Friday 15 January 2010

Etnografi: Mendesain Metode Pembelajaran

(Selasa, 140110) Pagi ini kami pergi menuju Fakultas Ilmu Budaya UGM untuk menemui panitia pelaksana. Saya menjumpai Mas Sarwo dan Mbak Lala. Keduanya adalah panitia yang akan menghandel program ini di UGM. Kami menjumpainya di perpusatakaan antropologi UGM. Perpustakaan ini terletak di bagian paling Selatan Fakultas Ilmu Budaya UGM. Saya tidak masuk ke dalam perpustakaan. Namun nampaknya perpustakaan kecil saja, sebab bangunannya juga kecil dan rendah. Mas Jarwo menyalami kami dan memperkenalkan kami kepada Mbak Lala dan beberapa mahasiswa yang lain yang terlibat dalam program ini. Mbak Lala-lah yang menjelaskan program ini kepada kami secara lengkap. Sayangnya kami belum berjumpa dengan Mas Pujo Sumedi.

Dari informasi yang kami dapatkan ternyata program ini dilakukan untuk mahasiswa antropologi UGM secara rutin setiap tahun. Bahkan mereka memiliki daerah “praktek” yang tetap, di mana mereka mengirimkan mahasiswanya ke sana setiap tahun. Bahkan beberapa kali mereka juga mengirimkan mahasiswanya ke daerah lain di Indonesia untuk sebuah praktek penelitian etnografi. Namun demikian tidak tertutup kemungkinan untuk diikuti oleh mahasiswa yang lain, bahkan ada beberapa mahasiswa yang ikut adalah mahasiswa Pascasarjana yang belajar dengan Bapak Pujo Sumedi. Kami, dari Aceh adalah bagian dari acara ini dan bergabung dengan peserta yang lain di UGM. Panitia telah menyusun perencaan yang matang untuk acara ini. diantaranya, kami dari Aceh akan membayar Rp. 100.000,- sebagai peserta. Namun uang ini akan “dikembalikan” kepada peserta –bahkan ditambah Rp. 200.000 lagi- untuk diberikan kepada “ibu kos” saat berada di lapangan nanti. Sementara biaya transportasi akan ditanggung sendiri oleh pantia UGM.

Dalam misi kunjungan etnografi kali ini, panitia UGM memilih sebuah tema besar “Di bawah bayang-bayang cahaya kota.” Tema ini dipiliha berdasarkan gambaran umum lokasi penelitian. Menurut survey awal terlihat desa-desa yang ada di sana adalah desa transisi kepada perubahan yang ada di kota. Dengan jalan yang sudah bagus, aliran listrik yang lancar dan adanya singnal untuk handphone, maka semua perubahan yang ada di kota juga akan terjadi di desa. Mereka mengkonsumsi berita televisi sebagaimana yang dikonsumsi masyaraat kota. Demikia juga mereka mengkonsumsi suguhan iklan dan terpengaruh olehnya seperti halnya masyarakat kota. Sehingga berbagai pola hidup desa mereka merujuk pada pola hidup masyarakat kota. Di sisi lain mereka tetap tidak bsia melepaskan kehidupann pedesaan yang serba terbatas, seperti penghasilan, fasilitas kebersihan, sistim kehiudpan bersama dan lain sebagainya. Fenomena ini duterjemahkan ke dalam sub-sub kecil lain yang dapat dipilih oleh peserta. Ada sepuluh sub tema kecil, diantaranya, pemerintahan desa, konsumsi, kecantikan, agraria, dan pola kerja.

Esok malam, 15/01, semua peserta akan dikirim ke dua desa di Jawa Tengah. Desa yang dipiliha adalah Desa Lebak Barang dan Petung Proyono di Kecamatan Pekalongan. Daerah ini akan ditempuh selama enam jam perjalanan bus dari Jogjakarta. Panitia telah menyediakan bus wisata sebagai sarana transportasi yang akan membawakan semua peserta ke sana. Di sana akan dikumpulkan di kantor Koramil untuk makan pagi. Kemudian akan melanjutkan perjalanan ke dusun masing-masing dengan mobil pick up, satu-satunya sarana transportasi umum yang tersedia di wilayah kerja. Bagi saya ini bukan hanya sebagai sebuah cara belajar etnografi semata, namun juga sebuah perencanaan petualangan yang menantang.

Ada sebuah penggambaran umum yang diberikan oleh Mbak Lala tentang lokasi lapangan yang akan kami kunjungi. Lokasi ini adalah daerah perkampungan Jawa di mana banyak masyarakatnya yang sama sekali tidak bisa berbahasa Jawa. Secara geografis daerah tujuan ini adalah dataran tinggi yang dingin sehingga kami dipesan untuk membawa baju hangat dan pakaian secukupnya. Sebab ada kemungkinan di sana akan terjadi musim hujan. Bahkan saat di daerah lain musim kering di sana sering terjadi musim hujan. Banyak masyarakat yang pergi ke sawah dan ladang dengan menggunakan baju hujan. Desa-desa tujuan kebanyakan juga masih sangat sederhana dalam fasilitas publik, seperti toilet dan tempat mandi. Beberapa desa masih menggunakan pemandian umum di mana semua orang satu dusun mandi di sana.

Entah bagimana gambar sebenarnya dari lokasi itu, saya tidak tahu. Mudah-mudahan saya sampai ke sana dengan selamat dan dapat belajar menulis dan menceritakan kepada dunia tentang apa yang terjadi dalam salah satu bagian buminya.


Thursday 14 January 2010

Banda Aceh – Yogyakarta: Siapkah kita Menjadi Masyarakat Dunia?

Seperti telah direncanakan kami berangkat ke Jogja pada pagi hari Rabu, 13 Januari 2010 naik pesawat Lion Air. Tiba di bandara Banda Aceh hari masih sepi. Namun banyak calon penumpang yang sudah menunggu di lobby. Beberapa porter dengan sedikit ramah, atau berusaha meramahkan diri, menawarkan jasa membawa tas dan melakukan chek in. Di beberapa bagian lobby bandara tertulis jasa porter Rp.5.000,- untuk satu kali bantuan. Namun berdasarkan pengalaman beberapa teman, mereka harus bayar Rp. 30.000,- bahkan Rp. 50.000,-. Saya tidak tahu apa benar demikian atau pengakuannya saja. Saya sendiri lebih suka mengurus sendiri. Apalagi tidak banyak bawaan. Dalam pepergian seperti ini saya selalu berusaha meminimalisir bawaan. Cukup sebuah tas jinjing atau ransel dan sebuah tas pakaian yang saya masukkan ke bagasi.

Setelah chek in masih ada waktu setengah jam untuk keberangkatan. Kami masuk ke ruang tunggu. Sebelumnya semua calon penumpang harus bayar pajak bandara Rp.25.000,- Saya dengar dari beberapa teman, Indonesia adalah satu-satunya negara yang mengharuskan membayar pajak di bandara. Bahkan kalau mau ke Luar Negeri, kita harus merogoh kantong Rp. 100.000,- sekali bepergian. Di sisi penerima pajak ada bangku lain yang bertuliskan Sumbangan Untuk pembangunan Aceh Besar. Bangku ini dijaga oleh sepasang anak muda. Ketika saya tanya mereka menjelaskan bahwa sumbanguan itu sifatnya sukarela. Ya sudah, karena saya pernah tinggal di Aceh Besar, tidak ada salahnya memberikan sumbangan pembangunan Aceh Besar, Rp. 5.000,-
Bandara Banda Aceh yang sudah berubah menjadi bandara Internasional, saat ini telah dilengkapi berbagai fasilitas yang layak seperti bandara internasional yang lain di Indonesia. Saya sempat masuk kamar kecil sebelum masuk ruang tunggu. Kamar kecilnya rapi, bersih dan wangi. Sayangnya ada sisa pembuangan yang tidak habis disiram. Nampaknya “pengunjung” terakhir lupa menyiram buangannya. Fasilitas yang bersih dan indah ini menjadi tidak berarti di tangan orang yang tidak sadar. Saya jadi malu pada mbah Surip almarhum.

Di pintu masuk boarding terpampang sebuah banner yang bertuliskan tahapan orang masuk ke pesawat. Yang pertama adalah ibu yang memiliki bayi, orang tua dan orang cacat. Dilanjutkan dengan mereka yang duduk di kursi bagian depan, bagian tengah dan terakhir yag duduk di belakang. Namun tulisan tetap hanya menjadi saksi atas semua peritiwa. Tidak ada kepedulian dengan peraturan itu. Semua orang berdiri dan mulai masuk. Seorang bapak paruh baya yang mendorong kursi roda meminggirkan kursinya karena tidak bisa berdesakan dengan antrian. Hanya satu orang ibu dengan bayinya yang tetap antri dengan penumpang lain. Ia nampaknya sedang mengajarkan bayinya tentang kehidupan yang keras ini.

Turun di Polonia Medan 50 menit kemudian kami harus ikut turun juga. Turun sekedar melapor, masuk ruang tunggu, keluar dan naik pesawat lagi. Kalau cepat dan bukan waktu yang padat, proses ini selesai dalam lima belas menit. Namun tidak jarang harus antri lama hanya untuk mendapatkan secarik kertas bertulis “transit” lalu memberikan kembali kepada petugas dan kemudian naik ke pesawat kembali. Hal ini lumrah saja jika pesawatnya diganti, namun terkadang pesawat yang sama juga harus mengikuti prosedur itu. Prosedur ini dilakukan dalam semua perjalan dari Banda Aceh ke Jakarta atau sebaliknya jika singgah di Polonia Medan.

Dua jam kemudian kami sampai di Bandara Cengkareng, Jakarta. Ini adalah bandara Internasional yang besar. Saya tidak tahu apapkah ada yang lebih besar dari cengkareng di Indonesia. Sebagai bandara yang ada di pusat ibu kota maka bandara ini menjadi pijakan awal para pengunjung Indonesia dari berbagai belahan dunia dan berbagai daerah. Sebab sangat jarang ada penerbangan natar daerah di kepulauan besar di Indonesia tanpa melewati Jakarta. Ini adalah sisa sentralisasi ala Sueharto yang belum diubah oleh pemerintah saat ini sebab mereka sedang sibuk dengan Bank Century. Bandara Suekarno-Hatta adalah bandara yang besar. Saya bayangkan kalau lahan ini ditanami ganja mungkin hasilnya dapat menjadi devisa tunggal untuk pembangunan Indonesia sepuluh tahun mendatang. Napakat?

Masuk ke ruang tunggu, di sambut dengan dua loket asuransi kecelakaan pesawat terbang, sebuah lokat “Inspeksi Bandara” dan sebuah loket Palang Merah Indonesia. Banyak orang yang singgah di loket asuransi kecelakaan pesawat udara. Asuransi ini menjanjikan premi besar untuk para pelanggannya. Saya tidak pernah membayar asuransi ini. Padahal sangat jarang keajaiban terjadi pada kecelakaan pesawat untuk tetap hidup dan selamat. Kebanyakan adalah “Seluruh penumpang dan kru pesawat meninggal dunia.” Asuransi setidaknya dapat menjamin keluarga yang ditinggalkan terjamin keuangannya, sehingga terjamin pula pendidikan anak-anaknya. Namun siapa tahu saya mengambil asuransi? Kalau pesawat yang saya tumpangi kecelakaan dan saya mati, apakah keluarga saya tahu saya mendaftar asuransi? Kalau saya beri tahu, apa bukti yang dipegang oleh keluarga saya untuk mengklaim asuransi? Entahlah, mugkin satu saat saya ingin mendaftar asuransi untuk mengetahui jawabannya.

Masuk ruang tunggu selalu nampak beberapa sampah yang berserakan di lantai. Di antaranya minnuman kaleng dan botol air mineral yang diletakkan dipinggiran tiang yang di sana disedikan tong sampah. Jarak antara botol minuman kaleng yang masih tegak dengan tong sampah itu hanya 30 cm. Saya tidak yakin si pemiliki botol tidak melihat tong sampah. Mungkin ia berharap cleaning service membantunya.

