untuk berbuat baik. Sementara ia malukakannya tanpa pertimbangan apa-apa.
Wednesday, 7 April 2010
Jurus Pamungkas!
Kakek saya (alm) adalah seorang imam masjid. Saat saya beranjak remaja, beliu sudah sangat tua, mungkin 80-an tahun. Namun dalam usia demikian, seperti halnya kebanyakan orang desa- beliau masih aktif di desa, sebagai imam masjid. Sesekali beliau masih pergi ke kebun, meskipun tidak mencangkul lagi, hanya melihat-lihat tanaman atau memetib buah. Beliau meninggal dunia ketika saya masih duduk di sekolah menengah pertama.
Sebagai Imam desa, saya dengar beliau memiliki banyak ilmu. Di rumah memang beliau memiliki koleksi buku berbahasa Arab yang sangat banyak. Bahkan sampai usia tua beliau tidak rabun dan masih terbiasa membaca meskipun ditemani lampu teplok (karena waktu itu belum masuk listrik ke desa). Namun bukan ilmu ini yang saya maksud. Kata orang-orang di desa, beliau punya ilmu silat tingkat tinggi: silat harimau. Beliau satu-satunya orang yang punya jurus pamungkas karena pernah belajar sampai langkah tujuh. Beberapa pesilat lain di kampung hanya belajar sampai langkah lima. Kebanyakan cuma langkah tiga. Jadi, kata orang kampung, beliau adalah guru silat sejati, suhu, mungkin begitu bahasa kita sekarang.
Nah, mendengar kabar ini, saya yang masih beranjak remaja tertarik mau belajar ilmu silat. Apalagi waktu itu saya sering membaca serial buku silat Saur Sepuh dan Dewa Arak yang teramat terkenal saat itu. Tambahan lagi saya sering menerima ejekan teman-teman di sekolah karena tidak mampu melawan kalau diusilin. Bahkan terkadang saya memilih menghindar daripada bertengkar. Saya membayangkan, kalau punya ilmu silat, saya bisa menghajar mereka sampai kapok.
Karena itu saya mendekati kakek dan mengutarakan maksud saya. Saya katakan kalau saya mau belajar silat, bahkan kalau bisa sampai tamat. Saya mau menjadi muridnya. Mungkin bukan murid terbaik, namun saya yakin bisa menjadi murid pilihannya. Saya belajar cara-cara menyampaikan maksud belajar slat di buku serial dunia persilatan yang saya baca. Saya benar-benar mengatakan dengan sangat serius bahwa saya mau belajar silat, alasan belajar, dan kemana saya akan menggunakan ilmu yang akan saya pelajari.
Mendengar permohonan cucunya, kakek tersenyum saja sambil mengusap kepala saya. Katanya saya harus tidur bersamanya mulai nanti malam. Mendengar "syarat" ini saya kembali teringat buku-buku persilatan. Guru-guru silat selalu menawarkan syarat yang "aneh" untuk mengajarkan muridnya. Saya juga berfikir kalau itu adalah sebuah syarat yang beliau ajukan. Maknya, tanpa pikir panjang saya langsung mengiyakan. Sejak malam itu saya tidur dengan kakek. Seperti biasa, beliau mendongeng dan menceritakan kisah para nabi dan kisah teladan lainnya sebelum tidur. Sebagainnya saya dengar, tapi yang lebih banyak hanya mendengar kalimat pertama: "Zaman dahulu kala... ada seorang...." lalu saya terlarut dalam mimpi.
Setelah beberapa minggu, saya bertanya kepada kakek, kapan ia akan mengajari saya silat. Sebab sudah hampir dua minggu saya memenuhi syarat yang ia ajukan namun saya belum melihat ada tanda-tanda ia akan mengajarkan silat. Saya kadang kesal juga sebab selama memenuhi syarat itu saya menjadi sangat "disiplin." Shalat tepat waktu, bangun sebelum azan subuh, baca doa sebelum makan dan sebelum aktifitas yang lain. Tidak beranjak dari sajadah sebelum berzikir, dan banyak aturan lain. Sesekali ia menceritakan sebuah kisah teladan yang pernah terjadi dalam sejarah dan saya disuruh mengulang cerita itu. Ia mengoreksi di mana ada hal penting yang saya lewatkan. Namun demikian meskipun beberapa kali saya tanya kapan akan mengajarkan silat, tetap saja tidak terlihat akan mengajarkannya.
Samai satu hari, saat sedang duduk sore hari di bawah pohon mangga besar di depan rumah, beliau mengatakan. Saya tidak ingat persis ungkapannya, namun isinya kira-kra begini: Silat itu adalah cara kita mempertahankan diri dari serangan orang. Coba jawab kenapa kita diserang sama orang? banyak alasan, namun yang paling banyak karena ia tidak suka dengan sikap kita, kelakuan kita menyakitinya, berlaku zalim dan kasar, tidak sopan. Nah, Jurus pamungas untuk melawan serangan itu hanya satu: Perbaiki akhlakmu! kamu akan disegani, ditakuti, baik oleh teman ataupun lawan.Itulah Jurus pamungkas dalam kehidupan ini.
