Tasawuf dan Islam di Aceh tidak dapat dipisahkan. Masuk dan berkembangnya Islam di Aceh tidak terlepas dari peran aktif para sufi pengembara yang datang dari berbagai belahan dunia Islam, baik di dari Timur Tengah maupun Asia Selatan. Perkembangan tasawuf di di Aceh dapat dibagi dalam dua priode, yakni priode kalsik dan priode modern. Dalam periode klasik masih pengaruh pemikiran tasawuf falsafi dari Baghdat dan Persia masih mendominasi. Hal ini terlihat dalam konsep-konsep falsafi dalam mistisisme Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani dan lainnya. Sementara dalam perkembagan modern tasawuf di Aceh tidak dapat dipisahkan dengan gerakan perkembangan pemikiran modern dalam tasawuf di dunia Islam.
Perkembangan tasawuf di Indonesia dapat dipetakan dalam dua tipologi, yaitu Falsafi dan Sunni. Tasawuf falsafi merujuk pada konsep tasawuf yang dihubungkan dengan mistisisme phanteistik Ibnu Arabi. Sedangkan Sunni dihubungkan dengan model Al-Ghazali. Kedua tradisi tasawuf tersebut sama-sama memiliki akar yang kuat dalam sejarah Islam di Nusantara. Tasawuf falsafi pernah memperoleh masa kejayaannya di Aceh pada masa Syekh Hamzah Fansuri, Syekh Syamsuddin Sumatrani, dan Syekh Syaifurrizal. Di Pulau Jawa, tasawuf falsafi dikembangkan oleh Syekh Siti Jenar beserta murid-muridnya, seperti Ki Ageng Pengging dan Jaka Tingkir.
Pada zaman modern, para cendikiawan melakukan reinterpretasi pada tasawuf dalam sebuah terma yang disebut neo sufisme. Tasawuf modern bermakna juga tasawuf yang diperbaharui atau Tasawuf Modern. Dalam Tasawuf Modern mencoba memaknai kembali tasawuf dan memposisikannya dalam kehidupan manusia zaman ini. Dengan ini tasawuf menjadi bagian yang tidak asing dan terpisah dari kehidupan manusia dan mampu memberikan kontribusi bagi perkembangan peradaban manusia modern.
Perkembangan pemikiran tasawuf modern tidak hanya terjadi dalam level internasional, dalam konteks keindonesiaan, pemikiran tasawuf ini juga mendapatkan penafsiran yang baru. Hamka mengawalinya dengan mengarang buku Tasawuf Modern, yang menjelaskan berbagai tafsiran baru tentang tasawuf. Konsepsi Hamka tentang tasawuf menekankan pentingnya aspek akhlak dalam kehidupan, dan inti sesungguhnya dari tasawuf adalah akhlak itu sendiri. Ia juga mengkritik berbagai praktek tasawuf yang menyimpang, seperti pemujaan kuburan “orang suci”, wasilah dalam bero’a dalan lainnya. Pemikiran Hamka diikuti oleh pemikir-pemikir muslim lainnya di Indonersia sekarang ini.
Tulisan ini berupaya melihat perkembangan tasawuf di Aceh. Aceh yang pada masa lalu menjadi pusat awal perkembangan Islam dan tasawuf memiliki sejarah tasawuf yang tidak ada habisnya, termasuk sekarang. Beberapa praktek dan gerakan keagamaan di Aceh jelas memiliki dimensi tasawuf. Upaya ini dinilai penting dengan alasan; pertama, sebagai upaya mengkomparasikan pemikiran dan aksi tasawuf di Aceh zaman dulu dan zaman sekarang. Kedua, menjelaskan aspek-aspek modernisme dalam tasawuf yang ada di zaman modern di Aceh, baik dari pemikiran atau dari sisi aksinya.
Tasawuf Aceh Klasik
Banyak teori yang ada mengenai masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara dan khususnya Aceh. Namun dari setiap teori yang dikemukakan oleh para ahli, lahir pula kelemahan dan kritiknya. Sehingga tidak ada teori yang benar-benar lengkap dan dapat memberikan gambaran komprehensif bagi kita tentang bagaimana dan dari mana islam datang ke Nusantara meskipun para sarjana yang meneliti masalah itu sedemikian banyak. Kebuntuan ini sedikit “terobati” setelah A.H. Johns mengemukakan “teori SufI” tentang penyebaran Islam di Nusantara. Teori ini menyimpulakn bahwa yang mebawa Islam ke Nusantara daah para sufi. Hal ini dikemukanakan oleh John untuk menandingi anggapa mayoritas sarjana yang mengatakan bahwa Islam di Nusantara hanya disebarkan oleh pedagang yang berkeluarga dengan peduduk setempat dan akulturasi budaya.