Beberapa kamar kaca disedikan untuk perokok. Di setiap sekat dinding sepanjang lorong-lorong masuk ke ruang tunggu utama ditempel stiker tanda dilarang merokok. Sebuah spanduk besar digantung dengan tulisan dilarang merokokdi ruang ber AC. Namun di beberapa tempat terlihat terserak abu rokok, terutama di pinggir dinding dan tiang. Beberapa perokok, semua laki-laki dengan baju kaos oblong dan bersepatu, malah asik menikmati rokoknya di dekat sebuah famplet besi bertulis besar-besar, dilarang merokok. Dua petugas perempuan muda berbaju hijau mendatangi mereka dan meminta para perokok mamasukkan rokoknya ke dalam gelas yang diisi air. Beberapa perokok agak keberatan, tetap saja menghisap rokoknya di depan perempuan muda yang sedang menunggu dengan gelas di tangan. Meskipun akhirnya mereka mematikan rokoknya dan tertawa di belakang perempuan itu. Saya tidak tahu apa yang lucu dari peristiwa itu dan kenapa mereka tertawa.

Sebuah pot berisi pesanan kopi otomatis di sedikan di salah satu bagian ruang. Masukkan uang sejumlah harga yang ingin dipesan, tekan gambar kopi yang hendak di pesan, maka segelas kopi akan keluar. Ini merupakan fasilitas yang memudahkan para pelancong. Sayangnya banyak air yang tumpah di lantai dan bekar gelas yang berserakan. Beberapa orang yang menggunakan fasilitas itu hanya tahu cara membeli kopi tapi tidak tahu menjaga agar kopinya tidak tumpah di lantai.

Saat jam menunjukkan waktu seperi yang tertulis di tiket, tidak ada tanda-tanda keberangkatan ke Jogja akan dilakukan. Meskipun di sana ada beberapa awak Lion Air, namun tidak ada tindakan pemberitahuan yang diberitahukan. Semua menunnggu dengan diam saja. Setelah menunggu lebih dua puluh menit baru ada pengumuman bahwa pesawat siap diberangkatkan dan calon penumpang dipersilahkan memasuki pesawat dari jalan yang telah ditetapkan. Beberapa penumpang nampak membawa koper besar yang akan dibawa masuk ke dalam kabin pesawat. Biasanya laki-laki paruh baya dengan jaket dan sepatu mengkilat. Mereka nampaknya orang sibuk yang tidak bisa menunggu antrian di tempat mengambilan barang. Sayangnya aksi mereka sering mengganggu penumpang yang lain karena butuh waktu untuk memasukkan barang yang berat itu ke dalam kabin pesawat. Saat hendak turun sering kali terjadi “kemacetan” gara-gara mereka susah menurunkan barang bawaannya.

Demikian adanya bandara kita. Dari sisi fasilitas dan sistem nampaknya sudah cukup syarat untuk mengatakan bandara Internasional dengan dengan layanan internasional pula. Namun dari sisi perilaku dan budaya orangnya, terutama masyarakat pengguna jasa penerbangan, nampak masih sangat “lokal” dan tidak mengerti kalau mereka adalah bagian dari masyarakat dunia yang membangun peradaban bersih, rapi, disiplin dan menghargai orang lain. Berbagai aturan yang membawa pada ketertiban, kerapian, kebersihan dan keindahan bersama, tidak mendpat perhatian penuh dari penumpang. Membuang sampah sembarangan, merokok di tempat terlarang, menuangkan air di lanati, tidak mau menghargai ibu yang membawa bayi, orang tua dan orang cacat masih kerap kita saksikan. Dan ini menjadi pemandangan biasa dalam perjalan dengan pesawat terbang. Kita bisa membangun fisik yang berstandar internasional, namun tidak bisa membangun budaya yang universal.


Tuesday 12 January 2010

Belajar Etnografi ke Jogjakarta

Saya mendapatkan kesempatan yang langka. Kursus penelitian etnografi bersama teman-teman di Antropologi UGM Jogjakarta selama dua minggu (14-29/01/10), di bawah bimbingan “mbah” antropolog UGM. Menurut rancangannya, kursus ini bukan belajar di kelas mendengarkan kisah-kisah seru para antropolog di lapangan. Akan tetapi peserta langsung diturunkan ke lapangan, di sejumlah desa pedalaman Jawa. Di sana setiap peserta akan belajar sendiri dari kehidupan yang ada dalam masyarakat desa. Ini dilakukan dengan pengamatan, keterlibatan dalam aktifitas mereka dan melakukan wawancara dengan siapa saja yang dijumpai di sana, lalu mencatat dan mendeskripsikan.

Sebagai orang Aceh yang juga berasal dari pedalaman, bagi saya ini akan menjadi pengalaman menarik. Melihat dan membandingkan dua kehidupan sosial yang berada jauh dari ibukota. Sebab selama ini semua isue politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya diambil berdasarkan kehidupan masyarakat perkotaan semata. Ada memang ungkapan ekonomi rakyat, pembangunan masyarakat pedesaan, namun rakyat yang diuntungkan selalu rakyat kelas super seperti Anggodo Cs. Hasilnya, masyarakat pedesaan yang ada di pedalaman tetap hidup seperti alur takdir mereka tanpa ada kebijakan politik yang mengubahkanya. Mereka tetap saja sebagai komoditas yang dijual untuk isue pembangunan tapi menjadi korban dalam pembangunan itu sendiri.

Penahanan terhadap Lanjar (Kompas, 11/01) yang dituduh menyebakan kematian istrinya sendiri adalah contoh dari realitas ini. Seorang yang sama sekali buta hukum tiba-tiba harus menjadi pesakitan di depan meja hijau pengadilan. Belum lagi kesedihannya hilang, ia sendiri malah harus berhadapan dengan aparat hukum yang pongah. Sementara orang yang benar-benar menyebabkan kematian istrinya, menggilas dengan mobil yang bisa disaksikan mata dan memiliki bukti fisik malah dibebaskan dengan alasan tidak sengaja dan sudah berusaha menghindari kecelakaan. Pengemudi mobil bebas karena ia anggota polisi. Di negeri ini, polisi dan koruptor sering kali bernasib sama, bebas dari jeratan hukum.

Terlepas dari masalah itu, misi saya kali ini akan menjadi ajang menjawab sebuah pertanyaan lama yang pernah saya ajukan pada diri sendiri, yang hampir saja saya lupa; kenapa orang Jawa tidak memberontak kepada NKRI dan menuntut merdeka? Melihat potensi alam kemungkinan Jawa dan Aceh dan beberapa daerah lain di nusantara hampir seragam. Melihat keadilan kepada masyarakat yang diberikan oleh pemerintah, mungkin juga tidak jauh berbeda, masyarakat pedalaman adalah korban dan tumbal kebijakan pemerintah yang zalim, di Jawa atau di daerah lain di Indonesia Namun, tidak seperti masyarakat Aceh yang langsung memanggul senjata membela diri, masyarakat Jawa nampaknya lebih bisa menerima kenyataan ini dan menyatakan diri sebagai masyarakat pendukung setia negera. Mudah-mudahan jawaban pertanyaan ini bisa menjadi sebuah refleksi bagi saya dalam memahami masalah sosial dari perspektif yang lebih luas dan plural ke depan.

Saya juga berharap mendapatkan sebuah pemahaman yang “berbeda” dari kunjungan ke pedalaman Jogja dua minggu ke depan. Apalagi masyarakat Jawa selama ini selalu menjadi objek kajian menarik bagi antropolog. Kenapa orang Jawa begitu unik? Kenapa kehidupan mereka begitu berwarna? Apa yang ada di balik semuanya? Singkresisme-kah seperti yang dipersepsikan oleh Cliffort Geertz atau Islam mistik seperti dikatakan Woodward. Atau ada sesuatu yang lain? Mudah-mudahan kunjungan dua minggu ke depan dapat meberikan sedikit titik terang menjawab masalah ini. Wallahu’a’lam.

Aceh dan Warung Kopi

Kalau anda ke Banda Aceh belum lengkap rasanya jika belum duduk nongkrong di warung kopi. Bagi kebanyakan masyarakat Kota Banda Aceh, dan orang Aceh umumnya, warung kopi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari rutinitas kehidupan. Di Banda Aceh siapapun dapat dengan mudah menemukan warung kopi karena sangat banyak dan tersebar di mana-mana. Dari warung kopi pinggir jalan yang sederhana, tempat di mana orang tua lanjut usia duduk mengenang masa lalu mereka, sampai warung kopi yang dilengkapi dengan layar lebar untuk menonton pertandingan sepak bola Liga Eropa dan dilengkapi dengan fasilitas hotspot internet gratis. Bahkan belakangan ada warung kopi yang mengundang group band lokal untuk mentas di halaman warung mereka menghibur pengunjung.

Bagi saya pribadi, dan mungkin kebanyakan pencinta warung kopi di Aceh, datang ke warung kopi bukan hanya karena mau minum kopi saja. Sebab banyak teman saya yang datang ke warung kopi padahal ia bukanlah seorang penikmat kopi, apalagi pecandu. Kebetulsan saja saya adalah pengopi (?) aktif, meskipun tidak kecanduan. Di warung kopi banyak juga yang memesan minuman lain yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan kopi. Namun tetap saja mereka menjadi pelanggan setia warung kopi. Tidak ada hari yang dilewatinya tanpa duduk beberapa saat di warung kopi.

Belakangan ini warung kopi tumbuh subur di Banda Aceh. Dulu, sebelum tsunami melanda Banda Aceh pada tahun 2004 dan pada masa rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pasca tsunami, hanya ada beberapa warung kopi besar di Ulee Kareng yang dikenal dengn Solong. Sekarang, beberapa warung dengan kapasitas yang besar mulai bertumbuhan di berbagai penjuru Aceh. Anehnya, tidak terlihat warung kopi yang kosong dan sepi. Apalagi di waktu siang, sore dan malam hari. Bahkan beberapa warung kopi “berani” buka sampai pagi karena memang ada pelanggan yang mau duduk di sana berlama-lama.

Pengunjung warung kopi tidak terbatas usia dan jenis kelamin, meskipun ebanyakan laki-laki. Pada pagi hari banyak orang dengan pakaian dinas kantor tertentu duduk di warung kopi sebelum masuk kantor. Di beberapa warung kopi juga ada pekerja “kantor” lain, seperti nelayan, muge, petani, mahasiswa, ulama yang duduk menikmati minumannya. Demikian halnya siang hari, berbagai jenis orang ada di sana. Bahkan pada masa-masa awal pasca tsunami banyak bule yang datang membuat “kantor” di warung kopi. Makanya saya sering bercanda mengatakan, kalau persoalan disiplin di Aceh, bukan persoalan orang dan budaya, tapi persoalan tanah. Siapapun yang datang dan menginjak tanah Aceh, maka ia pasti tidak disiplin, termasuk bule-bule yang di negaranya sangat disiplin.

Duduk di warung kopi serasa duduk dalam sebuah tempat yang dikerumuni oleh lebah. Suara mendengung yang tidak teratur mengelilingi tempat duduk kita. Sebagian orang yang duduk di sana membicarakan sesuatu yang serius, sebagian lain hanya bercanda, ada juga yang nampaknya sedang curhat. Bahkan saya beberapa kali melihat ada orang menangis meskipun berusaha menyembunyikannya. Ini semua menunjukkan bagaimana warung kopi menjadi tempat di mana semua persoalan dibicarakan. Orang bicara tanpa rasa takut, tanpa tertekan, tanpa pesan sponsor dan “kepentingan.” Di warung kopi orang bisa berteriak, bisa tertawa terbahak, bisa berbisik, bisa berdiskusi, bisa mengatakan apa saja yang ia inginkan. Seorang teman saya yang suka menulis mengatakan ia sering mendapatkan ide di warung kopi untuk tulisan-tulisannya.

Sedikit tentang mendapatkan ide, beberapa teman yang aktif di LSM dan organisasi sosial keagamaan juga mengakui banyak program yang mereka jalankan awalnya adalah bincang-bincang di warung kopi. Bahkan beberapa pengusaha juga mengakui kalau mereka melakukan lobbi di warung kopi untuk meng-gol-kan proyek mereka. Pengalaman saya bersama beberapa teman mendirikan sebuah penerbit buku, Bandar Publishing, awalnya hanyalah sebuah diskusi lepas di warung kopi. Saat ini Bandar Publishing telah berhasil menerbitkan belasan judul buku mengenai Aceh. Itu semua berawal dari warung kopi.

