Dalam sebuah acara audisi penyanyi di televisi seorang artis –tepatnya calon artis- menyanyikan sebuah lagu di depan para juri dan penonton di studio. Ia menyanyikan dengan begitu bagus, mengalun, mungkin bagaikan sorang ibu di Aceh bersenandung untuk menidurkan buah hatinya. Suara yang bagus, iringan musik yang sempurna dan penguasaan lagu yang baik menyebabkan ia tampil dengan sempurna. Setelah selesai moderator mempersilakan juri menilainya. Juri pertama mengatakan bahwa ia sangat terkesan dan menyatakan bahwa sang calon –menurutnya- memamng layak jadi penyanyi profesional. Juri yang kedua juga memujinya namun sedikit mengkritik karena sang calon terlalu kaku memegang mikrofon. Sang calon mengucakan terima kasih pada keduanya. Juri yang ketiga begitu terkesan sampai-sampai ia tak mampu berkomentar panjang, lalu ia berkata singkat: “Ga tau deh, pokoknya menurut gue, lu gila, gila, gila!” “Terima kasih!” kata sang calon. “Dibilang “gila” kok terima kasih?” Celutuk teman saya serius menonton.
“Gila” menjadi kata yang ditakutkan, memalukan, merendahkan, namun juga ternyata disukai. Tidak disukai karena gila bisa menimbulkan masalah dalam keluarga, masyarakat dan sebuah komunitas tertentu. Sebuah keluarga akan malu jika mereka mempunyai kerabat atau famili yang gila. Orang sekampung akan mengatakan: “Memang begitu keturunan.” Ini menyebabkan mereka merasa tersisih, merasa tidak dihargai dan diremehkan oleh masyarakat. Maka di kampung-kampung, kalau ada orang gila ia akan dipasung, dibuat sebuah gubuk kecil seperti kandang kambing di tengah kebun. Kakinya dipasung (dimasukkan dalam batang kapas yang diberil lubang) agar ia tidak bisa lari. Setiap waktu makan tiba ia diantarkan makanan secara diam-diam oleh keluarganya agar tidak ada yang tahu kalau mereka punya keluarga yang gila. Mereka merasa hanya dengan begitu harga diri keluarga akan naik dan lebih bermartabat dalam pandangan masyarakat.
Di Darussalam Banda Aceh ada seorang laki-laki yang dicap gila, ia terkenal dengan nama Alu. Rambutnya pirang dan ketiting. Sebagian sudah menyatu dan keras hingga berbentuk bule jok. Ia berpakaian kumuh, badannya hanya ditutupi selembar kain (tikar mushalla yang entah dimana diambilnya) yang sudah sangat kumal karena sudah dipakai bertahun-tahun. Ia begitu bebas, tidur dimana ia suka, berkata apapun yang ia pikirkan, berteriak sekeras apapun ia mau, tidak ada yang peduli, tidak ada yang menghiraukannya. Semua orang sibuk dengan urusan masing-masing. Ia berjalan kemana kaki melangkah. Kalau mau makan ia datangi warung nasi dan cukup berdiri di sana. Penjaual nasi mengerti kalau dia minta makan, maka segera dibungkus dan diberika padanya. Setelah mendapatkan makanan ia baru pergi.
Selain Sialu ada Nek Sioen. Dia disebut si oen karena kalau minta sedekah dia bilang: “Jok si oen!” (kasih saya selembar –uang). Ia mengenakan tarif untuk “sedekah” yang ia minta, yakni “si oen” (selembar uang). Dulu si oen sama dengan Rp.100.- Namun seiring dengan naiknya BBM dan sembako akibat pungli di jalan, sekarang si oen sama dengan Rp. 1000. Kalau anda jumpa lalu memberika uang recehan segenggam pasti ditolak, meskipun jumlahnya banyak. Ia butuh si oen, bukan segenggam. Demikian juga kalau anda kasih uang puluhan ribu, pasti ditolak, sebab dalam pandangannya si oen adalah Rp. 1000.-
Si Alu dan Nek Si on hanya dua diantara orang yang dicap gila. Ada banyak Alu dan Nek sion yang lain yang ada di dunia. “Ajaran” mereka umumnya sama, pertama meminta milik orang lain dengan “ancaman.” Kedua, Suka bicara asal-asalan dan tidak memandang apakah orang peduli dengan ucapannya atau tidak. Ketiga, tidak mengurus diri. Keempat, tidak peduli dengan keluarga dan tempat tinggal. Dan beberapa ciri lain yang mungkin bisa dilekatkan kepada mereka, tergantung masing-masing individu yang melihatnya.