Para sufi memiliki kelebihan dibandingkan dengan saudagar (meskipun ada sufi yang datang sebagai saudagar). Mereka mampu menyajikan Islam dalam kemasan atraktif, khususnya dengan menekankan kesesuaian dengan Islam atau kontinuitas, ketimbang perubahan dalam kepercayaan dan praktik keagamaan lokal. Dengan menggunakan tasawuf sebagai sebuah kategori dalam sejarah Melayu-Indonesia, John memerikas sejarah lokal Nusantara untuk memperkuat pendapatnya. Hasil dari apa yang dilakukan para sufi ini terlihat dari konversi agama yang terjadi pada abad 13 tersebut di seluruh Nusantara. Masyarakat akan menjadi muslim setelah mereka berjumpa dengan sufi.
Bangkitnya peradaban Islam di Aceh yang bercorak sufistik juga ditandai dengan lahirnya karya tulisa sastra dan nonsastra dari tangan para sufi. Hamzah Fansuri yang menjadi icon mengarang puluhan kitab yang menjelaskan berbagai dimensi ajaran agama Islam. Ia mencoba memaparkan konsepsi tasawuf dengan pendekatan “Melayu” di mana ia menjelaskan berbagai posisi manusia dalam upaya pendekatan dirinya dengan Allah. Hamzah yang sufi ini kemudian menjadi soko guru bagi sarjana-sarjana Islam lainnya di Nusantara, terutama yang belajar pada murid-muridnya di kemudian hari.
Bersamaan dengan Hamzah hidup juga Syamsuddin Pase, atau dikenal juga dengan Syamsuddin al-Sumatrani. Ia adalah teman sekaligus murid Hamzah. Setelah Hamzah meninggal dunia, ia mencoba menerjemahkan pemikiran Hamzah dalam beberapa karya, diantaranya dalam bentukfaham martabat tujuh. Pemikiran ini dikembangan Syamsuddin dengan tambahan pengetahuan yang diperoleh dari Tuhfah al-Mursalah ila Ruhi al-Nabi karya Muahmmad Ibn Fadhillah, seorang ulama Sufi dari Gujarat India. Ia mencoba menjelaskan faham ini dalam pandangan yang penteistik dan menyebarkannya. Faham ini kemudian menjalar sampai ke seluruh Nusantara. Pengaruhnya di Jawa terlihat dalam kitab Centini, Wirid Hidayat Nabi, kitab Martabat alam tujuhnya Kyai Hasan Mustafa dan lain sebagainya.
Pasca Syamsuddin al-Sumatrani, Ar-Raniry mencoba menghapus ajaran Hamzah dan Syamsuddin yang dianggapnya bertentangan dengan syri’at dan tasawuf yang benar. Ia melaukan berbagai upaya untuk membuat pengikut Hamzah dan Syamsuddin bertaubat, kembali pada keimanan yang benar. Ini dapat dilakukan oleh Ar-Raniry karena ia memiliki kedudukan sebagai Syaikh al-Islam dalam kesultanan Aceh yang saat itu di bawah pimpinan Iskandar Tsani. Di satu sisi Ar-Raniry mampu “memaksa” pengikut Hamzah dan Syamsuddin bertaubat, namun di sisi lain sesungghnya ini juga menjadi salah satu faktor yang mendorong pemahaman tasawuf seperti yang diajarkan Hamzah semakin kuat. Apalagi setelah tujuh athun menjadi syaikh al-Islam di Aceh Ar-Raniry kembali ke Ranir, India, maka tasawuf bercorak panteistik tersebutkembali muncul, walaupun tidak berkembang sebagaimana awalnya.