Oiya, tulisan ini juga saya buat di warung kopi Dek Mie, Rukoh Darussalam Banda Aceh, Selasa, 120110. Selesai pas jam 12.00. WIB.

Monday 11 January 2010

Muhibah ke Negeri Jiran

(Catatan perjalanan ke Penang, 5-9 Januari 2010)
Awal Mula Kisah: Berharap Mimpi Pencari
Ini hanyalah catatan perjalanan saya ke Penang, Malaysia. Saya buat sekaligus sebagai latihan penelitian etnograi yang saat ini sedang saya pelajari. Saya pergi untuk menemani adik perempuan saya yang hendak berobat ke salah satu rumah sakit yang ada di sana, Lam Wah Ee, yang selama ini sudah mensulap banyak orang sakit menjadi sehat kembali. Namun kesempatan ini saya pakai juga untuk melihat-lihat berbagai perkembangan negeri orang dan mencoba belajar dari perkembangan tersebut. Apalagi ini adalah pengalaman pertama saya pergi ke Luar Negeri. Meskipun ke Penang saya yakin sekali akan mendapatkan banyak kesan mendalam karena ada emosi “pengalaman pertama” yang mendorongnya. Dan ketika sebuah emosi ada dalam hati saya, maka menulis menjadi sebuah hal yang sangat menyenangkan. Saya pasti bisa bergadang sampai larut malam.

Sebelum menuju Penang saya sudah membut beberapa persiapan. Saya mencoba membuka beberapa situs internet yang menyajikan info seputar kota Penang. Ternyata Penang “hanyalah” sebuah pulau kecil yang, mungkin, lebih besar sedikit dari pulauSabang di Aceh. Namun mereka menjadikannya sebagai pulau pendatang yang hendak mendapatkan kesembuhan. Saya menelusuri selok beluk rumah sakit yang akan saya kunjungi, Lam Wah Ee Hospital. Saya juga meminta saran dan “tips dan triks” beberapa teman yang sudah pernah datang ke penang untuk berobat. Dari seorang famili saya mendapatkan sebuah nomor hp yang dapat saya hubungi di Penang, namanya Pak Made. Beliau biasa membantu kelancaran urusan selama di Penang. Selain itu, saya juga menukarkan uang rupiah dengan uang ringgit Malaysia untuk persiapan di sana. Dan saya berangkat!

Dengan Fire Fly Menuju Tanah Seberang
Saya terbang ke Penang dengan Fire Fly. Pesawat ini adalah pesawat kecil yang hanya muat 72 penumpang. Selama ini Fire Fly memang bertugas mengangkut orang Aceh langsung ke Penang tiga kali seminggu. Penerbangan ke Penang ditempuh dalam waktu satu jam setengah. Saya sempat salah persepsi juga sebelum berangkat. Dalam tiket yang saya beli tertulis berangkat dari Banda Aceh jam 14.20 dan tiba di penang jam 17.00. Sementara waktu pulang, berangkat dari Penang jam 13.00, tiba di Banda Aceh jam 13.40. Ini sangat aneh, bagaimana mungkin pergi menghabiskan waktu lebih dua jam sementara pulang tidak sampai satu jam? Hampir saja saya menelpon penjual tiket kembali, takut mereka salah ketik. Ternyata, setelah mendapatkan penjelasan dari seorang teman, itu terjadi karena perbedaan waktu antara Banda Aceh dengan Penang. Dasar pemula, memalukan.

Pesawat ini terbang rendah. Saya tidak tahu pasti tingginya berapa. Namun dari atas pesawat masih terlihat jalan di pengunungan Krueng Raya sampai Lampanah Aceh Besar bahkan hingga –saya tebak- Laweng, Pidie. Demikian juga beberapa kapal nelayan yang agak besar terlihat dengan jelas. Lautan juga tidak nampak samar seperti kita terbang menuju pulau Jawa dari Banda Aceh. Awan hitam yang membawa ekstrak air laut yang akan diubah menjadi hujan juga berada di atas pesawat. Sehingga pandangan ke arah laut sama sekali hampir tidak terhalang oleh awan karena awan berada di atas pesawat. Alhamdulillah cuaca sangat mendukung perjalanan kami hingga kami bisa tiba dengan selamat ke pulau Penang. Saya akan menginjakkan kaki pertama kali di Luar Negeri pada umut 31 tahun. Saya malu sama Tuhan yang menciptkan alam begitu luas, tapi begitu sedikit yang bisa saya jajaki.

Penang: Menjawab Hipotesa
Kami sampai di Penang lima belas menit lebih cepat dari perkiraan. Seperti di bandara Aceh, di Penang juga Fire Fly parkir di tempay khusus. Tidak ada bus bandara yang menjemput. Setelah turun dari pesawat, kami berjalan kaki menuju bangunan utama. Tidak jauh, mungkin hanya 100 meter. Sepertinya jalan masuknya adalah jalan belakang. Sebab pemandangan yang tampak di sepanjang jalannya adalah peralatan kebersihan dan sejenisnya. Namun itu hanya sesaat, setelah naik tangga menuju lantai dua, kami langsung masuk ke sebuah ruangan panjang yang rapi, bersih dan nyaman. Di sepanjang jalan ruangan keluar tersebut orang berjualan, pakaian, elektronik, makanan, buku dan majalah, café, dan berbagai macam lainnya. Di sana pula berbagai jenis orang lalu lalang. Saya berjumpa dengan sekelompok orang yang nampak dari wajahnya berasal dari India yang semuanya memakai sarung warna orange dan tidak menggunakan alas kaki. Mereka duduk berkerumun di beberapa tempat di sepanjang lorong itu.

Setelah mengambil barang di lantai satu, saya keluar dan berjumpa dengan Pak Made yang telah saya telpon dari Banda Aceh. Ia tidak membuat kertas bertuliskan nama. Namun dari jauh ia sudah tersenyum. Saya tanya, kenapa ia bisa tahu kalau saya Sehat Ihsan Shadiqin yang telah menelponnya ketika di Bandara Banda Aceh? Katanya, wajah orang Aceh yang baru datang ke Penang sangat mudah di kenal. Saya tidak tahu apakah ia serius atau bercanda. Meskipun saya tidak yakin dengan jawabannya, namun yang pasti saya sudah berjumpa dengan Bapak Made.

Ia juga menunggu dua orang tamu yang lain. Ia menjelaskan ciri-ciri tamunya. Ternyata tamunya adalah pasangan suami-istri yang jumpa dengan saya di bandara Banda Aceh saat sebelum masuk pesawat. Agak lama juga menunggu mereka karena mereka harus mengisi lembaran kedatangan di air port Penang. Setelah mereka keluar kami menuju mobil pak Made yang sudah diparkir di depan. Sebuah mobil sedan Toyota keluaran tahun 1988. Dari sisi usia memang sudah agak tua. Namun dari sisi kesetiaan, kata Pak Made, saya tidak akan melepaskan mobil ini sampai ia benar-benar tidak mampu lagi atau pemerintah melarangnya. Saya tidak tahu juga apa makna setia pada sebuah mobil. Sebab betapa banyak orang mengungkapkan kata cinta dan kesetiaan, namun itu hanya kamuflase. Apatah lagi sebuah mobil yang tidak mengenal kata dan tidak punya suara, bagaimana cinta dan kesetiaan akan disampaikannya. Tapi ya sudah, Pak Made mengatakan demikian, saya percaya saja.

Menelusuri jalan kota Penang pertama kali ini saya hanya mampu mengatakan, “oo benar.. ooo benar..” atas apa yang saya lihat. Ungkapan itu adalah sebuah pembenaran dari apa yang selama ini sering diceritakan oleh teman dan kenalan yang pernah pergi ke Penang, tentang keteraturan, kebersihan, keindahan, kerimbunan dan lain sebagainya. Jalan yang lebar dan teratur, tidak ada motor kebut-kebutan, tidak ada mobil salip-salipan, tidak ada perlombaan klakson, tidak ada penampilan sok jagoan di lampu merah, tidak ada. Orang berjalan sesuai dengan relnya. Berhenti di lampu merah, berjalan di satu jalur, tidak mendahului dari jalur kiri, tidak mengklakson mobil (karena memang tidak perlu), sehingga semua berjalan teratur. Alangkah indahnya. Apalagi keindahan ini didukung oleh alam yang indah. Pepohonan tumbuh hijau di sepanjang jalan dan di sekitar bangunan. Di sekeliling bangunan apartemen yang menjulang ada kerimbunan pepohonan. Burung-burung berkembang biak dengan bebas dan tidak ada yang memburu dan menangkap mereka. Mereka terbang sembarangan di mana suka dan menjadi sebuah pemandangan yang menakjubkan.

Yang menarik juga adalah tidak terlihat tiang listrik dengan talinya yang menggantung di sepanjang pinggiran jalan. Namun tidak pernah terdengar kota Penang mati lampu. Di Banda Aceh tali listrik ada di mana-mana dan lengkap, namun mati lampu juga terjadi kapan saja, lengkap. Tidak adanya tali listrik yang nampak mungkin juga menjadi sebab pepohonan di pinggiran jalan bisa tumbuh dengan baik dan subur. Di Banda Aceh ada usaha untuk menanam pohon di pinggiran jalan untuk menjadikan kota yang rindang, namun selalu dipangkas oleh petugas PLN. Mereka sangat takut pepohonan tinggi melebihi kabel listriknya. Jadi, kalau pemerintah sekarang berusaha membasmi illegal logging, maka basmi dulu PLN yang dengan sengaja dan terencana menggunduli pepohonan di dalam kota sehingga sampai kini pepohonan tersebut tidak bisa tumbuh dengan baik. Eh, kok jadi membahas PLN, cukuplah sewaktu di Banda Aceh marah-marah pada PLN karena mati lampu. Maafkanlah mereka.

Pak Made: Berbisnis Sambil Sekolah
Siapa Pak Made? Ia seorang dosen di Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Asalnya dari Bali. Saya tidak tahu bagaimana ceritanya ia bisa terdampar di Banda Aceh dan menjadi dosen di Fakultas Dakwah. Ia menikah dengan seorang mahasiswinya yang berasal dari Pulau Sabang. Tahun 2002, ia melanjutkan pendidikan magisternya ke Universitas Sains Malaysia (USM) dalam bidang pengkajian Islam. Ia diwisuda tahun 2008 dan langsung melanjutkan pendidikannya di jenjang Doktoral di universitas yang sama hingga saat ini. Saya tidak tahu bagaimana ia bisa sekolah lebih dari empat tahun di program magister. Sebab sepengetahuan saya, beberapa universitas di Malaysia akan men-DO-kan mahasiswanya yang tidak menyelesaikan dalam empat tahun. Yang pasti ia wisuda tahun 2008 yang lalu.

Di luar kampus ia menjadi penerjemah bahasa Indonesia di pengadilan Malaysia yang mengadili warga negara Indonesia yang bermasalah di Malaysia. Hal ini bermula dari kemampuan bahasa Melayu-nya yang sangat baik dan penguasaan terhadap beberapa bahasa daerah di Indonesia, Jawa, Batak, Aceh, Padang, dll. Setiap kali ada undangan dari pengadilan, ia segera menuju ke Kuala Lumpur dengan sedan tuanya. Bahkan pada hari kami datang, ia dijadwalkan ada sidang di Kuala Lumpur, namun di tunda karena ada masalah, makanya ia sendiri yang menjemput kami.

Di luar itu, ia menjadi guide untuk masyarakat Aceh dan Sumatera Utara yang berobat ke Penang. Sejak tahun 2000 banyak sekali masyarakat Aceh yang berobat ke Penang. Hal ini terkait dengan suasana konflik dan persoalan rumah sakit yang tidak memuaskan di Aceh. Selain mahal, rumah sakit di Aceh juga sering salah diagnosa hingga salah memberi obat, sehingga banyak orang memilih berobat ke Penang. Banyak cerita yang beredar, setelah berobat di Penang, orang yang sembuh kembali. Nah, untuk memudahkan mereka datang berobat ke Penang, Pak Made menyewa apartemen. Ia akan menjadi guide bagi orang yang hendak berobat dengan menawarkan antar jemput ke Bandara Penang, apartemen yang dekat dengan Rumah Sakit, dan bantuan penunjukan cara berobat. Dari sini orang harus membayarnya. Namun ia mengenakan tarif yang wajar dan bantuan laiknya keluarga. Inilah yang menjadi “bisnis” Pak Made sambil menyelesaikan kuliah. Eh, atau ia kuliah sambil memajukan bisnisnya? Enathlah, yang pasti Pak Made melakukan dua-duanya. Apakah kuliah ataukan bisnis yang utama, hanya Pak Made yang tahu dengan pasti.