Kita menganggap mereka gila karena dalam pandangan kita, kita adalah manusia normal. Disebut normal karena pikiran kita masih waras, kita mengatakan seuatu yang –lagi-lagi menurut kita- merupakan kebenaran, kita berfikir rasonal, menunjukkan pergaulan yang baik antar individu, menolong orang, mengurus sistem administrasi masyarakat agar mereka hidup aman tenteram dan terartur. Kita berpakaian bersih, berpenampilan sopan. Kalau makan kita bayar dengan harga yang setimpal, kalau meminta bayaran kita buat kuitansi. Kita rajin solat dan beribadah, kita taat hukum danm mematuhi semua aturan. Karena ini semua maka kita disebut manusia normal atau waras. Dan waras –menurut kita- lebih tinggi derajatnya daripada orang gila. Waras menjadikan kita terhormat dan diterima dalam masyarakat kita yang sama-sama menganggap dirinya waras.
Dalam pandangan medis, gila dan waras dibedakan berdasarkan kerja saraf dalam diri manusia. Jika sarafnya berjalan normal, maka ia disebut waras. Kalau sarafnya ada yang terputus atau tidak bekerja dengan baik maka seseorang tidak bisa berfikir sempurna, tingakahnya aneh, sikapnya asal-asalan, maka dia disebut gila. Dalam padangan psikologi seseorang disebut waras kalau ia menjalani hidup dengan “baik-baik saja”, seperti umumnya manusia biasa. Makan tiga kali, di piring yang bersih, cuci tangan, pakai tangan kanan, tidak sambil ngomong. Seseorang dikatakan gila kalau ia berbeda dengan manusia umunya, makan kapan suka, dimana saja (bisa di tanah, di tong sampah, di comberan), dengan tangan mana saja yang mungkin, dengan kondisi tangan bagaimanapun, bisa bersih, kotor berdebu, berlumpur atau bahkan berdarah karena ada beberapa kudis di jari.
Pembagian dan klasifikasi medis dan psikologi begini sebenarnya sangat tidak adail bagi orang yang kita anggap gila. Andai mereka mayoritas mungkin mereka akan demo dan mengusung spanduk, menuntut kita mengubah definisi gila. Lewat perwakilannya mereka akan memberikan butir-butir tuntutan. Pertama mencabut pembedaan natara orang gila dan waras. Kedua memberikan kebebasan kepada mereka untuk hidup bebas, tidak dipasung dalam gubuk, tidak dikurung dalam rumah sakit. Ketiga, mereka menuntut agar dicabut steriotip yang menyatakan mereka makhluk nomor dua dan berada selevel lebih rendah dari manusia lainnya (yang dianggap normal).
Tuntutan mereka tentunya tidak akan kita penuhi sebab kita menganggap mereka gila dan kita normal. Memenuhi tuntutan mereka hitam di atas putih berarti kita telah ikut jadi gila. Itu sangat memalukan. Apa kata dunia nantinya? Bagaimana orang akan melihatnya? Apa kata Amerika? “Idih..malu-maluin”.
Namun demikian sering kali kita tidak konsisten. Mengakui hitam di atas putih kita tidak mau, namun pada hakiktanya, sikap kita, hati kita, jiwa dan raga kita ingin –dan bahkan- mengikuti tuntutan itu dan melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Kita sebenarnya juga memiliki pola pikir dan pola sikap yang sama dengan mereka, namun kita malu mengakuinya karena takut dengan penilaian orang. Padahal kalau mau jujur jiwa si Alu dan jiwa Nek Sioen ada pada semua kita.
Di sebuah meja kantor berkas-berkas bertumpuk tidak diurus. Setiap pemiliknya datang dan menanyakan, sang pemilik meja mengatakan: “Tunggu Pak, minggu depan kembali lagi.” Namun setelah minggu depan pemilik surat datang, kembali kalimat yang sama terdengar lagi, dan demikian juga minggu-minggu selanjutnya. Solusinya sebenarnya gampang saja. Pembawa surat menyuguhkan sesuatu dalam amplop dari balik meja. Kalau sudah demikian, serta merta jawaban pemilik meja akan berubah: “Tunggu sebentar Pak, silakan duduk. Mau minum apa?” dan 15 menit kemudian urusan selesai, meskipun dalam berkas kita ada beberapa persyaratan yang tidak kita penuhi.
Di sebuah ruang nun jauh di sana seorang laki-laki paruh baya nampak sibuk menyusun strategi. Ia memperkirakan semua kemungkinan yang akan dihadapinya dengan seksama, baik secara matematis maupun mistis. Ia mebicarakan dengan bawahannya segala kemungkinan cara untuk menghadapi masalah. Ia lupa pulang ke rumah, tempat tidurnya sofa mobil, tempat mandinya toilet masjid, tempat makannya warung kopi. Ia punya ambisi untuk mendapatkan jabatan dan bekerja keras memperoleh uang sebanyak-banyaknya. Rumah, anak dan istri tidak pernah dipedulikannya.