Pada masa As-Sinkili, tasawuf bercorak falsafi tidak begitu terkenal dan populer dalam masyarakat. Meskipun dari beberapa karangannya terlihat as-Sinkili tidak setuju dengan faham tasawuf Hamzah, namun ia tidak pernah menyatakan secara eksplisit dalam tulisan-tulisannya. Ia sendiri menganut tarekat Syaththariyah, meskipun ia juga mengantongi ijazah tareqat Naqsabandiyah. Ia memilih tarekai ini karena menganggap tarekat ini lebih mudah dan lebih tinggi, dasar amalannya dari al-Qur’an dan hadits Rasulullah dan dikerjakan oleh sekalian sahabat. Di Nusantara ia menjadi guru utama tareqat ini, dan ia masuk dalam silsilah tarekat yang dibacakan penganut tarekat Syattariyah sampai saat ini.
Abdurrauf memiliki pengaruh besar dalam penyebaran Islam di Nurantara. Ia memiliki murid dari berbagai daerah. Di Sumatera Barat ajaran-ajaran tasauf As-Sinkili dibawa oleh muridnya Syaikh Burhanuddin Ulakan. Berkat muridnya ia Tarekat Syattariyah menjadi tarekat yang sangat berpengaruh di sekitaran daerah Pariaman. Sementara di Sulawesi ajaran-ajaran tasawuf as-Sinkili dibawa olehSyaikh Yusuf Tajul Khalwati Makssar. Di kepulauan Jawa Syattariyah disebarkan oleh muridnya Syaeh Abdul Muhyi. Ia belajar kepada as-Sinkili pada saat singgah di Aceh dalam pejalanannya ke Makkah utuk menunaikan ibadah haji. Tarekat ini juga berkembang hingga ke Tanah Melayu yang dibawa oleh muridnya, Abdul Malik bin Abdullah.
Melihat banyaknya murid As-Sinkili dari berbagai daerah di Nusantara tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa tasawuf memiliki peranan penting dalam perkembangan Islam di Nusantara pasca melemahnya kerajaan Aceh Darussalam. Sebab pada masa itu, murid menjadi ujung tobak dalam penyebaran Islam. Saat ia telah “tamat” belajar pada guru tertentu, ia akan mencari guru lain atau pulang ke daerahnya dan menyebarkan ilmu keislaman di sana. Ini juga yang terjadi pada murid-murid as-Sinkili. Dengan jalan inilah pengaruh tasawuf yang diajarkan as-Sinkili menjlaar ke seluruh Nusantara.
Perkembangan Pasca Abdurra’uf
Abdurra’uf yang telah menyemai bibit-bibit tarekat sebagai jalan pengamalan tasawuf, mulai tumbuh dan berkembang pada masa-masa selanjutnya. Masyarakat Aceh yang memiliki tradisi mistis lebih kuat dibandingkan tradisi fiqh dalam pengamalan agama menjadi lahan yang subur dalam pengambangan tasawuf bercorak tarekat ini. Ulama-ulama yang datang kemudian menjadikan tareakt sebagai dasar dalam pengambangan syi’ar Islam. Mereka membuka kelompok-kelompok tasawuf di dayah-dayah yang diikuti oleh kelompok masyarakat. Ini menjadi awal bagi organisasi sosial masyarakat dalam gerakan sosial yang bersifat filantropy atau juga gerakan sosial dalam menantang penjajahan.
Perkembangan tasaawuf ke arah pelaksanaan tarekat mulai marak pada akhir abad XIX. Salah seorang ulama yang mengembangkan tarekat adalah Hasan Krueng Kalee (L. 1886). Orang tua Hasan bernama Teungku Muhammad Hanafiah, yang berasal dari Aceh Besar. Ia adalah sahabat dekat Teungku Syeikh Muhammad Saman Tiro (teungku Chik Di Tiro). Kakeknya juga seorang ulama besar yang bernama Teungku Syekh Abbas, putra dari seorang ulama bernama Teungku Syeikh Muhammad Fadlil. Menurut catatan sejarah keluarga, Teungku Syeikh Muhammad Fadlil juga anak dari ulama besar dan bapaknya juga anak dari ulama besar yang lain. Demikian hingga Teungku Hasan Krueng Kalee dapat dikatakan keturunan ulama tujuh turunan.
Hasan pernah menetap di Makkah selama tujuh tahun. Setelah mengajar di beberapa dayah almamaternya, pada tahun 1916 ia memimpin dayah Krueng Kalee peninggalan almarhum Bapaknya yang hampir tidak terurus lagi. Selama di Makkah mempelajari Tarekat Haddaiyah. Tarekat Haddadiyah adalah sebutan lain dari tarekat Alawiyyah. Tarekat ini lahir di Hadralmaut yang dibawa oleh Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir (selanjutnya Imam Ahmad). Ia adalah keturunan Nabi Muhammad SAW melalui garis Husein bin Sayyidina Ali bin Abi Thalib atau Fathimah Azzahra binti Rasulullah SAW.