Dari info sekilas yang pernah saya dengar dari berbagai sumber, selain Pak Made banyak juga “agen” berobat di Penang ini. Mereka memiliki peran yang sama, menjemput ke bandara, menyedikan tempat tinggal dan menemani berobat di Lam Wah Ee atau rumah sakit lain di Penang, terserah si sakit dan keluarganya. Bahkan beberapa di antara mereka membuka sebuah usaha Travel di Banda Aceh dengan promosi konsultasi berobat ke Penang. Banyak orang yang merencanakan berobat ke Penang langsung menghubungi travel dimaksud untuk memudahkan mereka sesammpainya di Penang.


Apartemen: Tempat Tinggal tanpa Rumah

Setelah melakukan perjalanan sekitar 20 menit, kami sampai di sebuah apartemen 20 lantai di mana Pak Made tinggal. Sejujurnya, ini adalah pengalaman pertama saya “masuk” apartemen bertingkat 20 seperti ini. Saya tidak dapat bayangkan bagaimana orang bisa tinggal bersama dalam tempat seperti ini. Di mana mereka mau santai sore-sore? Di mana mau menanam bunga? Di mana mau pelihara ayam? Di mana mau olah raga kecil-kecilan? Pasti mereka sangat menderita. Bagaimana kalau sakit mendadak? Bagaimana kalau kebakaran? Bagaimana kalau meninggal dunia? Bagaimana kalau ada pencuri atau perampok yang masuk? Bagaimana parkir mobil? Inilah pertanyaan bodoh saya ketika pertama kali melihat apartemen ini. Dan ketika saya mulai menginjakkan kaki di apartemen itu, beberapa hal yang langusng terjawab.

Pak Made memarkir mobilnya di nomor 361. Katanya, ini adalah tempat parkirnya, dan mobil lain tidak boleh parkir di sana. Jika ada mobil lain yang parkir di sana, ia akan segera melapor ke satpam dan satpam langsung mengunci mobil yang bersangkutan. Akan dikenakan denda yang besar untuk pemarkir yang salah. Kami naik ke atas, dan apartemen Pak Made ada di lantai satu. Susah bagi saya untuk membayangkan rumah dengan model seperti apartemen ini. Ada dua pintu yang berdekatan, keduanya memiliki pintu besi sebagai pengaman. Saya bayangkan itu hanyalah sebuah kamar kecil saja. Ternyata begitu masuk, apartemen Pak Made adalah sebuah rumah dengan empat kamar. Kamar tamu dan dapur yang lumayan luas untuk seorang perantau. Kamar makan, ruang tamu dan ruang kelaurga bergabung jadi satu. Tapi ini adalah sebuah rumah, bukan sebuah kamar seperti saya bayangkan.

Tapi tinggal di tempat seperti ini sungguh tidak nyaman. Hidup benar-benar menghabiskan waktu untuk menunggu mati. Sepertny sangat sulit sebuah relasi sosial terbangun dengan kehidupan seperti ini. Antar orang dan tetangga tidak saling mengenal. Tidak ada tanggung jawab sosial yang kuat yang akan terbina. Setiap orang akan melakukan kegiatannya sendiri. Pergi pagi hari pulang sorenya. Selanjutnya mereka berdiam di dalam rumah mereka masing-masing. Menggunci pagar besi di depan dengan kunci gembok yang besar dan kuat sehingga mereka sendiri susah membukanya. Ini adalah sebuah penjara yang dipilih sendiri.

Setelah disuguhi makan, pak Made menjelaskan bahwa saya akan menempati ruangan lain di lantai 17. Bagi saya ini menyanangkan sebab pasti dari lantai 17 akan terlihat banyak bagian dari kota Penang. Dan di sana, katanya, ada seorang lain yang sudah datang lebih dahulu. Ia juga orang Banda Aceh yang membawa temannya untuk operasi batu ginjal. Istri Pak Made mengantarkan kami ke lantai 17. Saat hampir tiba di kamar saya mencium bau kemenyan yang meyengat. Ternyata tetangga kami adalah orang India. Ia menggantungkan dedaunan dan tulisan mantra di depan kamarnya. Di sisi kamar sebelah kiri warga Tionghoa yang di dalam ruangannya nampak dua ekor anjing yang sedang bercanda dengan anaknya yang mash balita. Sungguh menakjubkan.

Ketika kami istirahat maghrib, seorang laki-laki sebaya saya masuk. Ternyata ia bernama Alimuddin, orang yang tadi diseutkan Pak Made telah duluan tinggal di sana. Ia mengantarkan temannya ke Lam Wah Ee. Ia berasal dari Peukan Bada, Aceh Besar, daerah yang luluh lantak dihantam tsunami. Ia dulu kuliah di Fakultas Ekonomi Unsyiah, masuk tahun 1997. Berarti kami kuliah seangkatan. Ia sudah ada di Penang selama empat hari. Temannya tidak bisa dioperasi karena darahnya masih 200. Mereka sedang menunggu darahnya normal. “Kemungkinan besok,” katanya.

LamWah Ee: Rumah Sakit Cina dan India
Malamnya saya mengikuti Alimuddin pergi ke Rumah sakit Lam Wah Ee yang ternyata hanya 300 meter dari apartemen. Turun dari Apartemen, menyebarang jalan, ke kanan 200 meter sudah masuk komplek Rumah Sakit. Sekilas, bagunannnya biasa saja, tidak terlalu besar. Jauh lebih besar Panti Asih di Yogyakarta, Apalagi RSCM. Namun ketika masuk ke dalam komplek rumah sakit itu perbedaan dengan rumah sakit Indonesia langsung nampak. Yang jelas pertama adalah parkir yang sangat teratur. Sepertinya mereka mengukur potensi jumlah orang yang akan berkunjung dengan luas lahan untuk parkir. Sehingga seberapa banyak orang yang datang ke sana dengan kenderaan tidak akan menemukan kesulitan untuk parkir. Lahan parkirnya luas dan cukup. Dan yang paling menyenangkan adalah tidak ada orang sebagai “petugsa parkir” di sekitar itu namun kenderaan berjejer rapi dan mudah keluar masuk.

Ketika masuk ruangan, aroma ketenangan mulai menerpa. Di front office duduk orang dari beragam etnis yang selalu memamerkan senyum. Tidak ada antrian malam itu karena jam kerja “resmi” sudah tutup. Namun ruangan di sana nampak bersih dan teratur. Tidak ada gelaran tikar di sepanjang lorong seperti di Rumah Sakit Banda Aceh, kotaku. Yang ada hanyalah lalu lalang perawat, pasien dan pengunjung yang tertip. Pemandangan ini pula yang tersaji sampai ke lantai lima, di mana teman kami terbaring. Dia masuk ruang sal. Bersih dan memiliki fasilitas sentral yang terkontrol.

Saya pulang setelah 30 menit di sana. Sepanjang jalan Alimuddin bercerita mengenai kehidupan di kota Penang. Di mana belanja, di mana makan, di mana ada orang Aceh jualam mie, di mana orang Padang jualan nasi dan lain sebagainya. “Kalau lihat wajah Aceh, bicara saja bahasa Aceh pasti mereka orang Aceh,” katanya. Sebab di Penang adalah surga pengobatan bagi masyarakat Aceh.

***

Jam tujuh pagi keesokan harinya Pak Made menelpon saya dan mengajak langsung ke rumah sakit untuk registrasi. Katanya kalau telat akan masuk antrian terlalu panjang. Kami datang ke sana dan dapat antrian nomor 12. Registrasi di CS yang memang ada di ruang lobby. Di sana juga sudah banyak orang lain dari berbagai ras. Saya teringat saat tsunami di Banda Aceh lima tahuan yang lalu. Beragam jenis orang ada di sana. Dan di sini, di Lam Wah Ee, sedikit mirip. Bedanya jarang-jarang ada orang eropa. Kebanyakan mereka –dugaan saya- adalah China, India, Thailand dan Melayu dan Aceh. Ternyata dalam masyarakat seperti ini orang Aceh bisa ditandai dari raut muka dan cara pakaiannya.

Sambil menunggu antrian ada bincang-bincang menarik dengan Pak Made. Katanya, belakangan ini, tepatnya dalam tiga bulan terakhir, sudah agak berkurang orang pergi berobat ke Penang. Dulu apartemennya sering penuh dari pada kosong. Sebaliknya sekarang lebih banyak kosong dari pada penuh. Dulu ia menyewa tiga apartemen, satu untuk ia dan keluarga, dua yang lain disewakan kepada tamu yang datang berobat. Sekarang tinggal dua apartemen, satu untuk keluarganya dan yang lain disewakan. Sewa apartemen yang mencapai RM 800 setiap bulan tidak mungkin ditutupi kalau pengunjung ke Penang seperti sekarang. Bahkan ia mengatakan kalau dalam waktu enam bulan ke depan masih seperti sekarang, akan banyak pengusaha di penang yang tutup buku.

Menurut analisis Pak Made, ini ada hubungannya dengan semakin membaiknya kualitas rumah sakit di Banda Aceh. Rumah Sakit umum yang dibangun atas bantuan Pemerintah Jerman telah menyediakan ruangan representatif dan fasilitas pengobatan yang cukup. Selain itu sudah ada “persaingan” diantara rumah sakit di Banda Aceh dengan hadirnya beberapa rumah sakit swasta dengan pelayanan yang sangat baik dan memuaskan. Masih menurut Pak Made, ongkos berobat di Banda Aceh juga sudah murah. Seorang perempuan yang melahirkan hanya Rp. 250 ribu, Operasi katarak Rp. 80 ribu. Bahkan sudah mulai ada kejujuran di kasir. Misalnya ia tidak menggenapkan uang kembalian. Biasanya kalau ongkos Rp. 84.000,- langsung digenapkan menjadi Rp. 85.000,- dengan alasan tidak ada uang pecah. Sekarang tidak, uang tetap dikembalikan sebagaimana adanya. Saya sangat ingin mendapatkan cerita ini di Banda Aceh, dari orang Banda Aceh yang pernah berobat di Rumah Sakit Umum Banda Aceh. Mudah-mudahan segera.

Saya mendaftar pada dokter Orthopaedic untuk adik saya. Ada tiga dokter Orthopaedic di Lam Wah Ee, Mr Tan Boon Hoo, Mr Khaw Kar Teng dan Mr Tang Weng Chong. Menurut Pak Made, ketiganya memilki kapasitas dan kualitas keilmuan yang sama. Hanya saja dari sisi pelayanan Mr Tang jauh lebih ramah dan bersahabat. Saya disarankan untuk berobat kepada Mr Tang saja. Sebagai orang yang sama sekali belum mengenal siapapun di sini, saya taqlid saja dan mendaftar kepada Mr Tang. Mr Tang menempati ruang pemeriksaan nomor tujuh. Dan ia masuk pada jam 10 pagi sebab sebelumnya ia harus memeriksa pasien rawat inap di rumah sakit tersebut. kami kembali ke Apartemen.

Dari brosur yang saya ambil di CS di mana ada daftar nama-nama dokter yang melakukan praktek di Lam Wah Ee, nampaknya memang mayoritas etnis China, ini terlihat dari nama-namanya. Beberapa nama kemungkinan nama India, dan hanya ada dua nama Melayu. Yang menarik bagi saya adalah dalam brosur itu juga dicantumkan lulusan si dokter. Umumnya menyelesaikan pendidikan di tiga universitas luar negeri, bahkan beberapa diantaranya dari lima universitas. Saya tidak tahu apakah dalam daftar itu termasuk lulusan S1-nya atau hanya spesialis. Soalnya dalam brosur itu hanya tertulis kode bidang keahlian dan kota universitasnya. Namun dari daftar itu membuat kita yakin kalau mereka memang orang yang punya kapasitas dalam bidangnya. Banyak yang lulusan Inggris, Perancis, USA, Australia, dan beberapa kode kota lain yang saya tidak tahu. Dan banyak pula lulusan Singapura dan Malaysia sendiri. Kebetulan tidak ada lulusan Indonesia.