Sebagai Imam desa, saya dengar beliau memiliki banyak ilmu. Di rumah memang beliau memiliki koleksi buku berbahasa Arab yang sangat banyak. Bahkan sampai usia tua beliau tidak rabun dan masih terbiasa membaca meskipun ditemani lampu teplok (karena waktu itu belum masuk listrik ke desa). Namun bukan ilmu ini yang saya maksud. Kata orang-orang di desa, beliau punya ilmu silat tingkat tinggi: silat harimau. Beliau satu-satunya orang yang punya jurus pamungkas karena pernah belajar sampai langkah tujuh. Beberapa pesilat lain di kampung hanya belajar sampai langkah lima. Kebanyakan cuma langkah tiga. Jadi, kata orang kampung, beliau adalah guru silat sejati, suhu, mungkin begitu bahasa kita sekarang.
Nah, mendengar kabar ini, saya yang masih beranjak remaja tertarik mau belajar ilmu silat. Apalagi waktu itu saya sering membaca serial buku silat Saur Sepuh dan Dewa Arak yang teramat terkenal saat itu. Tambahan lagi saya sering menerima ejekan teman-teman di sekolah karena tidak mampu melawan kalau diusilin. Bahkan terkadang saya memilih menghindar daripada bertengkar. Saya membayangkan, kalau punya ilmu silat, saya bisa menghajar mereka sampai kapok.
Karena itu saya mendekati kakek dan mengutarakan maksud saya. Saya katakan kalau saya mau belajar silat, bahkan kalau bisa sampai tamat. Saya mau menjadi muridnya. Mungkin bukan murid terbaik, namun saya yakin bisa menjadi murid pilihannya. Saya belajar cara-cara menyampaikan maksud belajar slat di buku serial dunia persilatan yang saya baca. Saya benar-benar mengatakan dengan sangat serius bahwa saya mau belajar silat, alasan belajar, dan kemana saya akan menggunakan ilmu yang akan saya pelajari.
Mendengar permohonan cucunya, kakek tersenyum saja sambil mengusap kepala saya. Katanya saya harus tidur bersamanya mulai nanti malam. Mendengar "syarat" ini saya kembali teringat buku-buku persilatan. Guru-guru silat selalu menawarkan syarat yang "aneh" untuk mengajarkan muridnya. Saya juga berfikir kalau itu adalah sebuah syarat yang beliau ajukan. Maknya, tanpa pikir panjang saya langsung mengiyakan. Sejak malam itu saya tidur dengan kakek. Seperti biasa, beliau mendongeng dan menceritakan kisah para nabi dan kisah teladan lainnya sebelum tidur. Sebagainnya saya dengar, tapi yang lebih banyak hanya mendengar kalimat pertama: "Zaman dahulu kala... ada seorang...." lalu saya terlarut dalam mimpi.
Setelah beberapa minggu, saya bertanya kepada kakek, kapan ia akan mengajari saya silat. Sebab sudah hampir dua minggu saya memenuhi syarat yang ia ajukan namun saya belum melihat ada tanda-tanda ia akan mengajarkan silat. Saya kadang kesal juga sebab selama memenuhi syarat itu saya menjadi sangat "disiplin." Shalat tepat waktu, bangun sebelum azan subuh, baca doa sebelum makan dan sebelum aktifitas yang lain. Tidak beranjak dari sajadah sebelum berzikir, dan banyak aturan lain. Sesekali ia menceritakan sebuah kisah teladan yang pernah terjadi dalam sejarah dan saya disuruh mengulang cerita itu. Ia mengoreksi di mana ada hal penting yang saya lewatkan. Namun demikian meskipun beberapa kali saya tanya kapan akan mengajarkan silat, tetap saja tidak terlihat akan mengajarkannya.
Samai satu hari, saat sedang duduk sore hari di bawah pohon mangga besar di depan rumah, beliau mengatakan. Saya tidak ingat persis ungkapannya, namun isinya kira-kra begini: Silat itu adalah cara kita mempertahankan diri dari serangan orang. Coba jawab kenapa kita diserang sama orang? banyak alasan, namun yang paling banyak karena ia tidak suka dengan sikap kita, kelakuan kita menyakitinya, berlaku zalim dan kasar, tidak sopan. Nah, Jurus pamungas untuk melawan serangan itu hanya satu: Perbaiki akhlakmu! kamu akan disegani, ditakuti, baik oleh teman ataupun lawan.Itulah Jurus pamungkas dalam kehidupan ini.
Subscribe to:
Posts (Atom)
5 Cara Menemukan "Masalah" Penelitian
Sepertinya tidak ada orang di dunia yang tidak ada masalah. Dari banugn tidur hingga tidur lagi orang selalu terlibat masalah. Bahkan tidu...
-
Oleh: Sehat Ihsan Shadiqin ABSTRAK Artikel ini akan menjelaskan tentang perkembangan dan pengaruh tarekat dalam kehidupan sosial masyar...
-
Sepertinya tidak ada orang di dunia yang tidak ada masalah. Dari banugn tidur hingga tidur lagi orang selalu terlibat masalah. Bahkan tidu...
-
Seorang bayi tanpa pakaian telungkup di pangkuannya. Bayi itu nampaknya masih berusia empat bulan. Dua tangannya memegang pundak si bayi sam...