Tarekat Haddiyah merupakan tarekat yang sangat sederhana, menekankan pada amal, akhlak, dan beberapa wirid serta dzikir ringan. Dengan demikian wirid dan dzikir ini dapat dengan mudah diamalkan dan dipraktikkan oleh siapa saja meski tanpa dibimbing oleh seorang mursyid. Ada dua wirid utama yang diajarkan dalam tarekat Haddiyah, yakni, Wirid Al-Lathif dan Ratib Al-Haddad. Dengan demikian dapat juga dikatakan, bahwa tarekat ini merupakan jalan tengah antara Tarekat Syadziliyah [yang menekankan riyadlah qulub (olah hati) dan batiniah] dan Tarekat Al-Ghazaliyah [yang menekankan riyadlah al-‘abdan (olah fisik)].
Di Aceh, Hasan Krueng Kalee merupakan orang petama yang mengemabangkan tareat Haddadiyah. Untuk memudahkan penyebaran dan pengambangan tarekat ini ia mnullis sebuah kitab yakni “Risalah Latifah”. Dalam kitab ini ia menjelaskan tatacara dan zikir yang diucapkan oleh salik. Kitab “tuntunan” yang dikarang Krueng Kalee menunjukkan keseriusannya dalam mengembangkan taswuf akhlaqi di Aceh pada awal abad XX.
Ulama lain yang mengembangkan tarekat di Aceh Teungku Muda Wali al-Khalidi. Ia pernah mengunjungi dayah Hasan Krueng Kalee, namun tidak menetap lama di sana. Ia merupakan pengembang Tarekat Naqsabandiyah di Aceh. Dayah yang dibangun di Blang Poroh Labuhan Haji Aceh selatan sampai saat ini masih menjadi pusat pendidikan agama dan pengajaran Suluk (tarekat) di Aceh. Setiap tahun didatangi ribuan salik yang akan melaksanakan suluk di dayah tersebut.
Saat ini terekat Nagqsabandiyah merupakan tarekat terbanyak diamalkan dan diikuti oleh masyarakat Aceh. Umumnya tarekat ini berkembang di dayah-dayah salafiyah baik di pedesaan maupun di kota-kota. Ini semua tidak terlepas dari pengaruh Muda Wali yang tersebar melalui murid-muridnya. Dayah-dayah besar di Aceh saat ini memiliki keterkaitan batin dengan Muda Wali. Ia menjadi salah satu syaikh yang dimasukkan dalam zikir-zikir para penganut tarekat Naqsabandiyah. Demikian juga ia menjadi “desainer” model pelaksanaan suluk di Aceh yang sampai saat ini masih dilaksanakan di dayah-dayah.
Selaian Muda Wali, di Pidie, tepatnya di Lueng Putu Pidie, pada akhir abad XVIII, lahir seorang ulama yang mencoba mensinergiskan tasawuf dengan syari’at. Ia dikenal dengan nama Teungku Disimpang. Ia pasti memiliki nama asli nama asli, namun kemuliaannya di mata masyarakat menyebabkan ia tidak dikenal dengan nama aslinya, namun lebih dikenal dengan nama laqab-nya.
Tgk. Disimpang menulis sebuah artikel panjang dengan judul Dawa’ al-Qulub min al-‘Uyub. Artikel ini dicetak dan disebarkan dengan beberapa artikel lain mengenai ibadah, fiqh, tasawuf dan lain sebagainya dalam Kitab Jam’ Jawami’ al-Mushhannafat, atau di Aceh di kenal dengan sebutan Kitab Lapan (Kitab delapan). Disebut delapan karena di dalamnya terdapat delapan artikel mengenai berbagai aspek keislaman.
Apa yang ditulis Tgk. Disimpang menunjukkan ia mencoba memposisikan tasawuf lebih “dekat” dengan kehidupan manusia modern. Ia menakankan pentingnya menghadirkan hati dalam setiap amal yang dilakukan manusia. Selain itu ia juga memberikan berbagai “obat hati” dalam menyelesaikan masalah kehidupan, tertama hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan dosa yang dilakukan manusia.