Jam sepuluh pagi kami kembali ke Lam Wah Ee untuk berobat. Datang ke sana saat tempat duduk telah dipenuhi oleh pasien. Adik saya duduk diantara pasien-pasien yang sudah datang sebelumnya. Tidak ada tanda-tanda pemanggilan nomor antrian. Ketika seorang perawat keluar dari ruangan saya melaporkan kedatangan saya dan ia meminta kami untuk menunggu karena dokter belum masuk. Beberapa saat kemudian dia keluar lagi dan memberikan saya nomor antrian, nomor tiga.

Kami dipanggil tidak lama setelah nomor antrian diberikan. Nampaknya pasien yang datang sebelum kami hanya konsultasi pasca pengobatan saja. Kami juga tidak terlalu lama. Setelah ditanyakan penyakit, diperiksa, lalu diberikan sebuah catatan untuk di bawa ke ruang rotgent. Kami menuju ruang itu dan menunggu antrian. Hanya satu jam, semua proses rotgent sudah selesai dan hasilnya sudah bisa diambil. Kemi kembali ke rumah ruang dokter untuk memberikan hasil rotgent tersebut. Ia memeriksa agak lama dan menganalisisnya. Saya melihat ia membuka komputer di meja kerjanya dan melihat gambar-gambar yang berkaitan dengan struktur bagian yang sedang diperiksa. Lalu ia memberikan penjelasan panjang lebar kepada kami dan apa yang harus kami lakukan. Kesimpulannya, operasi dengan biaya sekian. Kami harus berhenti sementara dan pulang ke Banda Aceh untuk mencari biaya. Mudah-mudahan nanti Allah mudahkan rizki dan Allah sembuhkan segala penyakit.

Dasar Indon!
Saya mendengar mengenai ejekan orang Malaysia mengani orang Indonesia dengan ucapan Indon. Meskipun saya tahu itu menyakitkan dan melecehkan harga diri sebagai sebuah bangsa, namun saya belum pernah mengalaminya sampai saya datang ke Penang kali ini. Ceritanya saat saya dan adik mau jalan-jalan ke salah satu pusat perbelanjaan di Komtar, Penang.

Perjalanan ke Komtar ditempuh selama 20 menit dengan bus Rapid. Bus full AC yang sangat nyaman dan berjalan dengan tenang ini sangat jauh berbeda dengan angkutan umum di Banda Aceh. Saya tidak tahu di kota lain di Indonesia. Setiap penumpang masuk dari depan dan memasukkan uang RM 1.40 ke dalam sebuah box yang ada dekat sopir. Sopir akan memberikan secarik kertas sebagai tiket. Saat saya duduk di bangku belakang sopir, sementara beberapa orang yang sekalian naik dengan saya langsung ke belakang duduk di permukaan yang lebih tinggi. Setengah perjalanan saya baru lihat di dinding samping saya duduk ada logo nenek tua pegang tongkat. Saya lihat di sekitar saya, benar saja semuanya orang tua dan satu orang anak muda yang naik dengan menggunakan tongkat. Saya jadi malu dalam hati sebab kursi ini ternyata diperuntukkan kepada orang tua dan orang cacat saja.

Di salah satu dinding bus saya juga baca kalau tiket harus dipegang sampai yang bersangkutan tiba di tujuan. Kalau tiket hilang maka akan di finalti dengan RM 4. Namun beberapa orang yang naik, terutama orang tua saya lihat tidak memberikan uang RM 1.40, namun ia menunjukkan sebuah kartu dan hanya memasukkan uang beberapa sen. Mungkin mereka subsidi pemeirntah. Ada juga yang hanya menunjukkan sebuah kartu kepada sopir dan mereka tidak bayar lagi. Mungkin mereka berlanggaganan. Saya sempat berfikir, kalau kartu seperti itu disediakan di Banda Aceh, pasti semua orang akan memilikinya. Sebab akan banyak perusahaan yang mampu membuat duplikasinya. Apalagi Sopir tidak peduli apakah kartu itu asli atau palsu.

Sepanjang kunjungan inilah saya melihat bagaimana beberapa orang di sana memandang orang Indonesia. Kejadiannya saat saya masuk ke sebuah toko batik. Saya mau beli pesanan istri yang katanya ada kain khas Malaysia yang lembut dan bagus untuk baju jubah. Toko itu dijaga oleh seorang warga Malaysia etnis Cina. Saat saya masuk dan melihat-lihat kain batik ia mengatakan, kain batik ini asli made in Malaysia, buatan tangan bukan seperti batik Indon yang dibuat pakai mesin. Saya langsung terbayang kata “indon" yang berkonotasi tidak baik. Dan itu membuat saya sedikit emosi dan ingin “membalas” atas kelakuan si penjaga toko tersebut. Lalu saya katakan, ya sudah tidak jadi saya beli. Di Indonesia batik beginian sangat banyak dan jauh lebih murah. Datanglah ke Indonesia nanti saya bawa ke pasar Batik. Lalu saya keluar dari toko itu dan pergi. Saya tidak yakin kata-kata saya dapat memberi pelajaran kepadanya, namun setidaknya sedikit kemarahan saya sudah terlampiaskan.

Pengalaman ke dua ketika saya mau beli jeruk. Saya menanyakan berapa harganya, penjualnya yang kebetulan juga etnis Cina mengatakan RM 6. Ia langsung mengambil jeruk dan mengisi ke dalam plastik. Saya bilang saya tidak mau kalau RM 6, saya mau RM 5. “Tidak boleh, ini jeruk bagus masih baru”. Seorang temannya yang lain mengatakan dari jauh, “kau kasihlah kat Indon tu.” Lagi-lagi saya emosi dan tersinggung. Saya bilang tidak jadi membeli jeruk sampai menjauhinya. Ia masih memanggil dan mengatakan boleh RM 5, saya tidak mau lagi. Yah… merajuk lah sedikit, kira-kira begitu.

Naas bagi saya saat pulang kembali ke apartemen. Saya naik bus Rapid sebagaimana saya pergi tadi. Saat antri di stasion saya sudah lihat sekelompok perempuan yang menyandang tas Vincci. Vincci adalah sepatu atau sandal made in Malaysia. Banyak yang mengatakan kalau kualitasnya bagus tapi harganya jauh lebih murah jika dibeli di Penang di bandingkan dibeli di Indonesia. Saya tahu juga mereka orang Indonesia dari bahasanya. Saya tidak tahu pasti asal mereka. Dari pakaian pasti bukan Aceh. Mereka semua bicara bahasa Indonesia. Ciri Indonesianya juga terlihat saat mereka naik ke dalam bus. Mereka naik berdesak-desakan dan ingin mendahului temannya sendiri. Orang lain “tersingkir” dan mengalah saja dan membiarkan mereka naik berebutan.

Sepanjang jalan, ketika seseorang hendak turun mereka menekan bel sekali saja. Bel akan berbunyi tiga kali dan pasti didengar oleh sopir karena tidak ada yang berbicara di dalam bus kecuali bisik-bisikan kecil. Setelah bel ditekan maka sopir akan mencari halte paling dekat dan berhenti, membuka pintu bus dan penumpang turun dengan tertip. Penumpang dari Indonesia ini, seperti juga saya akan turun di sebuah apartemen sebelum sampai rumah sakit Lam Wah Ee. Pada tikungan terakhir sebelum masuk ke jalan menunju rumah sakit, seorang penumpang menekan bel. Namun sopir tidak berhenti karena masih di tikungan dan tidak ada halte. Seorang mulai berteriak “kami turun di sini, kami turun di sini. Pak sopir, kami di sini.” Ia diikuti oleh beberapa yang lain sambil menekan bel. Berkali-kali bel berbunyi karena terus ditekan sambil meneriakkan “kami turun di sini”. Tapi sopir masih belum menghentikan busnya krena tidak ada posisi yang pas dan tidak ada halte. Namun para penumpang ini tidak tahu, mereka terus berteriak seperti anak kecil minta permen. Saya lihat sedikit perubahan pada wajah sopir saat meminggirkan busnya di tempat yang tidak ada halte, mungkin ia tidak tahan lagi dengan ulah penumpangnya, lalu berhenti di tengah jalan. Ketika menekan tombol pembuka pintu, sebuah kata keluar dari mulut si sopir, “Dasar Indon”.

Melayu yang tertindas

Pagi ini kami hendak pergi ke Kuala Lumpur. Ini adalah rencana tiba-tiba yang tidak saya perkirakan sebelumnya. Namun karena berobat sudah selesai sementara waktu kami masih ada dua hari lagi sebelum pulang ke Banda Aceh, maka kami putuskan untuk bepergian ke Penang. Apalagi di sana ada teman-teman yang bisa saya kunjungi. Sekaligus untuk mendapatkan “bukti” bahwa saya sudah pernah pergi ke Malaysia, yaitu dengan sebuah foto di menara kembar. Seperti orang Aceh pergi ke Banda Aceh yang berfoto di Mersjid Raya Baiturrahman atau pergi ke Jakarta dengan berfoto di Monas.

Pak Made membawa kami ke terminal Bus yang akan membawa kami ke sana. Dalam mobilnya saya menanyakannya masalah politik yang sedang berlangsung di Penang, terutama masalah etnis Melayu yang nampaknya semakin tertinggal dibandingkan dengan etnis Cian dan India. Di mana-mana dalam kota Penang nampak jelas kalau etnis Melayu memang sudah terpinggirkan dalam perdagangan dan industri. Bahkan dalam rumah sakit, seperti yang terlihat di Lam Wah Ee dominasi terbesar adalah etnis Cina dan India, baik dokter maupun perwatnya. Inipula yang nampak dalam perdagangan, Melayu sangat sedikit menghuni pusat belanjaan yang besar.

Dalam tahun-tahun setelah kemerdekkaan Malaysia, meskipun Melayu mulai terpinggirkan, mereka tetap eksis dalam politik. Melayu adalah penguasa politik dan yang mengambil kebijakan untuk pembangunan Malaysia. Namun saat ini dominasi inipun mulai tergusur. Dalam pemilihan umum terakhir, koalisi partai di bawah payung Barisan Rakyat menang besar. Barisan rakyat adalah koalisi beberapa partai yang sangat dekat dengan pemerintah yang berkuasa. Dalam pemilihan umum UMNO, yang didominasi oleh Melayu, mendapat suara mayoritas di Penang sehingga memiliki suara mayoritas pula di Parlemen. Namun dalam pemilihan Ketua Menteri, semcam Guburnur Negara Bagian Penang, yang terpilih adalah salah satu kader dari etnis Cina yang bukan anggota UMNO. Hal ini menunjukkan walaupun memiliki suara mayoritas, namun kekompakan dan kekuatan lobi Melau di Parlemen sangat rendah. Maka jadilah saat ini pemimpin di Penang dari etnis Cina.

USM: Universitas Sipel dan Murah
Dalam peralanan kami Pak Made juga menceritakan mengenai Universitas Sains Malaysia (USM) yang ada di Penang. Dari penampakan luarnya, saat kami lewat, USM memang kalah mentereng dibadingakn beberapa Universitas di Indonesia. Saya tidak melihat gedung tinggi menjulang sebagai ruang kuliah atau tempat pertemuan. Yang ada hanyalah pohon menjulang tinggi dan rumputan hijau di sekelilingnya. Samar-samar di antara pepohonan itulah nampak bangunan gedung kuliah. Dugaan saya ternyata salah.

Menurut Pak Made, yang dengan mengambiol program Ph.D di USM, di dalam kampus USM juga terdapat bangunan besar dan tinggi sebagai ruang kuliahnya. Namun pepohonan menutupinya. Di dalam kampus pohon memang dipelihara dan dijaga dengan baik. Bangunan baru yang akan dibuat disesuaikan dengan letak pepohonan, sehingga jika membangun gedung sebuah pohon tidak ditebang. Membangun gedung hanya butuh waktu beberapa bulan, namun menjadikan sebuah pohon bisa tumbuh besar butuh waktu puluhan tahun.

