Thursday 16 April 2015

Tuhan Itu Apa Ayah? 5 Cara Menjawab Pertanyaan "Sulit" dari Anak Balita

Allah itu apa ayah? tanya Aqiel satu hari. Allah itu yang membuat kita semua. Rumahnya di mana? Dia tidak punya rumah. Kasihan Tuhan. Pertanyaan ini sudah saya duga pasti akan ditanyakan, cepat atau lambat. Semua orang tua yang punya anak pasti akan mendapatkan pertanyaan yang sama. Tidak peduli apapun agamanya. Kata 'Allah' atau sesuatu yang terkait dengan agama, merupakan salah satu kata yang sangat cepat dikenalkan kepada anak.

Setiap orang tua punya keinginan untuk memperkenalkan kepada anaknya masalah-masalah prinsip agama sejak dini. Selain sebagai ajaran agama, ini juga terkait dengan gengsi. Orang tua akan sangat bangga di depan orang lain kalau dapat menunjukkan anaknya yang masih kecil sudah paham agama.

Tapi banyak orang tua terkadang marah pada anak yang bertanya. Dari pada menjawab pertanyaan itu, ia malah melarang anak menanyakan hal-hal seperti itu. Tentu saja itu tidak benar. Bagaimanapun, anak memiliki hak untuk bertanya tentang apapun, dan kita sebagai orang tua harus menjelaskan kepadanya. Mungkin tidak sempurna, dan memang tidak ada yang sempurna, namun kita tetap harus memastikan ia memiliki jawaban atas pertanyaan apapun yang dia ingin ketahui.

 Dari pengalaman saya, ada 5 cara menjawab pertanyaan anak tentang sesuatu.
Prinsip Pertama: Jawaban Sederhana 
Allah itu apa? 
Ini adalah pertanyaan yang sederhana dan ditayakan oleh semua anak. Banyak orang tua berfikir keras untuk memberikan jawaban. Mereka mau jawaban yang paling benar. Kadang harus berfikir keras. Sampai lupa kalau anaknya menungu jawaban. 

Di sinilah perlu prinsip "jawaban sederhana". Sebagai orang tua yang percaya pada Tuhan, kita semua yakin memahami apa Tuhan. Namun, sejujurnya, apakah semua kita benar-benar bisa menjelaskan dengan sangat baik dan diterima oleh semua orang tentang Tuhan? Saya tidak bisa. Dan memang tidak ada yang mampu melakukannya. 

Itulah sebabnya kenapa ada banyak pendapat tentang Tuhan, banyak agama, dan bahkan ada banyak yang tidak percaya pada eksistensi Tuhan. Kalau memang tidak bisa, lalu kenapa kita perlu jawaban yang kompleks untuk seorang anak? Berikan ia jawaban yang sederhana saja. Ia akan terus bertanya di mada yang akan datang dan akan terus belajar seiring dengan pertumbuhan usianya. Seperti halnya kita: 
Apakah Tuhan yang kita pahami saat ini adalah "Tuhan" yang dijelakan oleh orang tua kita saat usia kita masih balita? 

Prinsip Kedua: Tanpa Kata Konseptual 
Ayah, kenapa Mobil bisa jalan? 
Karena ia punya ban. 

Saya membaca sebuah buku yang menjawab pertanyaan ini dengan kalimat: Karena mobil itu punya mesin dengan sistem engine yang mebuat bannya bisa berputar. Ban itulah yang membuat dia berjalan. 
Mungkin itu bisa dipahami pada anak Sekolah Dasar. Tapi, apakah anak SD akan menanyakan itu lagi? Saya yakin tidak. Balita tidak perlu jawaban yang konseptual. Cukup jawaban dengan kata-kata yang kita yakin sudah dimilikinya. Menggunakan kata konseptual justru akan menimbulkan pertanyaan baru lagi yang semakin sulit kita menjawabnya. Jawaban seperti di atas akan menyelesaikan masalah saat itu. Namun ia akan bertanya lagi di waktu yang lain tentang suara, mesin, mobil yang berbeda, dan lainnya. 

Prinsip Ketiga: Gunakan Logika Anak 
Ayah, kenapa air laut rasanya asin? 
Karena airnya mengandung garam. 
Siapa yang masukkan garam ke laut? 

 Anak memiliki logika sendiri yang kadang jauh lebih "tinggi" dari logika kita. Sering kali muncul pertanyaan yang kita tidak duga. Apalagi kalau kita "salah" menjawab pertanyaannya. Karenanya, diperlukan memahami logika anak tentang sesuatu. 

Apa yang ia pikirkan, apa yang ia bayangkan tentang sesuatu, dan kenapa pertanyaan itu diajukan. Saya sama sekali tidak memikirkan tentang pertanyaan kedua setelah saya menjawab alasan air laut asin. Namun ia tenyata berfikir, kalau ada garam di sana, pasti ada yang memasukkan. 

Prinsip Keempat: Berikan Perbandingan 
Ayah, Gereja itu apa? 
Itu tempat shalatnya Erik dan keluarganya. 

Anak saya punya seorang teman Katolik di sekolah. Saya tidak tahu apa yang terjadi di sekolah. Saat pulang ia mengajukan pertanyaan itu. Anak akan mudah memahami jawaban jika kita membandingkan dengan apa yang sudah ia pahami. 

Sebagai muslim, saya sering membawanya ke mesjid untuk shalat. Dengan mengatakan "gereja" sebagai "tempat shalat" ia akan paham bahwa keluarga Erik juga melakukan "shalat". Mungkin saat itu ia tidak berfikir bahwa "shalat" kami dengan "shalat" temannya berbeda. Tapi waktu akan membawanya ke sana, dan pasti akan menanyakan itu. 

Pinsip Kelima: Jangan Mengelak 
Seorang teman mengatakan kepada saya. "Anak tidak perlu diperkenalkan agama orang lain, yang penting ia paham agama sendiri." 

Menurut saya ini tidak sepenuhnya benar. Jika kita hidup dan tinggal di komunitas yang sama, semua muslim, mungkin itu ada benarnya. Namun saat kita tinggal di dalam masyarakat yang plural, anak dengan beragam agama dan warna kulit, kita justru harus mengajarkan perbedaan itu agar anak tidak menghina kawannya, atau mengatakan sesuatu yang menyinggung perasaan temannya. 

Kita tidak perlu merasa bahwa mengajarkan anak tentang agama yang berbeda akan merusak imannya. Di sinilah kita harus menunjukkan kemampuan kita sendiri dalam menjelaskan agamakita dengan logika anak tampa harus menghina orang lain. 

 Sebagai orang tua, kita perlu menjawab semua pertanyaan anak. Jangan pernah mengatakan: Jangan tanya itu. Ngak boleh tanya itu. Itu ngak perlu ditanya. Atau berkata: Itu urusan orang tua, ngak usah ditanya. Bagi saya, orang tua harus siap dengan semua jawaban atas semua pertanyaan anak, dan tidak pernah mengelak. 

Bagaimana pengalaman anda menjawab pertanyaan anak? Mari berbagi!.

No comments:

Post a Comment

5 Cara Menemukan "Masalah" Penelitian

Sepertinya tidak ada orang di dunia yang tidak ada masalah. Dari banugn tidur hingga tidur lagi orang selalu terlibat masalah. Bahkan tidu...