Dalam pemaparan yang diberikannya, terlihat Tgk. Disimpang amat dipengaruhi oleh pemikiran tasawuf al-Ghazali hampir seribuan tahun sebelumnya. Namun jels pemikiran tersebut masih relevan untuk kehidupan masyarakat modern di Aceh.
Selain perkembangan tarekat dan pemikiran tasawuf seperti di atas, ada juga sebuah usaha pemurnian tasawuf dari praktik yang tidak sesuai dengan kaidah syari’at Islam. Hal ini dilakukan oleh Abdullah Ujong Rimba, dengan mencoba menghapus praktik salek buta dalam masyarakat. Salik buta (saleek buta atau eleumee salek) yang berkembang di Aceh memiliki hubungan langsung dengan praktek tasawuf wujudiyah yang berkembang di masa pemerintahan Iskandar Muda dan seterusnya. Hamzah Fansuri yang menjadi tokoh utama perkembangan tasawuf di Aceh telah menyebarkan pemahaman dan praktek tasawuf dalam masyarakat.
Ujoeng Rimba menganggap praktek salik buta di Aceh berkembang di Aceh bertentangan dengan ajaran syari’at. Oleh sebab itu ia berusaha memberikan penjelasan kepada masyarakat mengani masalah ini. Bahkan untuk itu ia mengarang sebuah kitab dengan judul Pedoman Menolak Salib Buta. Dalam buku ini ia menjelasskan sejarah salek buta dan “kesesatannya”. Ia kemudian memberikan berbagai angkah untuk menolak dan memposisikan kaum salik buta tersebut.
Perkembangan tasawuf saat ini juga terlihat dari banyaknya jamaah muslim yang menekankan aspek tasawuf dalam gerakannya, diantaranta adalah Majelis Zikir al-Waliyah. Majelis ini dipimpin oleh Abuya Muhibbudin Wali. Ia adalah anak tertua dari Muda Wali al-Khalidi yang membawa dan mengembangkan tarekat Naqsabandiyah di Aceh. Majelis Zikir ini berupa sebuah kelompok Muslim yang mempraktekkan zikir tertentu dengan dipimpin oleh Abuya Muhibbuddin Wali sendiri. Bukan hanya di Banda Aceh, majelis ini juag ada di daerah-daerah yang berbasis dayah/pesantren.
Gerakan lain dalam hal tasawuf adalah Majelis Tauhid Tasawuf yang dibawa oleh Abuya Amran Wali. Ia juga anak dari Muda Wali. Tauhid tasawuf berupaya memurnikan tauhid kaum muslimin dengan pendekatakan tasawuf. Sebab dengan pendekatan ini maka seseorang akan memperoleh dua manfaat sekaligus, kedekatan dengan Tuhan dan kemurnian aqidah. Mejelis ini mengadakan pengajian bulanan di Dayah Talibul Huda Aceh Besar dan beberapa masjid lainnya. Gerakan ini berpusat di Aceh Selatan, di dayah Darul Ihsan, pimpinan Abuya Amran Wali sendiri.
Praktek tasawuf yang sangan nampak ada di dayah-dayah tradisional di seluruh Aceh. Selain sebagai subjek ajar, tasawuf juga menjadi salah satu kekhasan dalam dayah dengan pengadaaan Suluk dan Tawajuh. Suluk (Arab: salaka, yasluku) secara literal berarti melalui atau menempuh jalan; atau juga berarti perangai atau perilaku. Suluk selalu dikaitkan dengan aktivitas ruhaniah seseorang yang mengambil jalan tasawuf untuk menedekatkan diri kepada Allah. Dengan demikian, suluk adalah tasawuf yang diterjemahkan dalam praktek. Berbagai langkah dan metode teoritis yang dijelaskan dalam tasawuf dicapai dengan sebuah latihan yang berat dan disiplin tinggi. Dan suluk merupakan wujud dari latihan tersebut.
Dalam pelaksanaan suluk, para salik melaksanakan amalan suluk sesuai dengan mazhab tariqat yang dianutnya. Mereka dipimpin oleh seorang mursyid atau sering juga disebut dengan khalifah. Khalifahlah yang membimbig para salik agar mereka tetap pada jalan atau adab suluk yang telah ditetapkan sehiangga suluk yang mereka jalankan akan dapat mencapai tujuan yang mereka inginkan.