Kuliah di pascasarjana USM sangat mudah dan murah. Mudah karena sistem dirancang dengan sederhana dengan tingkat saling percaya yang tinggi antara pembimbing dengan mahasiswanya. Selain itu juga murah, program Ph.D hanya dibanderol denganharga RM 1000 lebih sedikit atau setara dengan Rp. 3.000.000,. Di Indonesia biaya proram doktoral mencapai Rp. 8.000.000,- per semester, bahkan lebih di universitas tertentu. Pak Made mnyarankan saya mengikuti program Ph.D by Research saja sehingag tidak perlu menetap di Penang. Ph.D by research hanya mewajibkan mengikuti kursus bahasa Melayu satu semester, dan kursus metodologi penelitian disertasi satu minggu. Setelah itu setiap mahasiswa boleh mulai menulis dan melakukan penelitian ddengan konsulasi yang terjadwal.

Jangan tanya saya mutu pendidikan yang diseting dengan cara ini. Saya memang belum pernah berjumpa dengan seorang lulusan USM yang memiliki kapasitas keilmuan yang “sempurna:” dalam bidangnya. Namun saya sangat yakin pasti mereka sadar ada kontrol dunia atas lulusan mereka. Jadi pasti mereka tetap menjamin mutu lulusan dengan kualitas yang baik juga. Buktinya dalam daftar peringkat universitas terbaik di Asia tahun 2009, USM bertenger di posisi ke 37, jauh di atas Universitas Indonesia, yang terbaik di Indonesia, hanya berada pada peringkat ke 50. Apa mungkin saya coba saja kuliah di USM Penang? Ah, Jangan. Saya masih ingin di Eropa.

Penang-Kuala Lumpur: Kenapa Hutan Tidak Gundul?
Perjalanan Penang – Kuala Lumpur dengan bisa ditempuh dalam waktu lebih kurang empat jam. Jalan yang datar dan bus yang nyaman menjadikan perjalanan yang jauh itu tidak menjemukan. Apalagi di samping kiri dan kanan jalan tersajikan pemandangan alam yang maha indah karena hutan yang terjaga dan dirawat dengan baik. Hutan di sepanjang perjalanan ini adalah hutan yang memang tumbuh dengan sendirinya. Bagaikan burung yang terbang dan beranak pinak dengan bebas di tengah perkotaan, demikian juga tumbuhan di sepanjang jalan ini. Tidak ada yang ganggu, tidak ada illegal loging, tidak ada yang berkebun, tidak ada yang membakar hutan, tidak ada. Inilah yang menyebabkan hutan itu tumbuh dengan indahnya dan menjadi sajian pemandangan di sepanjang perjalanan menuju Kuala Lumpur.

Di setiap pemberhentian kenderaan, untuk makan dan toilet, selalu terpampang sebuah peringatan yang bunyinya: “Silakan matikan mesin kenderaan anda, asap kenderaan dapat mencemarkan lingkungan dan berbaaya bagi kesehatan.” Peringatan sederhana ini jelas menunjukkan adanya kepedulian bersama untuk mejaga lingkungan dari kerusakan, bahkan dari asap kenderaan saja. Saya sangat yakin di balik kehijauan ini ada keseriusan dan kerja sama yang baik antar elemen sehingga mereka bisa menjadikanya sebagai wilayah yang alamnya snagat terjaga. Di Banda Aceh ada juga peringatan bahkan dengan menggnakan bahasa Aceh dan pantun segala. Namun peringatan hanya sampai di peringatan, dalam prakteknya sama sekali jauh dari isi peringatan itu, bahkan orang yang memperingatkan yang melakukan illegal logging.

Pengalaman Bersama Sopir India
Ini kisah saat saya kembali dari Kuala Lumpur menuju Penang. Saya sudah dipesan oleh Pak Made agar mengambil bus Konsorsium Expres di terminal Puduraya, Kuala Lumpur. Namun saat saya sedang mencari-cari alamat dimaksud, saya ditawarkan oleh seorang anak muda untuk naik busnya yang –katanya- sudah siap mau berangkat dan hanya menunggu dua penumpang lagi. Sayapun mengiyakan dan membayar tiket bus tersebut. Saya segera, dengan buru-buru- menuju bus dimaksud karena dalam pikiran saya memang bus itu mau berangkat. Bus ada di lantai dasar dan harus turun tangga. Saat saya lihat ada beberapa orang yang masih duduk di tangga, keraguan saya mulai muncul. Saya mencari nomor bus seperti yang ada di tiket. Setelah menemukannya saya naik. Ternyata, dugaan saya tepat, ia masih juga menunggu orang lain.

Agak lama juga menunggu sampai akhirnya kami mulai berangkat. Bus berjalan agak pelan, saya pikir ini hanya karena masih berada di dalam kota. Namun dugaan saya melesat lagi, bus ini memang berjalan amat pelan bahkan di jalan tol. Bus-bus lain mendahuluinya semua dan tidak pernah bus ini mendahului bus lain. Beberapa saat mulai masuk ke jalan tol, bus berhenti, toilet. Kemudian berangkat lagi dengan sangat pelan dan berhenti lagi di sebuah rumah makan. Ternyata rumah makan India. Saya ragu juga mau turun dan makan di sana, jangan-jangan makananan yang disedikan tidak halal. Namun saya ingin melihat lebih dekat. Ternyata di dekat kasir ada sebuah kaligrafi ayat kursi dengan tulisan Allah dan Muhammad di sisi kanan dan kirinya. Ini meyakinkan saya kalau mereka adalah muslim dan makanannya halal.

Kami kembali melanjutkan perjalanan. Bus lambat kami kembali menelusuri jalan yang mulai gelap dan hujan. Bus yang berjalan sangat pelan ini sedikit menjengkelkan. Apalagi di dalamnya ada beberapa orang India yang menelpon dengan bicara besar-besar dan tertawa terbahak-bahak. Persis seperti apa yang ada di film Bollywood.
Ada beberapa kali berhenti lagi sepanjang jalan itu dengan tujuan yang tidak jelas. Bahkan lama-lama saya merasa sudah masuk ke perkampungan, bukan jalan tol lagi. Padahal ketika pergi dari Penang ke Kuala Lumpur kami selalu berada di jalan tol. Kali ini kami masuk ke perkampungan. Di satu sisi saya senang karena, walaupun malam, saya bisa melihat perkampungan masyarakat di daerah ini. perkampungan yang rindang, seperti kebanyakan perkampungan Aceh Besar. Namuan tidak ada rumah besar menjulang tinggi. Padahal ini di sekitar kota besar, saya tidak tahu nama kotanya. Kebanyakan rumah berbentuk sama dan seragam. Mungkin ini adalah perumnas atau bangunan rumah yang diberikan pemerintah. Di Banda Aceh juga ada perumnas, namun meskipun bentuk awal rumahnya sama, namun beberapa tahun kemudian sudah berubah total. Yang memiliki banyak ang dapat membangun rumahnya jauh lebih besar dan tinggi. Sementara yang biasa saja, yang punya uang pas-pasan, mereka tetap dengan bentuk rumah sebagaimana awalnya.

Beberapa saat sebelum masuk jalan tol kembali dan masuk ke jembatan panjang, 14 Km yang menghubungkan pulau Penang dnegan daratan Malaysia, sopir berhenti lagi. Kali ini sangat lama. Saya sedikit kesal karena telah beberapa kali berhenti sebelumnya. Saya berdiri di depan pintu depan dan melihat kepada si sopir. Saya baru sadar si sopir ini badannya besar, hitam, berkumis tebal dengan jambang yang runcing-runcing minta dicukur. Dia datang kepada saya dan mengatakan kalau berhenti masih agak lama karena menunggu bus yang dari arah lain yang punya penumpang mau ke Penang. Bus itu sendiri tidak masuk ke Penang. Jadi penumpang itu akan dinaikkan ke dalam busnya dan membawa mereka ke Penang. Saya agak kesal dan mengatakan kalau saya sudah rugi dengan keterlambatan ini. Biasanya hanya empat jam setengah, ngaku biasa padahal ini pertama kali, sekarang sudah enam jam belum juga sampai. Saya bilang juga kalau saya akan melaporkan Bus ini kepada polisi karena menelantarkan penumpang. Dia balas jawab, sedikit melunak, kalau mau lapor silakan saja, apalagi busnya sudah jelek, mudah-mudahan bisa segera diganti dengan yang lebh baik. Saya sedikti tertawa dalam hati. Kasihan juga dengan teman India ini.

Kuala Lumpur: Pusat Seribu Etnis

Kami sampai di Kuala Lumpur (KL) tepat tengah hari. Masuk ke kota ini kami disuguhkan dua hutan sekaligus, hutan pepohonan yang rindang dan memenuhi berbagai sudut kota dan hutan gedung-gedung bertingkat tinggi. Saya lihat Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, tapi tidak seperti ini hutannya. Mungkin karena Jakarta lebih luas dan lebih banyak penduduk? Pasti, Jakarta lebih luas dan memiliki penduduk lebih banyak. Namun menyaksikan bangunan tinggi seperti ini rasanya saya sangat yakin KL adalah sebuah kota dengan penduduk yang juga sangat padat dan perkembangan yang sangat pesat. Apalagi beberapa program pemerintah Malaysia untuk menjadikan KL Sebagai sebuah kota dengan tingkat kemajuan setara dengan kota lain di dunia, maka tidak heran kalau KL satu saat akan menjadi kota besar dunia dengan kedatangan turis yang sangat ramai.

Kami turun di terminal Puduraya, terminal di ibu kota Malaysia. Saya sempat bertanya kepada sopir, apakah kami harus turun di sini, karena saya lihat ia masih berdiri di pinggir jalan, bukan di dalam terminal seperti umumnya di Indonesia. “Ya,” katanya, “kemana lagi saya mau antar?”. Saya baru sadar ternyata ia sedang antri masuk ke bawah sebuah gedung tinggi. Di sanalah terminal sesungguhnya, namun penumpang turun di atas, di pinggir jalan. Dari sana mereka menuju ke berbagai daerah, dengan taksi, jalan kaki, jemputan, dan entah ke mana lagi.

Dua orang yang berkapaian putih sempat menawarkan taksi. Namun karena saya tidak tahu harus pergi ke mana saya tidak meladeni mereka dan mengatakan bahwa saya hendak jalan saja. Saya naik ke lantai atas di mana terdapat pasar dan loket penjualan tiket bus. Di sana dijual juga berbagai macam dagangan, seperti umumnya terminal Indonesia. Bedanya, para penjual tertib dan dan lingkungannya bersih. Tidak ada orang teriak-teriak mengajak pergi ke suatu kota, tidak ada calo yang menawarkat tiket langsung pada penumpang. Setiap penumpang sudah paham harus membeli ke mana kalau ia mau pergi ke suatu tujuan.

Saya menukar uang Rupiah kepada sebuah Money Changer. RM 1 saya bayar Rp.2. 750. Menyedihkan rasanya. Uang Satu juta hanya ditukar dengan RM. 360. Saya berikan ia sepuluh lembar uang seratus ribu, ia kembalikan tiga lembar uang seratus ringgit dan satu lembar uang lima puluh ringgit. Terbesit rasa malu juga. Betapa uang kita tidak ada harganya dihadapakan pada nilai tukar ringgit. Bagaimana kalau USD? Bagaimana kalau Poundsterling? Mungkin satu saat saya akan merasakannya.

Saya tanya bagaimana caranya bergi ke menara kembar. Mereka menyebutnya KLCC. Saya tanya kepada security, bagaimana pergi ke KLCC. Di sana ada seorang sopir taksi, dia meminta mengantarkan kami ke sana dan meminta bayaran RM 20. Security bilang naik Monorail saja, jalan kaki dulu dari Puduraya ke Stasion Mesjid Jami’, lalu turun ke lantai bawah, beli tiket, naik monoril. Biayanya hanya satu ringgit setengah. Lagi pula langsung masuk ke dalam KLCC. Saya pikir ini adalah pilihan yang bagus. Lalu kami jaln ke sana. Beberapa kali bertanya hingga akhirnya sampai ke stasion Mesjid Jami’.