Di sebuah jalanan yang agak sepi seorang anak muda distop seseorang yang berseragam karena helmnya sedikit retak. Ia diinterogasi lalu di kenakan “sedekah” wajib. Tidak boleh kurang, minta kurang berarti membangkang, membangkang harus didenda, dan artinya “sedekahnya” akan dinaikkan lagi. Akhirnya sang pemuda terpaksa membayar. Orang yang berseragam ini dianggap telah menegakkan hukum dan menambah mambantu negara mendapatan pengasilannya.
Di sebuah gedung bertingkat orang-orang yang merasa dirinya mewakili rakyat bicara keras dan pedas. Dengan semangat mebara ia ngomong, dengan suara keras ia berteriak, dengan nada tegas ia menerima atau membantah sesuatu. Namun rakyat yang diwakilinya tak pernah mengetahui apa yang mereka bicarakan, rakyat tak mengerti apa yang mereka perjuangkan.
Dari realita-realita di atas, apa bedanya mereka dengan Sialu dan Nek Sioen? Penjual nasi dan pembawa proposal harus mengerti bahwa orang dihadapanya sama-sama membutuhkan “sesuatu”. Namun karena orang di kantor berpakaian bersih, punya badge nama, punya Nip, rambutnya disisir rapi, maka ia disebut normal. Sedangkan Si Alu yang kumuh dan jorok dianggap gila. Orang gila jabatan tak punya tempat tinggal, tidak merindukan istri dan anak, tidak menginginkan berkumpul dengan keluarga, sama saja dengan Si Mae, yang setiap hari nongkrong di trotoar, makan di tong sampah, mandi dalam guyuran hujan. Namun karena ia tidak pakai sepatu mengkilat dan baju batik maka ia disebut gila. Yang meminta sedekah wajib kepada siapapun yang ditemuinya di jalan sama aja dengan Nek Sioen. Namun yang di jalan raya tidak dianggap gila karena ia pakai seragam, pakai topi, pakai senjata yang diakui negara. Sementara Nek Sioen pakai pakaian kumal, senjatnya kayu lapuk, topinya kain kumuh. Yang berteriak di gedung sama saja dengan Si Man, bicara sendiri, blak-blakan, tidak konsisten. Mereka tidak ada yang menghiraukan, tidak ada yang peduli. Ia berteriak atau diam orang tepap saja begitu. Namun karena mereka pakai dasi, naik innova, pakai jas, pakai lencana hitam necis, sepatunya mengkilat, maka mereka disebut normal dan Si Man disebut gila.
Semakin hari jenis gila macam ini semakin banyak. Tanpa kita sadar mereka mulai menyusup ke segala lini kehidupan, bahkan masuk ke rumah tangga dan sekolah-sekolah. Ini menyebabkan hanya ada beda sedikit antara yang menganggap diri waras dengan mereka yang kita anggap gila. Dimana-mana ada orang gila, namun mereka berpenampilan waras dan normal. Demikian juga di mana-mana banyak orang normal, namun mereka bertindak gila. Sehingga gila atau waras tidak lagi ditentukan berdasarkan saraf, namun berdasarkan pakaian. Semakin bersih pakaian anda maka anda akan semakin waras, seberapapun kesalahan ke keabnormalan yang anda lakukan. Namun jika anda berpakaian jorok, kumuh maka anda akan dianggap gila, seberapapun benar anda melakukan sesuatu.
Mungkin, suatu saat penyakit ini akan terus menyebar dan kita benar-benar tidak bisa bedakan antara orang gila dan orang waras. Bahkan kita akan mulai bangga dengan kegilaan. Jika ada orang yang mengatakan “Lu gila!” maka dengan bangga dan senang kita berkata: “Terima kasih.” Na’uzubillah.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
5 Cara Menemukan "Masalah" Penelitian
Sepertinya tidak ada orang di dunia yang tidak ada masalah. Dari banugn tidur hingga tidur lagi orang selalu terlibat masalah. Bahkan tidu...
-
Oleh: Sehat Ihsan Shadiqin ABSTRAK Artikel ini akan menjelaskan tentang perkembangan dan pengaruh tarekat dalam kehidupan sosial masyar...
-
Sepertinya tidak ada orang di dunia yang tidak ada masalah. Dari banugn tidur hingga tidur lagi orang selalu terlibat masalah. Bahkan tidu...
-
Seorang bayi tanpa pakaian telungkup di pangkuannya. Bayi itu nampaknya masih berusia empat bulan. Dua tangannya memegang pundak si bayi sam...
Saleum meuturi dari Aneuk Aceh di perantauan.... :D
ReplyDelete