Gerakan lain di Aceh yang memiliki ruh tasawuf adalah Jama’ah Tabligh di Aceh Besar. Jama’ah Tabligh merupakan salah satu gerakan dakwah Islam yang berkembang di Aceh modern. Pada mulanya gerakan dakwah ini dikembangkan di India oleh Maulana Muhammad Ilyas (1885-1944). Aktifitas kemisian Jama’ah Tabligh dimulai pada 1926, ditandai dengan pergerakan dakwah dari pintu ke pintu yang dilakukan oleh Maulana Ilyas. Ia membawa sebuah pesan: “Ai Musalmano Musalman Bano” (Wahai kaum muslimin, jadilah muslim yang baik!). Ia menyentuh orang dengan pesan-pesan al-Qur’an dan Sunnah dan menjadikannya di atas segalanya. Dengan kegigihan, semangat, pantang menyerah, tidak kenal lelah ia mengabdikan seluruh hidup dan hatinya untuk menyampaikan apa yang dia sebut dengan misi para nabi, yakni membawa umat Islam denkat dengan Islam itu sendiri.
Di Aceh, Jama’ah Tabligh juga ikut berkembang. Saat ini hampir di sluruh Aceh terdapat Jama’ah Tabligh. Untuk saat ini (Agustus 2007) pusat dakwah Majelis Tabligh adalah di Desa Cot Goh, Montasik, Aceh Besar. Di sana sistem koordinasi dijalankan untuk seluruh jama’ah Jama’ah Tabligh di seluruh Aceh. Pada setiap kamis malam diadakan pertemuan yang dihadiri oleh semua jamaah yang mungkin menghadirinya (wilayah Kutaraja). Pertemnuan itu dikenal dengan uzlah, yakni pengasingan diri untuk beribadah kepada Allah dan belajar berbagai materi pelajaran agama.
Jama’ah Tabligh mimiliki misi dasar untuk mengajak umat Islam untuk mengamalkan ajaran-ajaran Islam dalam segenap aspek kehidupan. Pelaksanaan ajaran agama, terutama dalam hal ibadah, sangat ditekankan kepada jamaahnya. Jama’ah diharapkan melaksanakan ibadah-ibadah kepada Allah, bukan hanya ibadah wajib, namun juga ibadah sunat sebanyak mungkin. Jama’ah Tabligh percaya bahwa dengan ibadah inilah mereka akan dekat dengan Allah dan Allah akan memberikan segalanya kepada hamba tersebut.
Salah satu aktifitas dakwah yang dilakukan oleh jamah adalah khuruj. khuruj merupakan aktifitas jamaah yang dilakukan di luar lingkungan aslinya untuk berdakwah dan menebarkan ajaran Islam sebagaimana yang mereka yakini. Khuruj dibagi tiga, berdasarkan lamanya waktu yang dibutuhkan. Khuruj tiga hari, dilakukan selama tiga hari di mushalla di luar mushalla asalnya. Jamaah dari musalla yang satu datang ke mushalla lain untuk menjadi da’I dan menyampaikan misi dakwah di lingkungan mushalla tersebut. Khusruj 40 hari dilakukan selama 40 hari. Khuruj ini dapat dilakukan di luar kabupaten, atau provinsi.
Kesimpulan
Beberapa hal yang dapat disimpulkan dalam penelitian ini adalah bahwa perkembangan tasawuf di Aceh masa lalu menekankan tasawuf yang berbasis filsafat dan pendekatan diri dengan Tuhan dalam dimensi asketik murni. Faham ini dianut secara menyeluruh oleh masyarakat kerjaan Aceh pada masa Iskandar Muda, bahkan Iskandar Muda sendiri adalah salah seorang peganut tasawuf yang dikembangkan Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani tersebut. Selain itu pada masa ini para ulama “memprodukdi” ilmu, atau memiliki akses yang besar dengan dunia keilmuan Islam di Arabiya. Dengan demikian mereka melahirkan karya-karya besar dan mampu menjadi guru dalam sajarah tasawuf di Nusantara.
Namun dalam perkembangan modern di Aceh hal ini tidak ada lagi. Para ulama modern kebanyakan menjadi pelaksanana atau pengikut dari gerakan tasawuf yang sudah ada. Dalam berbagai praktek ajaran tasawuf yang ada di Aceh modern, hanya Jama’ah Tabligh saja yang menunjukkan sebuah gerakan kesufian dalam dunia modern. Namun sayangnya gerakan ini bukan sebagai sebuah konsekwensi perkembangan pemikiran tasawuf klasik di Aceh, namun merupakan unsur luar yang masuk ke Aceh dan memiliki pengikutnya di sini.