Saya beli tiket di counternya, meskipun mereka menyediakan counter elektronik seperti ATM. Masukkan uang dan otomatis tiketnya akan keluar. Namun, agi-lagi karena sangat awam, saya tidak berani, hingga tetap menuju counter dan membeli secara manual. Setelah mendapatkan tiket saya bingung juga, bagaimana menggunakannya. Lihat kiri-kanan dulu, pelajari situasi. Ternyata tiket dimasukkan ke dalam sebuah lubang yang disediakan, ia keluar lagi dengan sendirinya dan pintu masuk terbuka. Dari pintu masuk turun lagi ke lantai bawah dan menunggu monorail tiba. Tidak lama menunggu karena monorail tiba per dua menit. Ketika ia datang pintu terbuka dan semua penumpang masuk ke sana. Saya terkesima karena sangat tertip. Orang dari dalam keluar dari tengah pintu, sementara yang masuk dari sisi kanan dan kirinya, antri. Saya sempat berdiri di tengah-tengah dengan maksud cepat masuk. Ternyata saya berdiri sendiri, di sisi kanan dan kiri saya sudah berjejer orang lain.

Monorail adalah kenderaan publik yang nyaman, cepat, tepat waktu, bersih, tidak bising dan dipakai oleh segala usia dan kalangan. Di sana ada mahasiswa, pekerja, buruh, anak sekolah, turis dan berbagai kalangan yang lain. Ia berjalan cepat dan sedikit goyang. Berhenti di setiap terminal. Orang masuk dan keluar di sana. Dari Masjid Jami’ ke KLCC hanya butuh beberapa menit saja. Berheti di dua terminal, lalu kami sampai di KLCC. Alhamdulillah.

Turun di KLCC, ternyata sudah berada di dalam menara kembar. Hanya berjalan keluar sedikit lagi kami sudah ada ditengah-tengah menara. Ada pusat perbelanjaan yang ramai dengan berbagai macam dagangan. Namun melihat harganya, ini memang harga “internasional.”Untuk oleh-oleh kecil saja harus merogoh kantong sangat dalam. Saya contohnya sebuah gantungan kunci yang di Banda Aceh bisa diperoleh dengan hara lima ribu rupiah, di pusat dalam menara ini dijual RM 10. Atau gantungan kunci yang di terminal Puduraya harganya RM 12 per enam buah, di KLCC RM 39. Hanya saja kalau dibandingakn dengan Malioboro Yogyakarta, mereka kuarng kreatif. Di Jogja banyak fariasi dan model bisa kita peroleh, pernak-pernik, gantungan kunci, baju, tas, dan lainnya, sementara di sana sangat sedikit. Setiap counter yang menjual oleh-oleh rasanya sama saja, hampir tidak ada bedanya.

Kami keluar untuk menyaksikan dua menara tinggi yang terkenal dan menjadi ciri khas Malaysia. Saya melihat di sana ada juga gedung lain yang juga sangat tinggi. Namun memang dua menara ini paling tinggi. Di depan gedung itu banyak turis berfoto dan melihat-lihat saja. Sebagai besar bule Eroap/Amerika/Australia. Namun tidak sedikit pula orang Asia dan Melayu. Sepertinya “nasib” kami sama, datang untuk pertama kali ke sana, liaht banunan megah itu dan berfoto-foto.

Di depan menara ini saya untuk pertama kali mendengar klakson mobil besar-besar selama di Malaysia. Terlihat sebuah taksi nampaknya sedang bernegosiasi harga denga sepasang bule. Padahal jalur itu bukanlah jalur yang boleh menaik dan menurunkan penumpang. Di belakangnya ada sebuah mobil sedan yang terhambat lewat karena ada taksi tersebut. Ia mengklakson mobilnya besar-besar dan beberapa kali. Si sopir buru-buru hendak melanjutkan perjalan kenderaannya. Sayangnya polisi keburu datang dan ia dibawa ke pinggir jalan.

Lelah jalan-jalan saya mencoba duduk di sebuah tempat duduk yang memang disedikan. Bagaikan turun dari langit, saya terkagum-kagum menyaksikan begitu banyak orang yang lalu lalang dengan jutaan etnis. Orang yang berasal dari negara entah-berantah. Dengan berbagai model gaya kulit dan berbagai macam model pakaian. Bermacam bentuk gaya rambut, berbagai bentuk gaya berjalan dan beragam tingkah polah. Ada yang berkulit putih, kemerahan, kuning, sawo matang, abu-abu, hitam bahkan hitam pekat seperti arang. Sungguh ini kebesaran Tuhan menciptkan manusia dengan bergam jenis penampilan. Demikian juga pakaian, lengkap, dari yang hanya menggunakan pakaian satu senti di bawah selangkangan, sampaibercadar yang hanya satu senti terbuka menampakkan mata. Betapa besar dan banyak orang di dunia, dan betapa saya begitu kecil. Saya sangat sadar bahwa saya hanyalah sebuah debu yang sangat kecil diantara milyaran debu lain yang menutupi planet bumi ini.

Di sini, di tengah-tengah menara rasanya cukup mewakili karakter manusia sedunia. Dari model Arab, Turki, Pakistan, India, Eropa Timur, Eropa Barat, Amerika, Afrika, dan berbagai etnis manusia lainnya. Bagi saya ini adalah pengalaman menakjupkan, melihat orang yang sangat beragam dari iisi etnis dan negara asal. Ini adalah pengalaman yang takkan mungkin terlupakan sepanjang usia. Adandai suatu saat saya akan kembali atau pergi ke tempat lain yang lebih menakjubkan, ini akan saya catat sebagai pengalaman awal membuka mata saya pada realitas kehidupan yang sangat terbuka.

Melihat ini saya sangat yakin tidak ada yang namanya sebuah peritiwa yang “menggegerkan dunia.” Begitu besar dunia dan bergitu kecil sebuah persitiwa. Sebesar apapun sebuah peristiwa ia adalah sebuah lokal yang dipublikasikan secara massal. Adakah semua orang disini peduli dengan berbagai peristiwa tu? Adakah merekeka berkepantingan? Entah lah. Namun ini adalah jumlah manusia yang begitu besar dan beragam mewakili berbagai etnis yang hidup di permukaan bumi ini.

UIA: Kampus Internasional Mahasiswa Islam


Dari KLCC kami menuju UIA, kampus Islam Internasional yang ada di Gombak, Kuala Lumpur. Teman saya Affan, kuliah di sana sejak setahun yang lalu. Sesekali ke KL saya hendak berjumpa dengannya. Apalagi saya pernah berniat sekolah di UAI, namun menjadi kecut karena kemampuan Bahasa Inggris yang sangat jelek. Siapa tahu kunjungan ini menumbuhkan kembali semangat saya kuliah di sana suatu saat dapat terealisasikan.

Menuju UIA daru KLCC kami kami kembali naik Monorail. Dari KLCC menuju Terminal Putra atau disebut juga dengan terminal Gombak melewati beberapa terminal lain dan tidak seluruh perjalanan di bawah tanah. Hanya beberapa saat saja di bahwa tanah, selanjutnya justru melayang seperti di jalan tol. Dari jalan inilah nampak pemandangan kota Kuala Lumpur yang dipenuhi dengan gedung dan pepuhonan, jalan yang luas dan tertip, parkir yang rapi, kota yang bersih, sangat indah. Perjalanan ke Gombak membutuhkan waktu lebih kurang 20 menit saja. banyak orang yang turun di stasion-stasion yang dilewati. Di stasion terakhir nampaknya yang tersisa kebanyakan adalah mahasiswa yang kuliah di UIA.

Dari stasion menuju kampus ada bus RapidKL yang menjemput para mahasiswa setiap menit kedatangan mereka. Bus ini membawa penumpang langsung ke kampus. Setiap orang diganjar seringgit untuk satu kali jalan sampai ke kampus. Hanya saja kami dijemput oleh Affan dengan taksi. Sehingga perjalanan dari stasion Monorel ke kampus kami tempuh dengan taksi. Perjalanan hanya membutuhkan waktu sekitar lima menit. Dan kami bayar 6 ringgit.

Ternyata kampus UIA adalah kampus yang dibangun terpisah dari lingkungan masyarakat. Diapit oleh beberapa gunung, UIA nampak begitu indah dan nyaman. masuk pertama langsung berhadapan dengan kantor rektorat yang di depannya dinaikkan beberapa bendera dari negara yang berbeda. Umumnya negara-negara yang mayoritas Islam. Di depannya adalah taman yang maha indah yang menjadikan damai mata memandangnya. Keindahan semakin menjadi-jadi kala masuk ke dalam gedung utama. Ada sebuah guci yang berisi penuh air mengalir tiada henti yang dihiasi dengan lampu kuning tembaga. Nuansa Timur Tengah dalam gedung ini sangat terasa dengan adanya lengkungan rendah yang menghubungkan dua tiang dengan ornamen ukiran yang khas.

Di belakang rektorat langsung berhadapan dengan masjid. Masjid berada persis di tengah-tengah banguann lain yang saling berdekatan dan berhubungan. Jika saja saat pegantian kuliah terjadi hujan, maka tidak ada alasan bagi seseorang masuk kelas lain dalam keadaan basah karena semua kelas terhubung dengan rapi dan baik sehingga tidak ada tempat yang membuat seseorang basah. Di belakang lagi ada perpustakaan maha besar. Sayangnya waktu sudah sore dan saya tidak bisa masuk ke dalamnya. Kami beralih ke kantin untuk mencicipi setetes minuman penyegar penat.

Kantin ini, seperti umunya kantin lain di kampus namun lebih rapi dan bersih, menjual berbagai masakan. Ada beberapa makanan yang penjualnya adalah India. Namun kebanyakan melayu. Di kantin berbagai jenis manusia berdasarkan etnisnya berbaur. Namun beda dengan apa yang ada di KLCC, di kantin ini semua perempuannya berjilbab dan berpakaian sangat rapi. Saya teringat di Aceh Barat sedang digalakkan pemakaian rok, mungkin beginilah keadaannya jika aturan itu berjalan. Semua perempuan menggunakan baju selutut denganlengan panjang. Di bawahnya ada rok yang hampir menyentuh lantai, jilbabnya besar-beasar. Beberapa orang hanya menggunakan pakaian hitam-hitam dan sebagainnya menggunakan cadar. Tapi tidak ada pasnagan duduk berduaan sambil bercengkrama seperti kantin di kampus kami. Orang duduk di kantin benar-benar mau makan dan minum, kukan mejeng apalagi pacaran.

Kampus ini dibangun awal tahun 80-an. Menurut info tidak resmi yang disebutkan teman-teman, OKI yang mensponsori pembangunan ini merencanakan pembangunannya di Aceh. Namun pemerintah Soeharto tidak mengizinkan dan meminta pembangunannya di Jawa. Ia beralasan karena Aceh tidak aman dan dibuktikan dengan menerapkan status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh pada tahun 1989. OKI sendiri tidak mau membangunnya di Jawa karena dianggap terlalu padat dan tidak merepresentasikan kota “Islam”. Kuala Lumpur di bawah pemerintahan Mahadir Muhammad menawarkan diri dan menyediakan lahan yang luas yang kemudian disetujui OKI. Jadilah UIA dibangun di Kuala Lumpur.

Pun demikian, Aceh tetap mendapatkan hak istimewa untuk kuliah di UIA. Presiden pertamanya, Datuk Tan Sri Djuned adalah orang Aceh yang lama tinggal di Malaysia, bahkan menjadi tokoh penting di Era Mahadir. Dia membuat beberapa kebijakan yang memudahkan orang Aceh melanjutkan pendidikan di sana. Misalnya, untuk pembayaran SPP Aceh dianggap sama dengan penduduk Malaysia sehingga lebih murah dibandingkan dengan mahasiswa Indonesia yang lain karena dianggap mahasiswa Internasional. Belakangan ini ada kebijakan lainnya yang sangat memantu orang Aceh yaitu, mereka memungkinkan untuk dibebaskan biaya pendidikan selama belajar di Malaysia. Ketentuan ini berlaku untuk para dosen dari IAIN Ar-Raniry dan Unsyiah Banda Aceh. Kebijakan ini diharapkan dapat memicu tumbuhnya semangat belajar dan menuntut ilmu di kalangan masyarakat Aceh untuk membangun ilmu pengetahuan di Aceh.