Dalam pendnagan penulis ini semua terjadi karena pengaruh modernisasi dengan dimensi materialistik dan konsumeristik yang mulai masuk dalam pemahaman agama masyarakat. Bukan hanya kehidupan sosial saja yang dinilai dengan uang, praktik ritual agamapun sering diukur dengan keuntungan-keuntungan finansial. Ini mengakibatkan cara pandang yang keliru menganai praktik agama, sehingga melahirkan politisasi agama demi kepentingan sesaat dan ragawi.
Pengaruhnya tentu saja pada stagnasi pemikiran dan rendahnya motivasi belajar dalam ilmu-ilmu keislaman “melangit,” sebagaimana dilakukan oleh ulama klasik. Masyarakat cenderung belajar dan mengirim anaknya untuk pendidikan yang menjanjikan pekerjaan dan “jaminan masa depan.” Dengan demikian lambat laun ahli dalma bidang agama teoritis mulai langka dan akhirnya menghilang sama sekali, sebagaimana kita saksikan saat ini.
Menurut penulis ajaran mana yg tepat di ikuti ? Dan abu amran sendiri di pihak hamzah fhansuri atau di mana ?
ReplyDeleteDalam kesempatan ini.Saya melihat tak ada link share untuk posting anda.Dan saya sangat mengharap dapat di sumbang beberapa rela tentang info dayah abu adnan ke blog saya.Kerna saya ada rencana belajar ketempatnya beliau dalam wkt singkat ini.Walau kuliah masih aktif apa bole di kata hati hendak demikian seperti yg tertuang dalam paragaf di atas.Saya tak akn mengata yg mengata demikian pemikiran klasik/kun0(dalam erti kalimat "jaminan masa depan") kerna emang demikian yg tetulis di dalam semua kitab.Mohon bantuan masukan infonya pak y.Tnks
ReplyDeletesaya tertarik dengan tulisan-tulisan yang anda tuangkan dalam blog ini. namun khususnya mengenai tasauf, saya melihat anda banyak hanya merujuk referensi2 barat dan moderen, artinya kurang merujuk kepada karya2 ulama klasik. padahal untuk memahami misalnya Ibnu Arabi, (sebagai pembanding)anda harus juga membaca karya2 klasik seperti Jawahir al-awaqid karya Sya'rani, Fatawa al-haditsah karya ibnu Hajar al-haitamy, I'anah al-thalibin karya abubakar al-syatha, al-hawi lil fatawa karya al-suyuthi dan lain lain dari kalangan ahlussunah.ini perlu supaya jangan terjadi kesalahpahaman mengenai Ibnu Arabi. perlu dimaklumi bahwa kebanyakan ulama ahlussunnah menjelaskan bahwa ibnu arabi terlepas sama sekali dari paham ittihat dan hulul (fantaisme) sebagai didakwakan sebagian umat Islam atas Ibnu Arabi. hal ini sudah dijelaskan oleh izzuddin abdussalam, al-suyuthi, Sya'rani, Ibnu hajar al-haitamy, abu bakar syatha dan lain-lain.
ReplyDeletedakwaan paham salek buta di aceh berasal dari paham ibnu arabi adalah sebuah kekeliruan besar yang dilakukan oleh peneliti hari ini.
wihdatul wujud yang dikembangkan oleh ibnu arabi tidak dapat disamakan dengan ajaran panteisme dalam dunia filsafat yunani yang berujung kepada ittihat dan hulul.ini dapat dipahami apabila anda banyak merujuk kepada ulama-ulama tempu dulu yang lebih dekat masa hidupnya dengan ibnu arabi dan lebih tahu siapa beliau.
wassalam
kunjungi blog kami : http://kitab-kuneng.blogspot.com/ mungkin bermanfaat
ohya, kami juga orang kota fajar, tepatnya kualabau, mungkin kita pernah bertemu ya, tapi saya sudah lupa di mana. selamat berjuang untuk aneuk nanggro aceh dan umat islam umumnya.
ohya, lupa tadi,
ReplyDeletekalau boleh, saya dikirim buku karya saudara, tasauf aceh. gratis kan ? hehe
mohon izin utk perbanyak sbg bahan kajian ulama aech utara
ReplyDeleteBAKSO ACEH BESAR
ReplyDelete