Keesokan harinya, saya mengambil form pendaftaran program Ph.D untuk Studi Pemikiran Islam (Institute Islamic Thought and Civilization) pada depatrment Islamic Spirituality and Muslim Modern World. Form ini sengaja saya ambil untuk memicu semangat saya mendaftar di UIA. Saya tidak asing lagi dengan beberapa nama tokoh di balik ISTAC-UIA ini, seperti Muhammad Naquib al-Attas dan Syeed Hossen Nasr. Oleh sebab itu, saya berharap dapat bergabung dengan arus utama islamisasi Ilmu pengetahuan dengan koenteks yang lebih plural. Sebab saya juga mendengar dan membaca beberapa tulisan alumni ISTAC yang sangat tidak kooperatif dengan dunia keilmuan lain, seperti Adnin Armas. Meskipun itu adalah hak semua orang untuk menentukan jalan keilmuan yang disukasinya, namun melakukan konfrontasi dengan cara-cara yang terlalu vulgar nampaknya tidak menarik dan menajdikan diri kita terisolir dari pergaulan dunia keilmuan yang lebih besar.

Masa Depan Kotaku: Sebuah Refleksi
Melihat berbagai perkembangan yang ada di Penang dan Malaysia dalam beberapa hari ini saya menjadi malu melihat diri sendiri. Sepertinya, Aceh dan Malaysia yang memiliki akar sejarah yang sama, namun sekarang sangat jauh berbeda. Aceh tampak tertinggal puluhan tahun di bandingkan negeri Jiran ini. Apakah karena pemerintahnya? Apakah karena aturannya? Apakah karena tanahnya? Mungkin iya, namun lebih mungkin adalah karena masyarakatnya. Saya yakin benar masyarakat Malaysia adalah mayarakat yang memang ingin maju dan berkembang. Mereka sadar bahwa hanya dengan semangat dan kerja keras hidup mereka akan lebih baik dan mencatatkan diri sebagai bagain dari bangsa yang memiliki peradaban tinggi di dunia. Ini yang mungkin belum ada di Aceh. Saya melihat awal-awal tsunami hal ini muliat tumbuh. Sayangnya, keinginan mendapatkan kekayaan dengan mengemis dan menghiba menjadikan mental membangun menjadi sirna. Orang lebih suka meminta bantuan orang lain untuk menghidupi dirinya sendiri dan bangkit dari keterpurukan.

Hanya dengan sebuah kesadaran masal yang didahului keteladanan yang baik dari mereka yang sudah “sadar” saya bangsa ini akan lebih baik di masa depan. Apakah Malaysia sudah sangat sempurna? Apakah sudah tidak ada ketidakadilan? Apa bisa dijamin tidak korup dan zalim? Apa mereka benar-benar sudah makmur? Pasti tidak. Namun yang pasti mereka sudah tahu bahwa mereka berada di sebuah rel yang dapat membawa mereka kepada kemajuan. Kita hanya bisa datang ke sana untuk melihat, bekerja dan menangisi bangsa kita sendiri. Kita benar-benar harus bangkit, dan dan kita semua harus menjadi bagian dari kebangkitan itu. Insyaallah.

Monday 4 January 2010

Dinamika Gus Dur dan Aceh

Bagi orang Aceh, nama Gus Dur bukanlah nama yang asing. Tidak semua memandangnya baik memang, sebab beberapa sikap Gus Dur terhadap Aceh yang kontroversi. Namun jasa-jasa Tgk. Doraman, begitu ia sering disebut, untuk Aceh tidak dapat diabaikan. Dua diantara “jasa” besarnya adalah merintis penerapan Syariat Islam dan membuka ruang dialog hingga terwujud Perdamaian Aceh yang dinikmati masyarakat Aceh hingga sekarang.

Ada dua sikap Gus Dur yang ditanggapi kontroversi di Aceh, yaitu pengakuannya sebagai “nabinya” orang Aceh dan klaimnya bahwa tuntutan refrendum di Aceh hanya disetujui oleh 500 orang saja. Ungkapan ini jelas menimbulkan kehebohan di Aceh. Sebab tidak mungkin orang Aceh akan meyakini seorang “nabi” baru setelah Nabi Muhammad. Saya yakin pada saat itu Gus Dur punya maksud lain dengan kata “Nabi”. Namun dalam pemahaman banyak orang di Aceh “nabi” selalu merujuk pada seorang utusan Tuhan untuk membawa risalah agama. Dalam kepercayaan orang Aceh –dan kebanyakan kaum muslimin lainnya- hal ini tidak mungkin terjadi lagi sebab Nabi Muhammad adalah penutup para utusan itu. Oleh karena itu, dengan pernyataan ini Gus Dur sering dituding telah berbohong dan menyesatkan.


Gus Dur di mata orang Aceh semakin “bohong” setelah ia mengatakan kalau referendum di Aceh hanya aspirasi 500 orang saja. Padahal dalam beberapa pertemuan pendukungnya di Banda Aceh, pendukung referendum jauh lebih banyak. Dalam pertemuan pertama yang dikenal dengan Sidang Umum Masyarakat Pejuang Refrendum (SU-MPR) hampir semua laki-laki dewasa Provinsi Aceh datang tumpah ruah ke Banda Aceh untuk mengikuti acara dimaksud. Dalam SU-MPR ke dua yang dilaksanakan setahun kemudian, yang datang memang tidak sebanyak yang pertama, namun ini berkaitan dengan penghadangan yang dilakukan oleh aparat keamanan pemerintah Indonesia saat itu.

Pun demikian, Gus Dur pula yang memberikan harapan dan impian kepada Aceh. Pernyataannya mengenai kemungkinan memberikan Aceh sebuah referendum seperti di Timur-timur membuat masyarakat Aceh selalu mengingatnya. Dalam sebuah lawatannya ke Luar Negeri ia ditanya mnegenai tuntutan referendum oleh masyarakat Aceh. Saat itu Gus Dur mengatakan: “Kalau Timor timur dapat diberikan referendum, kenapa Aceh tidak? Itu namanya tidak fair.” Meskipun saat ia menjadi presiden hal ini tidak dilakukan, namun pernyataan Gus Dur tersebut sempat menimbulkan sebuah harapan bagi masyarakat Aceh yang menginginkan referendum.

Yang paling mengesankan adalah pendekatan penyelesaian konflik yang dilakukan Gus Dur untuk Aceh. Sejak lama pemerintah melakukan pendekatan militer dengan mengirim tentara untuk membunuh banyak orang Aceh, terlibat atau tidak terlibat Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Namun Gus Dur membuka ruang dialog dan pendekatan humanis. Ia secara khusus mengirim Bondan Gunawan untuk berjumpa panglima GAM saat itu, Abdullah Syafi’i untuk memulai dialog ini (meskipun beberapa minggu setelah kepulangan Bondan, Teungku Abdullah Syafii meninggal dunia dalam sebuah pengepungan markasnya yang dilakukan oleh aparat keamanan Indonenesia, dan ini sering dikaitkan dengan misi spionase Bondan). Dengan terbukanya pintu dialog proses penyelesaian masalah Aceh semakin terbuka. Sayangnya pendekatan ini “dihancurkan” lagi pada masa pemerintahan Megawati dengan mengirimkan ribuan tentara. Proses perdamaian yang mulai terbuka pada masa Gus Dur kembali hambar di tangan Ibu Mega.

Pada masa Gus Dur pula Aceh diberikan kewenangan menerapkan Syariat Islam dengan keluarnya UU No. 44 Tahun 1999. UU ini bukanlah secara khusus tentang syariat Islam, namun pemerintah mengakui secara legal keistimewaan Aceh dalam agama Islam sehingga dapat menerapkan Islam sebagai undang-undang kehidupan sosial mereka. Sampai saat ini, setelah melalui beberapa revisi UU, penerapan Syariat Islam masih menjadi topik hangat di Aceh. Terakhir adalah perdebatan mengenai qanun Jinayat yang memuat hukum rajam bagi penzina.

Dinamika yang terjadi antara Gus Dur dan Aceh adalah sebuah dialektika demokrasi yang timbul karena “kedewasaan” Gus Dur dalam berpolitik dan “pengalaman” rakyat Aceh dalam membina hubungan dengan Pemerintah Indonesia. Dan saat ini, setelah Gus Dur tiada, berbagai dinamika itu hendaknya menjadi pelajaran bagi pemerintahan selanjutnya untuk menjamin kehidupan aman dan damai terus berlangsung di Indoenesia dan kesejahteraan rakyat juga tercapai. Mudah-mudahan.

Tulisan ini dan tulisan saya yang lain ada di:
www.sehatihsan.blogspot.com

Saturday 2 January 2010

Memulai Tahun Baru ala Sufi

Seorang sufi tidak dapat dilepaskan dari “pendakian” menuju hakikat atau yang sering disebut dengan maqamat (stasion spiritual). Maqam adalah “tangga-tangga” yang harus dilalui sang salik (sufi) dalam rangka menggapai hakikat tertinggi yang diidamkannya. Para sufi menyebutkan istilah yang berbeda untuk hakikat tertinggi tersebut. Ada yang menyebutnya dengan fana wa baqa, hulul, ittihad, mahabbah, ma’rifah, mukasyafah dan lain sebagainya. Perbedaan ini terjadi karena berbedanya perasaan yang mereka alami ketika mencapai wujud akhir yang dimaksud.

Meskipun para sufi berbeda dalam capaian akhir yang mereka inginkan, namun dalam memuli langkah awal mereka nyaris sama. Langkah awal yang selalu digunakan oleh sufi dalam memulai pendakian itu adalah taubat. Taubat berarti sebuah pengakuan akan kelemahan, kekurangan, kesalahan yang pernah dilakukan sebelumnya. Al-Ghazali meberikan tidak “syarat” bagi taubat yang sempurna, mengakui kesalahan, bertekat tidak melakukannya lagi di masa depan, dan mengisi kesalahan dengan perbuatn yang lebih baik. Dengan tiga “syarat” ini maka seorang salik telah dapat memulai perjalanannya menuju hakikat tertinggi yang diidamkan.


Dalam konteks kehidupan kita saat ini, wujud akhir adalah cita-cita besar atau keinginan kita untuk mendapatkan sesuatu sebagai yang terbaik dalam kehidupan. Cita-cita tertinggi ini menjadi sebuah tekat yang selalu terbayang dan dirindukan. Bahkan ia menjadi pewarna dalam setiap aktifitas kehidupan manusia, menjadi penyemangat, motivasi dan pendorong untuk selalu bersemangat dan terus berusaha mendapatkannya. Sehingga sering dikatakan, hidup tanpa cita-cita adalah hidup tanpa tujuan. Tanpa tujuan yang jelas maka sebuah perjalanan tidak akan pernah sampai ke mana-mana.

Pun demikian jangan lupakan cita-cita spiritual yang menjadi dasar bagi semua agama, yakni pengabdian kepada Tuhan dengan melakukan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dalam praktiknya, pengabdian ini dimaknai berbeda oleh setiap agama. Namun mereka semua meyakini bahwa berbuat baik kepada sesama manusia dan alam semesta merupakan sebuah perilaku yang dicintai Tuhan, dan sebaliknya, berbuat jahat kepada sesama manusia dan alam semesta adalah perilaku yang dibenci oleh Tuhan dan Ia melarangnya. Oleh sebab itu seorang yang berbuat baik akan menjadi dekat dengan Tuhan, dan seorang yang berbuat jahat akan semakin jauh dari-Nya.

Meneladani para sufi dalam memulai tahun baru adalah dengan mengakui berbagai kelemahan dan kesalahan di masa lalu. Pengakuan ini akan menjadi ruang yang akan diisi untuk mendapatkan kesuksesan di masa yang akan datang. Isilah ruang itu dengan kabaikan dan usaha terus menerus sehingga apa yang diharapkan dapat dicapai. Ketika anda menginginkan sesuatu dan berusaha mendapatkannya maka Tuhan dan alam semesta akan bahu-membahu membantumu mendapatkannya. Insyallah.



5 Cara Menemukan "Masalah" Penelitian

Sepertinya tidak ada orang di dunia yang tidak ada masalah. Dari banugn tidur hingga tidur lagi orang selalu terlibat masalah. Bahkan tidu...